Menu Close
Pixnio

Empat masalah tentang kebakaran hutan yang bisa mengganjal target emisi Indonesia 2030

Indonesia bermaksud mengurangi emisi dari kebakaran hutan dan lahan hingga 80% dibandingkan pada 2015.

Rencana ini bagian dari target ambisius Indonesia untuk menekan emisi ke titik impas, bahkan minus, dari sektor kehutanan dan lahan yang tertuang dalam kebijakan Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030.

Secara historis, kebakaran berkali-kali menyumbang emisi karbon yang fantastis seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 dan 2015.

Kebakaran hebat juga terjadi pada 2019, yang menurut studi, telah menghanguskan 3,11 juta hektare hutan dan lahan. Insiden ini menjadikan sektor kehutanan dan lahan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar pada tahun yang sama.

Berdasarkan pengamatan saya pada kebijakan dan praktik terkait kebakaran sejak 2015, ada setidaknya empat hal yang perlu diperhatikan pemerintah agar rencana pengurangan emisi sektor kehutanan berjalan efektif.

1. Kebakaran tak hanya tentang sumber api

Salah satu hal genting, tetapi jarang dibahas, adalah kebakaran bukan hanya tentang sumber api, tetapi juga terkait peran manusia dalam menciptakan lingkungan yang mendukung.

Tidak mengherankan apabila para aktivis dan pemerhati lingkungan menyoroti rencana-rencana pemerintah yang berpotensi mengikis integritas hutan, mengganggu ekosistem gambut, atau hal lainnya yang menjadikan hutan dan lahan rentan terbakar. Sebab, program pembangunan berpotensi menihilkan upaya perbaikan lingkungan yang tengah berjalan.

Salah satu contohnya adalah program food estate di empat provinsi yang merambah hutan alam seluas 1,57 juta ha. Para pegiat lingkungan menganggap program ini berlawanan dengan rencana pengurangan emisi dan komitmen pelestarian hutan pemerintah.

Narasi yang seakan mendukung deforestasi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap program pengurangan emisi sektor hutan dan lahan.

Barangkali masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia ketika Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan bahwa “pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi”.

Pernyataan ini semestinya tidak keluar dari pemerintah. Sebab, upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran membutuhkan dukungan luas dari masyarakat.

2. Masih berfokus pada pemadaman api

Saya mengapresiasi inisiatif pemerintah membentuk lembaga-lembaga untuk pencegahan kebakaran seperti pasukan Manggala Agni, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), hingga Masyarakat Peduli Api (MPA).

Pasukan Manggala Agni sedang memadamkan api. KLHK

Pemerintah pun menyiapkan dana penanggulangan bencana bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan kementerian serta lembaga, termasuk untuk untuk penanganan kebakaran.

Sayangnya, kebijakan turunan pemerintah justru masih kental dengan urusan yang bersifat penanggulangan, bukan pencegahan. Misalnya, dana taktis pencegahan kebakaran BNPB masih diutamakan untuk pemadaman – karena berpedoman pada peningkatan status antara siaga hingga darurat.

Terkait dengan itu, kompensasi bagi para petugas lapangan juga lebih ajeg di perencanaan pasca-terbakar alih-alih sebelum terbakar.


Read more: Riset: angka kebakaran hutan 2019 jauh lebih besar dibanding data pemerintah


Sementara itu, belum ada dana tanda jasa ataupun insentif lainnya yang langsung diterima masyarakat desa ketika mereka berhasil mencegah potensi kebakaran. Padahal skema ini juga layak diimplementasikan agar warga semakin gencar mencegah kebakaran di sekitarnya.

Sayangnya, jangankan insentif, pemerintah desa sendiri masih kebingungan untuk menganggarkan pos pencegahan kebakaran karena terbentur regulasi dana desa yang ketat.

3. Proporsi kuantitas/kualitas tenaga belum optimal.

Pemerintah memang memiliki segudang kebijakan operasional untuk pengurangan emisi, salah satunya terkait dengan kebakaran. Namun, ujung tombak tercapainya kebijakan ini berada di tingkat kecamatan dan desa.

Selama ini, mereka kerap tergopoh-gopoh mengejar target yang disusun pemerintah pusat.

Polisi hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat, bersama masyarakat. KLHK

Misalnya, kendala paling lazim ditemui di tingkat tapak selama ini adalah antara jumlah dan kualitas personel dengan wilayah yang perlu dijaga. Sebagai gambaran, rasio jagawana (polisi hutan) yang ideal dengan luas hutan adalah 1:1000 hektare.

