Menu Close
Guru Tuna Grahita Sekolah Luar biasa (SLB) mengetik tulisan dengan aplikasi khusus difabel di telepon genggam di SLB Negeri Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 30 November 2021. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp

Dua tahun pandemi: layanan informasi COVID-19 pemerintah tidak ramah penyandang disabilitas

Penyandang disabilitas merupakan kelompok marjinal yang sangat rentan pada masa pandemi Covid-19. Kelompok ini sangat perlu mendapatkan panduan yang memadai dalam menghadapi wabah.

Pada 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan panduan mitigasi COVID-19 bagi penyandang disabilitas. Dokumen dibuat WHO agar kelompok disabel memahami bagaimana mengakses layanan Kesehatan, termasuk terlibat dalam kebijakan mitigasi COVID-19.

Dengan memanfaatkan panduan tersebut, kami mengukur tingkat pengetahuan informasi untuk melihat sejauh mana tingkat aksesibilitas kelompok disabilitas terkait kanal informasi COVID-19 yang disediakan oleh pemerintah Indonesia.

Hasil riset yang kami tulis laporannnya menunjukkan bahwa informasi seputar COVID-19 sulit diakses oleh penyandang disabilitas.

Informasi non-inklusif

Riset kuantitatif yang berlangsung sejak Maret hingga November 2021 melibatkan 259 partisipan penyandang disabilitas di Indonesia.

Peserta adalah laki-laki dan perempuan berusia 30-50 tahun yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Mereka berasal dari beragam jenis disabilitas, seperti disabilitas fisik, visual, tuli, mental, dan intelektual. Latar belakang pendidikan para peserta tersebar: di bawah SMA, lulus SMA, hingga lulus perguruan tinggi.

Kami menyebar kuesioner secara daring untuk mengukur tingkat pengetahuan partisipan terhadap sumber informasi berupa hotline COVID-19 milik pemerintah Indonesia. Kami juga mengecek media daring milik pemerintah seperti situs, publikasi digital, dan media sosial, dengan bantuan beberapa perangkat lunak komputer.

Kami mengajukan pertanyaan: apakah partisipan mengetahui adanya nomor hotline COVID-19 pemerintah pusat, daerah, dan desa dan kelurahan?

Hasilnya, sebanyak 78,4% partisipan tidak mengetahui adanya hotline COVID-19 milik pemerintah pusat dan daerah. Persentase partisipan yang tidak mengetahui adanya hotline di level kelurahan dan desa bahkan lebih tinggi, sebesar 82,2%.

Angka-angka ini mengindikasikan bahwa mayoritas partisipan tidak memahami bagaimana cara mencari pertolongan ketika mengalami gejala COVID-19.

Proses yang kami lakukan berikutnya adalah mengecek sampel kanal digital: enam situs pemerintah, tiga akun media sosial, dan lima publikasi digital. Pengecekan ini dilakukan dengan aplikasi Google Lighthouse, Wave WebAIM, dan pengecekan manual oleh tenaga ahli media disabilitas.

Hasilnya, situs https://covid19.go.id/ (kurang aksesibel); https://infeksiemerging.kemkes.go.id/ (kurang aksesibel); http://www.p2ptm.kemkes.go.id/profil-p2ptm/daftar-informasi-publik/covid-19 (kurang aksesibel); https://kipi.covid19.go.id/ (tidak aksesibel); https://pedulilindungi.id/ (kurang aksesibel); dan https://yankes.kemkes.go.id/app/siranap/ (kurang aksesibel).

Sedangkan tiga media sosial yang kami periksa adalah akun Twitter @satgascovid19id; akun Instagram @satgasperubahanperilaku; dan Channel Youtube Satgas Perubahan Perilaku. Ketiganya menunjukkan hasil tidak aksesibel.

