Menu Close
Indonesia perlu memperkuat infrastrukturnya. Photo by Jess Loiterton from Pexels

Empat tantangan pembangunan infrastruktur tahan bencana di Indonesia

Selama periode 2014-2019, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian rata-rata tahunan akibat bencana sebesar US$ 20 miliar (Rp 285 triliun) dari berbagai sektor.

Riset terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan setidaknya terdapat empat tantangan utama yang dihadapi Indonesia untuk membangun infrastruktur yang resilien. Tantangan tersebut yaitu tatanan infrastruktur di Indonesia, memastikan pemerintah daerah terlibat dalam pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, pembiayaan, serta basis data, pemantauan, dan evaluasi.

Tatanan infrastruktur yang belum jelas

Tantangan pertama dalam membangun infrastruktur yang resilien adalah belum adanya definisi dan standardisasi ketahanan terhadap bencana yang menyeluruh. Ini terjadi meskipun aspek ketahanan telah dimasukkan dalam perencanaan infrastruktur nasional.

Di Indonesia, pengembangan infrastruktur yang resilien berdasar pada Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) 2014-2025.

Sesuai RAN API, infrastruktur yang sudah ada dan yang direncanakan harus beradaptasi pada perubahan iklim melalui penyesuaian pada struktur, komponen, desain, dan lokasi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 juga telah menjadikan infrastruktur yang tangguh, baik dari sisi konstruksi maupun rehabilitasi, sebagai proyek utama.

Ditambah lagi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-MAPI) pada tahun 2012 yang secara eksplisit membahas ketahanan dalam fasilitas air, jalan dan jembatan, keahlian teknik, dan rencana tata ruang. Dokumen-dokumen tersebut mengatur perencanaan dan pembangunan infrastruktur tahan bencana dan perubahan iklim di Indonesia.

Meskipun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim telah dimasukkan dalam perencanaan nasional, sektor infrastruktur secara khusus belum memiliki spesifikasi dan standardisasi yang menyeluruh. Hanya beberapa regulasi yang telah dibuat mengenai hal ini, seperti bangunan hijau dan konstruksi berkelanjutan. Tercatat, hanya beberapa regulasi yang mengatur hal ini, seperti aturan bangunan hijau (Permen PU No.2/2015) dan konstruksi berkelanjutan (Perpres No.5/2015)

Klarifikasi lebih lanjut mengenai spesifikasi teknis dan penyesuaian iklim untuk pembangunan infrastruktur masih diperlukan. Untuk itu, diperlukan aturan-aturan lain yang lebih konkret dan terperinci mengenai spesifikasi teknis dan penyesuaiannya diperlukan untuk mendorong pembangunan infrastruktur resilien.

Pengarusutamaan infrastruktur yang resilien ke Pemerintah Daerah

Melalui sistem desentralisasi, pemerintah daerah dapat berperan secara terpisah dari pemerintah pusat dalam penyediaan infrastruktur.

Sayangnya, terdapat setidaknya dua masalah utama dalam menanamkan perspektif iklim dan bencana ke dalam kebijakan di tingkat daerah. Pertama, kurangnya kemauan politik. Kedua, keterbatasan kapasitas pemerintah daerah.

Pemerintah daerah cenderung memandang kesiapsiagaan bencana dan perubahan iklim sebagai masalah remeh yang membutuhkan perhatian minimal.

Penelitian yang dilakukan Riyanti Djalante, ahli lingkungan dan geografi dari Macquarie University, Australia memaparkan bagaimana banyaknya masalah lain yang harus diperhatikan seperti kemiskinan, peningkatan pendapatan daerah, dan pertumbuhan ekonomi telah membuat pengelolaan bencana menjadi kurang diprioritaskan karena bukan merupakan indikator kinerja utama bagi pemerintah daerah.

Dari sisi kapasitas sumber daya manusia, tidak semua pemerintah provinsi memiliki personil yang mencukupi, berkualitas, dan peka akan pentingnya ketahanan infrastruktur.

Ditambah lagi, data terkait perubahan iklim dan bencana masih belum terintegrasi dan sulit diakses.

Studi yang dilakukan baik oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia maupun pakar manajemen darurat bencana dari Charles Darwin University Jonatan A. Lassa menegaskan bahwa akibat ketidaktersediaan data di tingkat regional, penilaian kerentanan dan strategi ketahanan infrastruktur juga cenderung ketinggalan zaman tanpa ada sumber daya untuk memperbaharuinya.

Keterbatasan tersebut menyebabkan kemajuan teknis pengembangan infrastruktur hanya terjadi di daerah yang sebelumnya terkena bencana (seperti Aceh, Padang, dan Yogyakarta) karena mereka menerima dukungan besar untuk pembangunan kembali dan rekonstruksi.

Pembiayaan infrastruktur yang terbatas

Pembangunan infrastruktur yang resilien terhadap perubahan iklim dan bencana membutuhkan pembiayaan yang masif.

Berdasarkan estimasi LPEM FEB UI lewat analisis data Bappenas (2020), kebutuhan pembiayaan infrastruktur selama periode 2020-2024 adalah sekitar US$ 455 miliar. Dengan tambahan kebutuhan pembiayaan sebesar 3%, total kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur resilien di Indonesia mencapai sekitar US$ 469,2 miliar, atau setara dengan 43,5% dari total pendapatan domestik bruto Indonesia yang berkisar di US$ 1,1 triliun.

Menurut perhitungan Bank Dunia, biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk menambahkan unsur ketahanan terhadap bencana dan iklim dalam pembangunan infrastruktur adalah sekitar 3% lebih tinggi infrastruktur konvensional.

Namun, kebutuhan pembiayaan jangka pendek yang besar ini dapat mengurangi biaya perbaikan dan pemeliharaan ke depannya, sehingga membawa manfaat ekonomi di samping berbagai manfaat sosial yang muncul dari tersedianya infrastruktur resilien.

Layaknya negara berkembang pada umumnya, Indonesia merupakan negara dengan kapasitas fiskal yang relatif terbatas. Akibatnya, pemerintah sulit untuk meningkatkan pendanaan infrastruktur resilien secara substansial.

Menggunakan data [Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara], analisis LPEM FEB UI pada tahun 2021 menunjukkan bahwa dari kebutuhan pendanaan tersebut, pemerintah pusat hanya mampu berkontribusi sebesar 40,7% (US$191,3 miliar), sedangkan potensi pendanaan dari BUMN hanya sebesar 20,4% (US$95,6 miliar).

Menimbang kondisi ini, masih ada sekitar 39% atau US$ 182,5 miliar yang harus tersedia untuk mendanai infrastruktur resilien di luar dari budget pemerintah.

Partisipasi sektor swasta yang sangat dibutuhkan di Indonesia terbentur oleh pendalaman pasar keuangan yang relatif rendah. Rendahnya pendalaman pasar keuangan membuat instrumen pendanaan di Indonesia relatif terbatas. Sebagai contoh, di beberapa negara maju terdapat instrumen seperti infrastructure bonds, di mana pihak swasta dan masyarakat dapat membeli surat utang tersebut dan berpartisipasi dalam pendanaan infrastruktur.

Kebutuhan pendanaan yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan instrumen finansial yang sesuai dengan profil risiko dan imbal hasil dari proyek infrastruktur resilien. Sebagai contoh, instrumen pembiayaan di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan pinjaman dari perbankan yang cenderung memiliki profil kredit jangka pendek karena sumber dana yang berasal dari deposito, sedangkan proyek infrastruktur cenderung baru menghasilkan keuntungan di jangka panjang akibat fase konstruksi yang relatif lama.

Basis data, pemantauan, dan evaluasi yang terbatas

Pemantauan dan evaluasi sangat penting untuk memastikan bahwa rencana ketahanan iklim dapat dilaksanakan dengan baik.

Sejauh ini, perencanaan, pemantauan, dan evaluasi RAN-API dilakukan oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait yang kemudian dilaporkan ke Bappenas.

Sedangkan, kegiatan pemantauan dan evaluasi Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-MAPI) dilakukan oleh tim di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Meskipun beberapa langkah telah dilakukan, dokumen resmi yang secara eksplisit menjelaskan metode dan hasil yang digunakan untuk pemantauan dan evaluasi RAN-API atau RAN-MAPI masih sangat terbatas.

Setiap kementerian juga memiliki metode masing-masing untuk menghitung dampak mitigasi. Selain itu, basis data yang digunakan belum terintegrasi ke dalam satu sistem terpadu sehingga menyebabkan beberapa program ketahanan iklim tercatat pada satu basis data dan tidak tercatat pada basis data lainnya. Beberapa basis data juga hanya tersedia untuk kementerian tertentu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now