Namun, dengan luas hutan mencapai 125,2 juta hektare, rasio riilnya saat ini mencapai 1:18.000 hektare, sehingga jumlah personel yang tersedia jauh dari ideal.

Di sisi lain, keterampilan anggota Masyarakat Peduli Api juga belum merata. Sejatinya mereka memang tenaga sukarela yang, karena keterbatasan pemerintah atau faktor kedekatan mereka dengan wilayah rawan terbakar, menjadi tulang punggung pencegahan kebakaran. Perlu investasi yang lebih serius jika memang kebijakan kebakaran hutan dan lahan akan dibebankan pada mereka.


Read more: Umur hutan primer gambut Sumatra dan Kalimantan hanya tersisa 50 tahun lagi bila laju kebakaran tak diturunkan


Apabila program kebakaran memang berorientasi pada pencegahan, pemerintah perlu berhitung ulang untuk memastikan kecukupan dan kecakapan sumber daya manusia yang diperlukan.

Dalam keadaan normal, dan tentunya cuaca yang berpihak, semua memang tampak baik-baik saja. Namun, ketimpangan ini akan terekspos ketika terjadi kebakaran seperti pada 2015 atau 2019.

4. Penegakan hukum yang tak berimbang

Para pakar menyatakan, kebakaran tahun 2019 banyak terjadi di wilayah konsesi perusahaan. Ini terjadi karena tingkat kepatuhan perusahaan terhadap aturan pemulihan lahan dan pencegahan-penanganan kebakaran masih sangat rendah. Perusahaan juga dianggap mengelak dari tanggung jawab untuk mencegah daerahnya tak dilalap api.

Warga berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di desa Pulau Semambu, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa 6 Agustus 2019. Ahmad Rizki Prabu/Antara

Sialnya, sulit sekali memproses pelanggaran hukum oleh korporasi. Sebagai gambaran, di Kalimantan Tengah, dari 161 kasus perorangan (kebanyakan di antaranya adalah peladang tradisional), sebanyak 121 di antaranya menjadi tersangka. Sementara, dari 20 kasus korporasi, hanya 2 di antaranya yang menjadi tersangka.

Sebagai salah satu dari delapan aksi utama dalam target pengurangan emisi sektor kehutanan dan lahan, penegakan hukum tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Efek takut dan jera sepatutnya juga diharapkan ke pelaku industri, bukan hanya kepada para peladang tradisional yang tak berdaya didera teror larangan membakar.

Butuh konsistensi dan sinergi

Indonesia tidak kekurangan pengetahuan maupun pengalaman tentang kebakaran. Negara pun banyak berbenah melalui beragam program atau inisiatif, terutama setelah kebakaran hebat tahun 2015.

Kini, pekerjaan besar bersandar pada dua hal, yakni konsistensi dan sinergi antarlembaga.

Konsistensi yang dimaksud terkait dengan upaya menjadikan pencegahan kebakaran sebagai isu strategis nasional.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah memulai langkah ini, misalnya melalui apel siaga kebakaran hutan dan lahan dengan aparat kementerian dan lembaga terkait. Sikap ini kemudian terasa hingga ke tingkat lokal ketika Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan MPA aktif melakukan patroli. Konsistensi ini akan diuji dalam beberapa tahun ke depan, terutama ketika mengalami El-Niño yang mengakibatkan kemarau panjang di Indonesia.


Read more: Mengapa memadamkan kebakaran hutan di Indonesia begitu sulit: sebuah kisah personal pakar hutan


Pemerintah juga perlu memastikan program terkait kebakaran yang tersebar di kementerian dan lembaga seperti KLHK, BNPB, BRGM, Manggala Agni, dan pemerintahan daerah kompak dalam hal perencanaan dan pelaksanaan.

Contoh kecil yang perlu dipertimbangkan adalah menyelaraskan perkakas para petugas agar semua yang terlibat, tidak hanya Masyarakat Peduli Api, bisa menggunakan infrastruktur sumur bor di wilayah rawan terbakar ketika nantinya dibutuhkan.

Patut diingat bahwa, pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah bagian dari komitmen iklim pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca bersama negara-negara di dunia. Artinya, rencana ini amat penting berdampak pada kelangsungan bumi ke depannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now