Sistem pemeringkatan universitas secara global sering menjadi bahan perdebatan dan menuai kritik dari akademisi.
Dalam artikel The Conversation Indonesia (TCID) yang terbit awal tahun ini, misalnya, beberapa akademisi Indonesia mengkritik kriteria pemeringkatan kampus global yang menguntungkan dan fokus pada model perguruan tinggi Barat, menimbulkan banyak praktik tak terpuji, serta mengkerdilkan makna keberagaman nilai, filosofi, dan tujuan kampus-kampus Indonesia.
Tapi, apakah ini berarti kita sebaiknya menghapus saja sistem pemeringkatan kampus?
Para kritikus, misalnya, kerap menyerukan bahwa pemeringkatan kampus tidak boleh lagi menjadi ajang perlombaan dan sekadar tujuan akhir, melainkan harus jadi semangat untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Tetapi dunia pendidikan tinggi dunia pun telah sejak dulu berupaya menyambut ajakan ini.
Banyak kampus, termasuk di dunia Barat, kini mulai mengakui pentingnya melihat mutu universitas dari beragam perspektif – termasuk kualitas pengajaran, kesejahteraan mahasiswa, dan dampak kampus terhadap masyarakat – yang tak melulu sebagai ajang meraup prestise. Para lembaga dan pemerhati pemeringkatan juga banyak melakukan perubahan terhadap metodologi penilaian mereka supaya lebih inklusif dan memperhatikan keragaman kampus dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan dan kelemahan dari sistem pemeringkatan universitas adalah argumen untuk memperbaikinya, bukan menghapusnya.
Pemeringkatan kampus kini lebih menyeluruh
Banyak pengkritik menganggap pemeringkatan terlalu fokus pada prestise kampus dan tidak merefleksikan komitmen universitas pada layanan kepada masyarakat.
Tetapi, beberapa pemeringkatan sebenarnya telah memasukkan dampak sosial perguruan tinggi sebagai kriteria penting.
Salah satu kriteria dalam Times Higher Education Ranking, misalnya, adalah survei reputasi terkait kualitas pengajaran yang dirasakan mahasiswa maupun penyedia lapangan kerja – termasuk dunia usaha, organisasi sosial masyarakat, ataupun lembaga pemerintahan.
Ini seiring dengan makin gencarnya tuntutan dunia akademik supaya penjaminan mutu universitas mempertimbangkan apakah mahasiswa merasa dilayani dengan baik atau bahagia menjalani hidup di kampus. Jika survei menunjukkan kepuasan, maka peringkat kampus akan tinggi.
Beberapa pemeringkatan seperti QS Employability Ranking juga menilai apakah luaran (output) suatu universitas – dari publikasi riset hingga kualitas lulusannya – dapat berkontribusi dalam dunia usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini tentu termasuk pekerjaan-pekerjaan pelayanan publik seperti oleh organisasi nirlaba.
Banyak sistem pemeringkatan kini bahkan melakukan penilaian terhadap seberapa baik pembelajaran di suatu kampus.
Quality Indicators for Learning and Teaching (QILT) di Australia, misalnya, melakukan pengukuran yang lebih holistik (menyeluruh) dengan mengirim survei kepada dosen, mahasiswa, hingga pengguna jasa untuk melihat kualitas luaran perguruan tinggi. Indonesia perlu melakukan pengukuran serupa untuk melihat komitmen pengajar di universitas.
Selain itu, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sejak tahun 2006 telah memperingatkan bagaimana sistem pemeringkatan merugikan kampus yang minim dana. Keterbatasan sumber daya ini kerap membuat kampus-kampus kecil kalah dengan kampus kaya di negara maju dalam hal performa riset – kriteria utama banyak sistem pemeringkatan.
Merespons isu ini, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pemeringkatan kampus, International Ranking Expert Group (IREG) merilis panduan Berlin Principles on Ranking of Higher Education Institutions agar para pemeringkat bertanggungjawab atas metodenya. Salah satunya, mendorong pemeringkat untuk memperhatikan konteks sejarah, ekonomi, budaya, dan bahasa dalam penilaiannya.
Contoh-contoh di atas adalah gambaran bagaimana lembaga pemeringkatan telah memperbaiki metode penilaian mereka – dan terus berupaya berbenah.
