Ramainya perdebatan di sosial media yang membanding-bandingkan jumlah kosa kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tapi apakah benar Bahasa Indonesia adalah bahasa malas yang miskin suku kata?
Acara peragaan kembali desa Anglo-Saxon di Wirksworth, Derbyshire, 2008.
Simon Annable/Shutterstock
Kebijakan EMI sedang marak diterapkan oleh banyak universitas di Indonesia. Salah satunya melalui penggunaan bahasa Inggris saja di kelas. Apakah kebijakan ini efektif untuk konteks Indonesia?
Kebayoran Baru pada era 1950-an, sebagaimana digambarkan dalam film Tiga Dara (1956), menjadi periode penting berkembangnya pengaruh bahasa Inggris di Jakarta Selatan.
(SA Films/Perfini)
Bahasa “Jaksel” sering dianggap cerminan tingkat pendidikan dan kelas sosial yang tinggi. Bisa jadi itu benar, tapi fenomena ini bisa dikaji lebih dalam dari lensa sejarah, tata ruang, dan kebahasaan.
Mahasiswa menulis aksara Bali di atas daun lontar saat peringatan ke-5 Bulan Bahasa Bali tahun 2023 di Taman Budaya Bali, Denpasar.
(ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Rasman, Universitas Negeri Yogyakarta; Reni Nastiti, Universitas Negeri Yogyakarta, and Tatum Derin, Universitas Lancang Kuning
Promosi bahasa daerah kepada masyarakat, pelajar, dan anak muda perlu menekankan bahwa bahasa daerah adalah “aset” dalam berkomunikasi, bukan hanya beban warisan.
Ketimbang mengecap sistem pemeringkatan kampus sebagai wujud penindasan, berbekal kritik dari dunia akademik, kita justru punya peluang untuk memperbaikinya.
Banyak orang tua mulai meninggalkan kesan tradisional dalam kosakata bahasa daerah dan cenderung memilih kosakata bahasa asing dalam pemberian nama untuk anak-anak mereka.
Mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik (kiri) berjabat tangan dengan sejumlah peserta pelatihan bahasa di Kampus Inggris Pare, Kediri, Jawa Timur.
(ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani)
Walau terdengar sopan, ada beberapa alasan mengapa kita harus berhenti meminta maaf atau merasa minder ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri.
Di Indonesia, ada ketakutan bahwa pengajaran Bahasa Inggris ala penutur asli (native speaker) dapat merusak bahasa dan budaya Indonesia. Bagaimana pengajarannya yang tepat?
Stephen Dobson, Te Herenga Waka — Victoria University of Wellington and Muhammad Zuhdi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Pentingnya bahasa Inggris telah mengakibatkan globalisasi pendidikan berjalan satu arah. Padahal, berbagai sistem pendidikan lain memiliki tatanan nilai yang berbeda yang perlu dipertimbangkan.
Kemampuan untuk mencapai kemahiran bahasa yang tinggi selayaknya penutur asli tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan usia karena faktor-faktor lain, seperti aspek kognitif, sosial, dan emosional juga berpengaruh.
www.shutterstock.com
Baik tua maupun mereka, setiap orang yang belajar bahasa lain tampaknya memiliki peluang yang sama untuk menjadi pembicara yang sangat mahir selama mereka ditempatkan di lingkungan yang mendukung.
Kata-kata menjelaskan dunia kita.
Curioso via Shutterstock
Adjunct Research Fellow Victoria University of Wellington; Head of the Quality Assurance Institute and Senior Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta