Menu Close

Dua tantangan pengembangan jurnalisme seluler di Indonesia: SDM dan teknologi yang terbatas

Banyak media di Indonesia beralih ke jurnalisme mobile Markus Winkler/Pixabay

Setidaknya 65% dari total populasi Indonesia, atau sekitar 175 juta orang, sudah terkoneksi dengan Internet. Dari 175 juta orang yang terkoneksi ke internet hampir seluruhnya (98%) mengakses internet melalui perangkat telepon seluler (telepon seluler) dan menghabiskan waktu berselancar di internet selama empat jam per hari.

Bila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna internet terbesar ke empat di dunia setelah Cina, India. dan Amerika Serikat.

Tingginya penggunaan ponsel di Indonesia pada akhirnya mengubah cara orang mengkonsumsi berita. Tidak seperti generasi sebelumnya, generasi muda Indonesia kini jarang atau mungkin hampir tidak pernah membaca berita melalui koran atau majalah. Mereka lebih memilih ponsel sebagai medium untuk mengakses berita terkini.

Oleh karena mayoritas warga Indonesia menggunakan ponsel untuk mengakses berita, maka perusahaan media dipaksa harus beradaptasi menyesuaikan diri dengan menerapkan prinsip jurnalisme seluler (mobile journalism) demi mengakomodasi perubahan perilaku orang dalam mengakses berita.

Pakar jurnalisme dari Universitas Oslo Metropolitan, Norwegia, Oscar Westlund, mendefinisikan jurnalisme seluler sebagai proses produksi dan distribusi berita melalui perangkat ponsel.

Namun, meski kebutuhan produksi berita dengan menggunakan ponsel di Indonesia terus meningkat, saya melihat bahwa penerapan praktik jurnalisme seluler oleh media masih menemui sejumlah tantangan karena sumber daya manusianya yang terbatas dan kemampuan yang belum terstandarisasi. Belum lagi masalah akses terhadap teknologi dan internet yang tidak merata di Indonesia.

Jurnalisme mobile di Indonesia

Perubahan kini sedang terjadi di banyak ruang redaksi, termasuk redaksi media di Indonesia.

Anthony Adornato, profesor bidang jurnalistik di Ithaca College’s Roy H. Park School of Communication, Amerika Serikat, menjelaskan perubahan pada ruang redaksi yang mengadaptasi “prinsip yang memprioritaskan pemberitaan dengan menggunakan teknologi seluler (mobile first culture)” terjadi di seluruh dunia dan Indonesia bukan pengecualian.

Sejumlah media di Indonesia secara bertahap mulai beralih menerapkan jurnalisme seluler dalam kerja jurnalistiknya. Salah satu yang menerapkan prinsip mobile first adalah Kompas.com.

Media online milik grup Kompas Gramedia ini pertama kali diluncurkan 25 tahun lalu dan sejak 2018 membentuk divisi khusus untuk mengembangkan konten digital dengan mengarusutamakan prinsip jurnalisme seluler.

“Hal ini bukan tanpa sebab, 80% pembaca Kompas.com mengakses konten melalui ponsel,” kata Laksono Hari Wiwoho, Asisten Redaktur Pelaksana Kompas.com.

Kompas.com tidak sendiri sebab ada media lain juga yang mengaplikasikan pendekatan mobile first dalam produksi dan distribusi berita mereka.

Salah satunya adalah, Narasi TV, start up media televisi digital yang berdiri tahun 2018. Narasi TV menggunakan ponsel sebagai salah satu alat untuk mengambil gambar dan mengeditnya menjadi konten lalu mendistribusikan konten tersebut melalui platform media sosial.

“Kesadaran untuk menangkap momen dan menjamin efektifitas dalam kerja-kerja jurnalistik, maka prinsip jurnalisme seluler ini menjadi kebutuhan mendasar yang terus diasah,” kata Laban Abraham Laisila, Kepala Ruang Redaksi Narasi TV.

Hingga kini Narasi TV memiliki 14 program yang didistribusikan secara digital melalui situs web dan YouTube. Pendirinya, Najwa Shihab, mengatakan Narasi TV bertujuan untuk menghasilkan cerita yang berkualitas dan memastikan kontennya ramah untuk diakses secara mobile.

Tantangan

Jurnalisme seluler di Indonesia masih dalam tahap awal.

Akses internet yang layak masih jadi tantangan bagi reporter di lapangan.

“Kualitas jaringan internet yang terbatas seringkali memperlambat atau menghentikan proses pengiriman video. Kondisi ini lebih parah lagi jika hendak siaran langsung atau streaming,” kata Laksono.

Hambatan lain adalah pemahaman narasumber, terutama pejabat pemerintah, yang belum mengerti cara kerja jurnalis yang mulai berubah. Narasumber kerap menganggap jurnalis yang menggunakan ponsel tidak profesional dan serius dalam peliputan.

“Tidak sedikit pejabat pemerintah yang meremehkan jurnalis yang ingin wawancara dengan ponsel. Wartawan seluler sering dituduh sebagai reporter gadungan, padahal sudah melengkapi diri dengan kartu pers,” kata Andi Muhyiddin, mantan Kepala Divisi Digital Liputan6.com.

Menurut Andi, jurnalis di Liputan6.com sudah terbiasa menulis, mengambil gambar, dan merekam video untuk memproduksi berita sejak 2019.

Kualitas sumber daya manusia juga menjadi masalah.

Jurnalis diharapkan dapat memproduksi dan berbagi konten di berbagai platform dan pada saat yang sama berinteraksi dengan audiens. Tapi tidak banyak yang memiliki keterampilan ini dan tentunya tidak mudah.

Oleh karena itu, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dalam ekosistem media di Indonesia untuk dapat menerapkan prinsip jurnalisme seluler dalam memproduksi dan mendistribusikan berita melalui media sosial.

Dengan jumlah jurnalis di Indonesia yang lebih dari 120.000 orang (salah satu yang terbesar di kawasan Asia-Pasifik), saya yakin setiap jurnalis modern perlu memiliki kemampuan dalam mengoptimalisasi ponsel mereka dan media sosial.

Oleh karena itu jurnalis perlu dibekali dengan pelatihan dasar tentang cara menghasilkan berita menggunakan perangkat seluler mereka.

Asosiasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bisa bekerja sama memberikan semacam pelatihan untuk membekali wartawan agar tetap relavan dengan zaman. Asosisasi juga dapat bekerja sama dengan universitas untuk mengembangkan modul pelatihan dan eksperimen bentuk-bentuk baru karya jurnalistik.

Jurnalisme seluler membuka peluang baru bagi media di Indonesia. Peningkatan akses internet, kualitas dan keterjangkauan akan menjadi penentu perkembangan jurnalisme di Indonesia.

Jurnalisme seluler menghadirkan tantangan baru bagi media di Indonesia, tapi yang terpenting dari semua ini adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan normal baru.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now