Sementara publikasi digital yang telah diperiksa adalah Pengendalian COVID-19 dengan 3M, 3T, Vaksinasi, Disiplin, Kompak, dan Konsisten, Buku-2; Pengendalian Covid-19 dengan 3M, 3T Vaksinasi, Disiplin, Kompak, dan Konsisten; Panduan Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi Satgas Penanganan Covid-19; Pedoman Perubahan Perilaku Penanganan Covid-19; Pedoman Perubahan Perilaku Penanganan Covid-19-dalam 77 Bahasa Daerah.

Semua publikasi di atas masuk dalam kategori kurang aksesibel.

Kategori “kurang aksesibel” apabila hanya ada beberapa unsur aksesibilitas terpenuhi, seperti misalnya situs tidak menyediakan caption pada post video, namun postingan artikel sudah dapat terbaca screen reader. Itu artinya media tersebut telah mudah diakses oleh penyandang disabilitas visual saja. Sedangkan kategori “tidak aksesibel” adalah apabila situs, publikasi digital, maupun media sosial sama sekali tidak dapat diakses oleh disabilitas, misalnya disabilitas visual dan tuli tidak bisa mengakses, karena tidak ada fasilitas yang menunjang hal ini.

Tak beda jauh antara sebelum dan saat pandemi

Kondisi aksesibilitas informasi kelompok difabel tidak berbeda secara signifikan, baik sebelum maupun ketika pandemi.

Sebelum pandemi melanda, kelompok difabel sudah mengalami perlakuan diskriminatif dalam pemenuhan hak atas berbagai macam layanan, termasuk akses infomasi kesehatan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan bahwa infomasi terkait bantuan bagi kelompok difabel belum mampu diakses secara optimal.

Hal yang tak jauh berbeda juga tergambarkan melalui kondisi bahwa mayoritas situs milik pemerintah Indonesia tidak ramah difabel.

Ketika masuk dalam masa pandemi, penyandang disabilitas mendapatkan hambatan yang lebih buruk, seperti informasi yang tidak aksesibel untuk perlindungan secara mandiri dari COVID.

Belum lagi masalah stigma yang senantiasa menyasar kelompok ini. Akhirnya, mereka semakin sulit menghadapi pandemi.

Padahal, kelompok difabel perlu mendapatkan akses yang mudah dalam hal informasi risiko pandemi. Harapannya, komunitas ini tidak menjadi semakin rentan dan lebih tangguh saat menghadapi pandemi.

Tingkatkan aksesibilitas informasi pandemi dan libatkan komunitas

Selama hampir dua tahun pandemi, layanan informasi COVID kurang aksesibel karena hanya mengakomodasi beberapa kebutuhan penyandang disabilitas tertentu saja. Misalnya, konten artikel dalam salah satu situs pemerintah dapat terbaca oleh screen reader, tapi tidak ada caption pada konten video.

Ini berarti situs tersebut masih mengakomodasi disabilitas visual saja, tetapi belum mengakomodasi kebutuhan disabilitas tuli. Dengan kata lain, informasi mitigasi seputar pandemi belum berjalan optimal untuk membentuk komunitas difabel lebih tangguh dalam menghadapi wabah COVID-19.

Tak hanya memberikan kemudahan akses informasi kesehatan, pemangku kepentingan seperti pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan swasta perlu mendorong pelibatan aktif kelompok difabel dalam membentuk informasi risiko pandemi yang lebih partisipatif dan inklusif.

Melalui pelibatan kelompok difabel, perumusan mitigasi informasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan subjek. Pada akhirnya kelompok penyandang disabilitas dapat menghadapi risiko pandemi secara mandiri.

Hasil riset ini penting untuk menunjukkan seberapa efektif praktik mitigasi informasi COVID-19 berdasarkan pedoman yang disusun oleh WHO. Kami mendorong para pemangku kepentingan untuk memperperbaiki penyediaan informasi risiko oleh sehingga dapat mendorong penyandang disabilitas menjadi lebih tangguh dalam menghadapi pandemi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now