Menu Close
Kita tidak boleh memberikan ruang untuk ekstremisme tumbuh. EPA/Andy Rain, CC BY-SA

Empat hal yang dapat diambil dari serangan teror Selandia Baru

Setelah serangan mematikan yang terjadi di Christchurch Jumat lalu, kita harus fokus memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang kehilangan orang-orang tercintanya dan bersatu melawan aksi terorisme yang keji.

Sejauh ini kita tahu bahwa pelaku penyerangan teroris paling mengerikan dalam sejarah Selandia Baru adalah seorang pejuang supremasi kulit putih. Kita tahu bahwa dia membeli dan menimbun senjata api dalam waktu yang panjang, dan keyakinan rasisnya memotivasi aksinya.

Namun ada beberapa pelajaran dan poin penting lain yang dapat diambil dari penyerangan ini. Pelajaran ini yang seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah Selandia Baru dalam menentukan respons untuk jangka panjang.


Read more: Christchurch attacks are a stark warning of toxic political environment that allows hate to flourish


1. Muslim adalah korban teror terbesar di dunia

Hal pertama yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat adalah memberikan perhatian yang berkelanjutan terhadap ekstremis sayap kanan. Saat ini, mungkin pelaku ekstremis melakukan kejahatannya sendirian, tetapi ideologi yang memotivasinya telah menyebar di seluruh dunia dan menjangkiti kehidupan politik kita.

Kita tahu bahwa kelompok radikal kanan sudah melakukan kejahatan serupa sebelumnya. Yang paling terkenal mungkin adalah ekstremis yang membunuh 77 orang di Norwegia tahun 2011. Namun ini hanya merupakan bagian dari sejarah panjang kekerasan ekstremis kanan.

Berdasarkan penelitian oleh Anti-Defamation League, dalam satu dekade terakhir, 73,3% dari semua tragedi yang melibatkan ekstremis di Amerika Serikat dapat dihubungkan dengan ekstremis sayap kanan lokal, sementara 23,4%-nya dapat dihubungkan dengan ekstremis Islam. Masyarakat Selandia Baru perlu memperhatikan ini. Ketakutan bahwa aksi terorisme yang didorong oleh semangat jihad dapat terjadi sewaktu-waktu di Selandia Baru memang nyata, tetapi terdapat juga ancaman dari ideologi neofasis.

Ada catatan kaki yang tragis dari cerita mengenai terorisme, yaitu bahwa di dunia ini kelompok muslim adalah korban terorisme terbesar sejak 9/11. Laporan tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Pusat Penanggulangan Terorisme Amerika Serikat (NCTC) mengatakan:

Dalam kasus-kasus di mana agama korban terorisme diketahui, 82% sampai 97% korban meninggal dalam lima tahun terakhir adalah kaum muslim.

Jelas kita perlu melakukan sesuatu untuk melindungi komunitas muslim dari aksi kekerasan dan lebih fokus terhadap ideologi fasisme, yang menopang baik kelompok sayap kanan maupun orang-orang yang melakukan aksi kekerasan atas nama Islam.

Di kota-kota Selandia Baru dan dunia, orang-orang berkumpul untuk berdoa dan memberikan penghormatan terakhir kepada korban teror masjid Christchurch. (AAP/Jono Searle, CC BY-SA

2. Kelompok ekstremis memiliki banyak kesamaan

Pelajaran kedua berhubungan dengan proses radikalisasi. Kita perlu mengerti lebih baik mengapa orang yang melakukan pembunuhan massal meyakini hal-hal yang penuh kebencian tersebut. Ini jelas permasalahan sosial yang serius yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk perubahan demografis, ketimpangan, kemiskinan, dan kurangnya pendidikan.

Penelitian terbaru mengenai radikalisasi menyebut orang-orang yang beraksi sendirian dalam aksi terorisme biasanya tidak mampu bersosialisasi dan dan tidak mampu menjadi bagian dari masyarakat. Mereka sering menyuarakan keyakinan mereka di media sosial, yang berarti kita bisa melaporkannya ke pihak berwenang.

Kaum radikal juga cenderung memiliki ciri-ciri psikologis dan kognitif yang mendukung aksinya. Menurut laporan terbaru oleh European Institute for Peace, ciri-ciri ini termasuk memberikan keluhan yang dibangkitkan dengan ideologi yang sama, sebuah proses “de-pluralisasi” di tingkat pemikiran, di mana mereka cenderung fokus pada pemikiran-pemikiran sempit untuk memahami dunia, dan bias konfirmasi, yang terjadi ketika peristiwa dikemas ulang dalam kepercayaan dan asumsi yang sudah ada.

Penelitian lain menunjukkan proses seorang menjadi radikal melibatkan proses yang berlangsung beberapa tahun sampai orang mencapai tangga puncak untuk melakukan aksi kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk pencegahan awal adalah kunci untuk membuat orang tidak melakukan aksi kekerasan.

Saat ini berkembang masalah keterasingan generasi muda secara sosial dan kognitif dalam kehidupan masyarakat modern. Ahli radikalisasi Scott Atran mengatakan:

Kelompok ekstremis yang menggunakan kekerasan mewakili kejatuhan budaya tradisional, pada yang sama orang-orang muda mencari-cari identitas sosial yang memberikan makna hidup. Ini adalah sisi gelap dari globalisasi.

3. Dark web jadi tempat subur tumbuhnya kebencian

Pelajaran ketiga adalah teknologi komunikasi global menyediakan tempat untuk ekstremisme dan kebencian tumbuh. Ini artinya aksi penyerangan sendirian tidak sebenarnya “sendiri”. Mereka terhubung dengan ideologi neo-Nazi global yang terstruktur dan menggunakan internet sebagai media propaganda.


Read more: Why news outlets should think twice about republishing the New Zealand mosque shooter's livestream


Menurut laporan terbaru Data & Society Research Institute, orang-orang ekstrem kanan sering menyebarkan pemikiran supremasi kulit putih, fobia akan Islam (Islamophoobia), dan kebencian terhadap perempuan atau misogini di internet lewat situs seperti 4chan dan 8chan.

Kelompok sayap kanan sudah sering menyebarkan propaganda lewat media sosial dan telah mampu membelah masyarakat dengan sentimen SARA lewat meme dan informasi palsu. Kelompok ekstrem kanan menggunakan taktik ini di pemilu Amerika Serikat tahun 2016, dan terus menggunakannya, termasuk dalam perdebatan tentang referendum Brexit, di mana warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa.

Upaya Google baru-baru ini untuk melarang atau menutup situs-situs yang menyebarkan paham ekstrem kanan menunjukkan bahwa situs-situs seperti ini tidak mudah untuk ditutup. Situs neo-Nazi yang ditutup atau dilarang “pergi ke tempat gelap” yang berarti mereka bersembunyi di balik platform yang tidak dapat dijangkau perusahaan teknologi dan layanan keamanan.

Timothy Snyder, seorang sejarawan terkemuka yang meneliti soal pembunuhan massal holocaust, mencatat bahwa bentuk “manipulasi massa” ini berdasarkan emosi dan bukan pemikiran rasional. Penyebaran kabar bohong dan propaganda di internet menjadi sarana yang sempurna untuk meningkatkan ketakutan, kemarahan, dan kecemasan. Semua perasaan tersebut adalah kondisi psikologis yang menjadi sumber aksi kekerasan.

4. Selandia Baru memang punya masalah sayap kanan

Pelajaran terakhir adalah pelajaran yang lebih luas dan politis bagi Selandia Baru. Ada kecenderungan dari beberapa bagian kelompok politik di Selandia Baru yang menganggap masyarakat Selandia Baru hidup di lingkungan internasional yang secara umum damai. Ini menjadi bagian dari masalah politik Selandia Baru yang cenderung mengisolasi diri hingga tidak menganggap isu keamanan secara serius dan buntutnya pemerintah setempat tidak mengeluarkan dana yang sesuai. Serangan di Christchurch telah membuyarkan ilusi ini.

Masalah sayap kanan di Selandia Baru memiliki akar sejarahnya. Pawai kelompok sayap kanan telah dilakukan beberapa kali di Christchurch. Seorang kandidat ekstrem kanan yang juga seorang tersangka pembakaran marae (tempat pertemuan Maori) telah maju mencalonkan diri sebagai walikota tiga kali. Terakhir pada tahun 2013, dirinya mendapatkan jumlah suara yang lumayan.


Read more: Christchurch mosque shootings must end New Zealand's innocence about right-wing terrorism


Dalam panggung internasional masyarakat Selandia Baru perlu menantang keyakinan yang mendukung ekstremisme sayap kanan. Permintaan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern kepada Donald Trump untuk memberikan perasaan sayang terhadap Muslim adalah permulaan yang bagus dan mengingatkan kita bahwa rasisme di tingkat tertinggi masyarakat mampu memberikan alasan untuk ekstremisme tumbuh.

Selandia Baru juga perlu menentukan secara ulang kebijakan luar negeri dan keamanan mereka dalam proses deradikalisasi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Program Prevent di Inggris telah menunjukkan keberhasilan dalam pencegahan ekstremisme sayap kanan, model yang mungkin baik untuk diikuti.

Penduduk Selandia Baru kini sadar mengenai rasa takut dan kekacauan yang ditimbulkan terorisme. Namun, tujuan dari terorisme adalah untuk menggunakan rasa takut tersebut untuk merusak demokrasi dan cara hidup kita. Jadi, kita perlu menyalurkan respons kita ke dalam cara yang melindungi nilai-nilai yang kita pegang.

Kita harus sadar bahayanya reaksi berlebihan, tetapi penting juga untuk melipatgandakan usaha kita membentuk strategi berlapis dan empiris yang menyasar radikalisme untuk menemukan penyebab ekstremisme yang berasal dari faktor global dan juga lokal.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now