Menu Close

Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran

Bagus Indahono/EPA

Belum tuntas penyelesaian atas masalah kekerasan yang terjadi beberapa waktu terakhir, pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan rencana baru pemekaran provinsi di Papua.

Majelis Rakyat Papua dan kelompok masyarakat sipil mengecam rencana tersebut. Mereka menilai pemekaran bukan merupakan solusi mendasar bagi persoalan-persoalan yang ada.

Ada banyak hal yang membuat orang Papua takut dan menentang rencana pemekaran. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi mereka, tentu masalah yang ada akan terus berlarut-larut.

Yang ditakutkan

Untuk memahami mengapa orang Papua mengkritisi atau menolak pemekaran, saya mencermati perdebatan publik di Papua terkait masalah itu, baik perdebatan sejak rencana pemekaran diumumkan pada 28 Oktober 2019 maupun perdebatan lama terkait pemekaran.

Saya menemukan setidaknya ada enam hal yang ditakuti oleh orang Papua dari agenda pemekaran oleh Pemerintah Pusat.

Pertama, dominasi penduduk dari luar dan marginalisasi orang asli Papua. Sama seperti program transmigrasi pada masa lalu, pemekaran menjadi kendaraan bagi masuknya pendatang dan memperkuat dominasi masyarakat non-Papua yang sudah ada.

Kajian demografi menunjukkan bahwa di setidaknya lima kabupaten/kota, jumlah penduduk non-Papua jauh lebih banyak dari penduduk asli dan hal yang sama sedang terjadi di enam kabupaten lain.

Selain aparat sipil negara dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian beserta kerabat mereka, pemekaran akan mendatangkan penjaja barang dan jasa yang kemudian akan mengembangkan jaringan bisnis mereka dan menetap. Selain itu, ibu kota daerah otonom baru biasanya dibangun di wilayah yang mayoritas penduduknya non-Papua seperti terjadi di Kabupaten Keerom, Papua. Dengan demikian, pembangunan di wilayah pemekaran memperparah marginalisasi orang Papua.

Marginalisasi itu juga terjadi dalam ranah politik dan pemerintahan. Kendati otonomi khusus sudah berjalan hampir dua dekade, hanya sedikit orang asli Papua yang mendapat kesempatan menduduki posisi di birokrasi dan parlemen. Di kabupaten Merauke misalnya, persentase orang asli Papua di dalam keseluruhan birokrasi hanya 20%, sisanya adalah warga non-Papua dari berbagai suku nusantara.

Data resmi Dewan Perwakilan Rakyat Papua menunjukkan hanya sedikit orang asli Papua yang terpilih sebagai legislator untuk periode 2019-2024. Di Kabupaten Keerom, orang asli Papua hanya memperoleh tujuh dari dari total 23 kursi; di Kabupaten Sarmi tujuh dari 20 kursi; di Kabupaten Boven Digoel empat dari 20 kursi; dan di Kabupaten Merauke tiga dari 30 kursi.

Kedua, beban birokrasi biaya tinggi dan korupsi. Sama seperti di daerah lain di Indonesia, beban terbesar pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat adalah operasional.

Untuk daerah otonomi baru, pengeluaran terbesar adalah pembangunan kantor, pengadaan fasilitas, biaya gaji dan operasional birokrasi. Padahal, kebutuhan prioritas saat ini adalah perbaikan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, seperti jamak di Indonesia, korupsi adalah momok birokrasi. Elite bersekongkol memperkaya diri dan mengorbankan kepentingan umum di Papua.

Ketiga, ekspansi korporasi dan perampasan tanah adat, hutan dan sumber daya lainnya. Pemekaran dikhawatirkan akan mempercepat laju ekspansi bisnis di pedalaman, yang berakibat pada penguasaan sumber daya oleh korporasi tanpa jaminan keadilan bagi orang asli Papua.

Bersamaan dengan pemekaran selama 20 tahun terakhir, pemerintah sudah menggelontorkan setidaknya 240 izin tambang, 79 izin Hak Pengusahaan Hutan, dan 85 izin perkebunan sawit di seluruh Papua. Akibatnya, masyarakat adat Papua harus berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah daerah demi mempertahankan tanah dan sumber daya mereka.

Keempat, militerisme dan represi negara. Kehadiran militer di Papua sangat tinggi. Pembentukan daerah baru memfasilitasi pendirian pusat-pusat militer dan kepolisian baru, baik komando teritorial maupun pos-pos operasi khusus. Di banyak tempat di pedalaman, jumlah personel militer dan polisi jauh melampaui jumlah guru dan dokter.

Di wilayah seperti itu, militer dan polisi memainkan peran sentral dan multifungsi. Bahkan, seperti yang terjadi dalam pembangunan jalan trans-Papua, TNI juga menjadi pengelola proyek-proyek infrastruktur.

Kelima, perpecahan dan konflik antar kelompok di Papua. Pemekaran menciptakan konflik horizontal di antara sesama Papua. Pemekaran dinilai sebagai ambisi elite politik Papua; bukan kepentingan rakyat. Selain itu, terjadi ketegangan antara organisasi pejuang kemerdekaan dengan para bupati dan elite politik pendukung pemekaran.

Keenam, orang Papua melihat pemekaran sebagai strategi penaklukan dan penguasaan. Yoman Sokrates, pendeta dan penulis masalah sosial politik, melihat pemekaran sebagai bagian dari niat buruk Jakarta terhadap orang Melanesia.

Yoman juga mempertanyakan mengapa pemekaran dipaksakan untuk Papua yang penduduknya hanya 4,3 juta jiwa, sementara Jawa Barat atau Jawa Timur yang jumlah penduduknya 46,4 juta dan 38,8 juta jiwa tidak dimekarkan?

Di mata orang Papua, pemekaran adalah kombinasi dari penguatan kontrol sipil dan militer terhadap orang Papua, dengan penguasaan lewat pendudukan, penguasaan tanah dan pengambilalihan sumber daya. Dengan kata lain, orang Papua mengetahui dari pengalaman bahwa pemekaran adalah bagian dari proses kolonisasi.

Pandangan seperti itu bukan monopoli orang Papua. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo bahkan menggarisbawahi agar pemekaran Papua jangan seperti penjajahan.

Agenda Jakarta

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan pemekaran wilayah di Papua bertujuan untuk mempercepat pembangunan, menjaga situasi keamanan, dan menampung aspirasi masyarakat. Tito juga menjelaskan pemekaran dibuat berdasarkan analisis intelijen.

Jokowi juga menegaskan bahwa rencana pemekaran itu dibuat untuk memenuhi aspirasi warga. Memang sejumlah tokoh Papua dan perwakilan warga pendatang di Papua mengusulkan hal itu.

Pemekaran Papua sebenarnya agenda lama pemerintah pusat. Menghadapi menguatnya konsolidasi gerakan Papua menuntut kemerdekaan pada awal reformasi, pemerintah melalui Undang-Undang No 45 tahun 1999 membagi Papua ke dalam tiga provinsi.

Karena ditentang orang Papua, akhirnya hanya pembentukan provinsi Papua Barat yang dilaksanakan, bersamaan dengan sejumlah kabupaten baru.

Kini, di tengah menguatnya kembali perlawanan orang Papua, baik di dalam negeri maupun dalam lobi internasional, serta menjelang berakhirnya Otonomi Khusus Papua pada 2021, agenda pemekaran dihidupkan kembali.

Penolakan terhadap pemekaran itu semakin meluas karena dianggap sebagai strategi untuk memecah belah dan menguasai orang Papua dan akan memicu konflik berkepanjangan.

Dengarkan orang Papua

Tidak tepat mengatakan bahwa masyarakat Papua yang mengkritisi rencana pemekaran versi Jakarta itu menolak perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Sebaliknya, mereka justru mengingatkan pemerintah untuk fokus kepada agenda-agenda mendesak.

Pemerintah masih mengabaikan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mengatasi masalah sejarah politik, diskriminasi dan marginalisasi masyarakat Papua, kegagalan pembangunan, serta pelanggaran HAM selama puluhan tahun.

Pemerintah juga belum melaksanakan amanat-amanat kunci dari Undang-Undang Otonomi Khusus, seperti pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta kebijakan afirmatif (pemihakan) penghormatan, perlindungan, serta pemberdayaan penduduk asli. Bahkan kualitas pembangunan di kabupaten-kabupaten baru pun belum mengalami perbaikan.

Kita berharap kali ini Pemerintah Jakarta sungguh-sungguh mendengarkan orang Papua. Sikap pemerintah yang tidak mendengarkan protes orang Papua dalam dialog yang konstruktif menunjukkan adanya agenda terselubung dan ketidaktulusan untuk mulai menyelesaikan persoalan secara menyeluruh dan sungguh-sungguh.

Sudah terlalu lama orang Papua dibicarakan tanpa didengar, diatur tanpa dipahami, dan diarahkan tanpa mendapat ruang untuk hidup leluasa dan mengurus masa depan mereka sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now