Menu Close

Dua cara agar putusan Mahkamah Konstitusi selalu dipatuhi

Bagus Indahono/EPA

Akhir Januari lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi sistem peradilan konstitusi karena banyak putusan MK yang tidak dipatuhi.

Penelitian yang dilakukan lewat kerja sama antara MK dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti menunjukkan bahwa antara 2013 dan 2018, dari total 109 putusan MK, terdapat 24 putusan (22%) yang tidak dipatuhi sama sekali.

Penelitian itu juga menemukan bahwa enam putusan (5.5%) hanya dipatuhi sebagian. Hanya 59 putusan (54.1%) saja yang dipatuhi seluruhnya, serta sisanya 20 putusan belum dapat diidentifikasi dengan jelas.

Untuk memastikan putusan MK dipatuhi ada dua hal yang bisa dilakukan. Sanksi perlu dibuat bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Putusan MK juga perlu diperkuat kedudukannya dalam hierarki perundang-undangan.


Read more: Mengapa peradilan Indonesia mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi?


1. Penetapan sanksi

Pemerintah perlu menetapkan sanksi bagi subjek putusan yang tidak mematuhi putusan MK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi Undang Undang (UU) No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Ketentuan tentang sanksi bisa dimasukkan menjadi bagian dari UU MK.

Cara lain untuk menetapkan sanksi bagi yang tidak mematuhi putusan MK adalah dengan membentuk UU Penghinaan terhadap Peradilan (contempt of court) yang saat ini tidak dimiliki Indonesia.

Saat ini, putusan MK tidak memiliki daya paksa sama sekali. Tidak ada sanksi yang mengancam bila putusan MK tidak dilaksanakan. Ironis, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat.

2. Masukkan putusan MK dalam hierarki peraturan perundang-undangan

Selain penetapan sanksi, putusan MK harus dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Saat ini, hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

  1. UUD 1945
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
  3. UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Provinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam pengujian UU, putusan MK merupakan putusan yang lahir akibat adanya UU yang diuji terhadap UUD 1945. Bila UU yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka putusan tersebut akan dibatalkan MK melalui putusannya, dan terhadap putusan MK tersebut sudah tidak tersedia lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Oleh sebab itu, putusan MK seharusnya berada setingkat di atas UU.

Putusan tidak dilaksanakan

Tanpa dua hal tersebut keputusan MK sering diabaikan. Ada beberapa contoh menonjol putusan MK yang tidak dilaksanakan.

Salah satunya adalah putusan MK dalam pengujian undang-undang (judicial review) tentang peninjauan kembali kasus pidana. Pengujian ini diajukan oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.

Dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013 ini, MK menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan berkali-kali.

Namun, tak lama kemudian Mahkamah Agung (MA) merespons putusan ini dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang bertolak belakang, yakni SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan peninjauan hanya sekali.

MA beralasan bahwa peninjauan kembali juga diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Seharusnya, setelah adanya putusan tahun 2013 itu, secara mutatis mutandis putusan MK itu membatalkan ketentuan dalam dua UU tersebut. Mutatis mutandis dalam hal ini maksudnya adalah putusan MK juga berlaku terhadap ketentuan sama yang disebut dalam dua UU tersebut.

Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja yang dibuat pemerintah juga berpotensi melanggar putusan-putusan MK jika disahkan–belum ditambah bahwa penyusunannya bermasalah.

Sedikitnya ada 31 ketentuan RUU tersebut yang bertentangan dengan putusan MK sebelumnya.

Salah satu yang paling terlihat adalah Pasal 166 dalam RUU tersebut yang menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah (perda).

Ini bertentangan dengan putusan MK tahun 2016 yang menyebutkan bahwa kewenangan membatalkan perda ada pada MA melalui mekanisme judicial review.

Satu contoh lain: Pasal 86 RUU Cipta Kerja menyebutkan frasa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu” terkait praktik Pekerjaan Waktu Tertentu dan outsourcing.

Padahal MK pada 2011 telah menetapkan agar frasa tersebut dihapus dari dua pasal dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak mengisyaratkan adanya perlindungan hak–hak bagi pekerja/buruh.


Read more: Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja


Sifat putusan MK

MK adalah lembaga yudisial yang terlahir sebagai anak kandung Reformasi yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).

Artinya, sejak putusan dibacakan oleh hakim konstitusi dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan putusan tersebut harus dipatuhi dan mengikat semua orang, serta tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.

Putusan MK tidak dapat dibatalkan bahkan dengan UU baru sekalipun. Bila sebuah norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional mau dihidupkan kembali, caranya hanyalah dengan perubahan konstitusi, yaitu mengubah UUD 1945.

Ini sejalan dengan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi: tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK merupakan penafsiran dari konstitusi dalam bentuk putusan yang seharusnya secara hierarki memiliki kedudukan di atas UU.

Bila subjek yang tidak melaksanakan putusan MK diberi sanksi dan putusan MK menempati hierarki yang tinggi dalam perundang-undangan tentu putusan MK akan memiliki daya paksa untuk dijalankan, serta menjadikan putusan MK sebagai putusan yang benar-benar menyelesaikan masalah.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now