Kajian dari UNESCO menceritakan bagaimana Times Higher Education, menyusul kritik dari dunia pendidikan tinggi global, sejak 2009 merombak metode pemeringkatannya agar lebih inklusif dan mempertimbangkan kondisi kampus di negara non-Barat.
Ini termasuk menerapkan pembedaan bobot di kriteria-kriteria tertentu – seperti penyesuaian paritas daya beli (purchasing power parity) per negara untuk kriteria pendapatan universitas, serta penyesuaian volume sitasi riset secara regional bagi kampus di negara non-Bahasa Inggris yang lebih susah menerbitkan riset di jurnal-jurnal internasional terbaik.
Mereka juga menerbitkan pemeringkatan dampak (impact ranking) kampus untuk 17 kategori Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam pemeringkaan untuk kesetaraan gender, misalnya, Times Higher Education menilai seberapa berimbang proporsi perempuan yang terakomodasi oleh universitas.
Menjawab kritik: benarkah sistem pemeringkatan adalah bentuk imperialisme?
Sejauh ini, nampaknya tuntutan para kritikus pemeringkatan sekilas sama dengan yang sedang dilakukan lembaga pemeringkat itu sendiri.
Tetapi, semangat pembebasan dari imperialisme kultural yang kerap mereka gaungkan, kemudian melebar ke kritik terhadap dominasi Bahasa Inggris sebagai privilese kampus Barat dalam pemeringkatan.
Apakah artinya pemeringkatan harus kita perbaiki agar lebih memperhatikan publikasi yang terbit dalam bahasa lain? Ataukah sebaiknya menghilangkan sistem ini karena menimbulkan “Matthew effect”, ketika kampus kaya akan terus mengakumulasi kapital untuk menjadi universitas terbaik dan kampus yang miskin modal akan terus berada di level bawah?
Inilah yang harus diperjelas oleh para kritikus.
Bahasa utama yang dipakai dunia pendidikan tinggi Jepang, misalnya, bukanlah bahasa Inggris. Namun, Tokyo University meraih posisi tinggi di banyak sistem pemeringkatan. Ini adalah contoh bahwa dengan membenahi kapasitas perguruan tinggi untuk mengkomunikasikan keilmuan secara global, kampus-kampus Asia bisa menjadi pemimpin kolaborasi riset dengan Bahasa Inggris sebagai medianya.
Alih-alih menganggap Bahasa Inggris sebagai imperialisme bahasa, kampus-kampus Indonesia dapat menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat pembebasan dan lingua franca (bahasa penyatu) dalam diskursus akademik, serta memimpin riset kolaborasi dengan kampus lain.
Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), tempat saya mengajar, misalnya, dapat mengkomunikasikan penelitian tentang keragaman spesies di daerah Wallacea dengan publik internasional – tentu harus dengan mengambil peran sentral atau setidaknya setara dengan kolaborator global.
Terakhir, ada juga argumen bahwa pemeringkatan tidak memperhatikan keragaman nilai dan filosofi perguruan tinggi di Indonesia.
Dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dua asas tertinggi adalah kebenaran ilmiah dan penalaran. Perguruan tinggi yang berlandaskan agama pun tetap menghormati kedua asas ini karena kampus adalah pusat pemikiran. Wujud asas ini bisa kita ukur – salah satunya adalah luaran berupa hasil riset yang sesuai dengan kebenaran ilmiah dan penalaran.
Ini adalah kriteria penting dalam sistem pemeringkatan.
Filsafat dan nilai lain yang tidak terlihat (intangible) seperti aspek spiritualitas tentu saja merupakan hal yang penting. Tetapi, karena sifatnya yang tidak terlihat, memasukkannya sebagai alat untuk melihat kekurangan dari pemeringkatan adalah hal yang tidak tepat.
Pemeringkatan universitas adalah sesuatu yang harus terus kita perbaiki. Ia bukan pula satu-satunya pertimbangan untuk menilai kualitas kampus.
Sikap antagonisme terhadap perguruan tinggi Barat dalam wacana pemeringkatan, budaya publikasi internasional, atau dominasi Bahasa Inggris dalam komunikasi ilmiah, menurut saya adalah kesalahpahaman yang berlebihan. Ketimbang mengecap sistem pemeringkatan kampus sebagai wujud penindasan, berbekal kritik dari dunia akademik, kita justru punya peluang untuk memperbaikinya.