Menu Close
Telaga Menjer di Wonosobo, Jawa Tengah. Antara

Duet energi surya dan ‘baterai’ berbasis air bisa jadi opsi terandal transisi energi Indonesia

Sebagai salah satu negara pelepas emisi terbesar di dunia, Indonesia berkomitmen untuk mencapai kondisi impas karbon (carbon neutral) pada tahun 2060.

Namun, peningkatan kesejahteraan, pertambahan jumlah penduduk, dan elektrifikasi di berbagai sektor akan mendongkrak konsumsi listrik Indonesia hingga mencapai 30 kali lipat dari saat ini – 9.000 terawatt jam (TWh) per tahun. Tren ini dapat memengaruhi keamanan pasokan listrik, daya beli masyarakat, dan lingkungan yang berkelanjutan.

Studi kami terdahulu mengungkapkan bahwa Indonesia dapat mengandalkan energi surya yang ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan memasang miliaran panel surya, Indonesia mampu menghasilkan sekitar 190.000 TWh per tahun. Angka ini bahkan lebih besar dari konsumsi listrik dunia pada tahun 2020.

Namun, jika hanya bertumpu pada energi surya, pasokan setrum di tanah air berisiko tidak konsisten karena matahari tidak bersinar sepanjang hari. Karena itu, demi memastikan pasokan energi yang terus menerus, termasuk saat musim hujan, Indonesia butuh fasilitas penyimpanan energi dalam jumlah besar.

Untungnya, Indonesia punya fasilitas penyimpanan energi (energy storage) berbasis alam – menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berteknologi pumped hydro energy storage (PHES) atau pumped storage. Di tanah air, potensi PLTA pumped storage sangatlah besar.

PLTA pumped storage merupakan teknik penyimpanan energi dengan memanfaatkan kelebihan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) saat hari cerah. Listrik digunakan untuk memompa air untuk disimpan dalam waduk yang posisinya lebih tinggi.

Kemudian, kala pasokan setrum dari PLTS berkurang lantaran cuaca mendung ataupun pada malam hari, PLTA pumped storage dapat dioperasikan sebagai pembangkit listrik. Air yang sebelumnya disimpan dapat dilepaskan dari waduk yang tinggi menuju waduk yang lebih rendah. Aliran air ini menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik.

Riset terbaru kami turut memetakan lokasi terbaik untuk waduk PLTA pumped storage. Jumlahnya banyak sekali, dan tersebar di seluruh negeri, termasuk di pulau Jawa, Bali dan Sumatera.

Jaminan pasokan listrik

Riset kami menganalisis potensi PLTA pumped storage jenis off-river (tanpa membendung sungai) di Indonesia.

Untuk membangun fasilitas ini, kita membutuhkan dua waduk atau danau masing-masing minimal seluas 1 kilometer persegi. Keduanya mesti memiliki perbedaan ketinggian sekitar 600 meter. Kedua waduk ini terhubung dengan terowongan air (tunnel) yang di dalamnya terpasang pompa dan turbin.

Mekanisme teknologi ini berbeda dengan PLTA pumped storage konvensional yang harus membendung sungai.

PLTA pumped storage pada mode penyimpan energi. (sumber: pumpedhydro.com.au)
PLTA pumped storage pada mode pembangkit listrik. (sumber: pumpedhydro.com.au)

Indonesia pun bisa memanfaatkan lahan bekas tambang sebagai fasilitas penyimpanan air (reservoir), danau, maupun waduk yang sudah ada. Karena itu, risiko sosial dan lingkungan dari PLTA jenis off-river pumped storage ini menjadi jauh lebih kecil.

PHES jenis konvensional berbasis sungai (river-based) (kiri) and PHES off-river (kanan). (Sumber: NREL)

Luas lahan yang dibutuhkan oleh PLTA off-river pumped storage juga relatif kecil. Misalnya, pembangkit berkapasitas 150 gigawatt-jam (GWh) hanya memerlukan sekitar 8 hektar lahan per GWh. Angka tersebut jauh lebih hemat dibandingkan proyek PLTA pumped storage konvensional Upper Cisokan di Jawa Barat yang membutuhkan penenggelaman lahan sekitar 50 hektar per GWh.

Dengan kemampuan beroperasi antara 50-100 tahun, sistem PLTA off river pumped storage berpeluang mengurangi ketergantungan Indonesia pada baterai konvensional di masa depan karena penggunaan PLTS. Baterai biasanya memiliki umur operasi hanya sekitar 10-15 tahun. Indonesia juga bisa menghindari risiko kekurangan pasokan bahan baku baterai seperti litium dan kobalt.

Berapa besar potensinya?

Indonesia memiliki 26 ribu lokasi potensial untuk pengembangan PLTA off-river pumped storage. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari kebutuhan nasional. Kami sudah mengulas beberapa lokasi terbaik, dengan kapasitas penyimpanan terbesar dan perkiraan biaya termurah, dengan total potensi 321 TWh.

Kawasan Indonesia bagian timur (Sulawesi, Maluku, Papua, dan Kalimantan) punya potensi terbesar dengan kebutuhan fasilitas penyimpanan energi yang terkecil. Sebaliknya, Indonesia bagian barat (Jawa dan Sumatera) diperkirakan akan membutuhkan fasilitas penyimpanan energi yang besar di masa depan.

Gambar berikut mengilustrasikan potensi terbaik PLTA pumped storage jenis off-river pada setiap kawasan Indonesia dibandingkan dengan kebutuhan penyimpan energi pada tahun 2060.

Potensi PLTA pumped storage jenis off-river per regional di Indonesia. Warna hijau menunjukkan potensi, dan warna merah menunjukkan perkiraan kebutuhannya.

Potensi sumber energi air yang tidak merata akan menjadi salah satu bahan ulasan riset kami berikutnya. Riset tersebut membahas peluang dan tantangan saat seluruh sistem kelistrikan Indonesia dari timur ke barat telah terhubung melalui jaringan transmisi (super grid). Apakah biayanya bisa murah, atau malah lebih baik dioperasikan terpisah secara regional.

Solusi hemat biaya

Sejauh ini, PLTA pumped storage merupakan metode termurah untuk menyimpan energi surya. Kapasitas terpasangnya, dibanding teknologi energy storage lainnya, juga merupakan yang terbesar di dunia.

Pada riset kami yang terbaru, kami memodelkan PHES 150 GWh di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah berkapasitas 7,5 Gigawatt – kapasitas penyimpanan energi yang sangat besar.

Sistem ini mampu menyimpan energi untuk membangkitkan listrik selama 20 jam. Lokasi ini memiliki perbedaan ketinggian 741 meter, dan terpisah pada jarak 4 kilometer. Sedangkan kebutuhan penenggelaman lahan untuk pembangunan fasilitas tersebut diperkirakan mencapai 4 hektar per GWh.

Kami menghitung kebutuhan investasi untuk mengembangkan lokasi ini sebesar US$ 9,4 miliar (Rp 137 triliun). Ini termasuk biaya pengisian air pertama kali dan pengadaan lahan. Sebagai perbandingan, baterai buatan Tesla dengan kapasitas yang sama membutuhkan dana sebesar US$ 60 miliar (Rp 875 triliun) – atau US$ 1,2 juta (Rp 17,5 milyar) per 3 MWh.

Contoh studi potensi PLTA pumped storage jenis off-river 150 GWh di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. ( Sumber: Australian National University Global Pumped Hydro Atlas)

Dengan potensi PLTA off-river pumped storage yang besar, Pemerintah Indonesia semestinya bisa lebih optimis dalam merencanakan pembangunan PLTS dalam skala besar. Harapannya, transisi energi menuju netral karbon menjadi semakin realistis.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now