Menu Close

Evolusi konsep pengajaran menjadi pendidikan di Indonesia

Maglara/Shutterstock

Sepuluh tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung membuat program Kantin Kejujuran dengan mendirikan 1.000 kantin di sekolah negeri untuk melatih pembentukan karakter dan antikorupsi di kalangan siswa. Uji coba ini berakhir sebagai kisah kegagalan.

Kantin-kantin tersebut hanya bertahan pada tahun pertama dan selanjutnya sebagian besar terancam gulung tikar.

Kantin menjual makanan, minuman, dan barang kebutuhan siswa di lingkungan sekolah, tanpa ada penjaga kantin yang melayani dan mengawasi dagangan. Para siswa mengambil sendiri barang, membayar sendiri, dan mengambil uang kembalian sendiri. Apa yang terjadi? Mayoritas kantin bangkrut karena barang dagangan habis, tapi uang tidak terkumpul. Kantin kehabisan modal.

Kejujuran bukan jenis perilaku alamiah, tapi hasil dari sistem yang harus dibangun secara sistematis dan terus menerus. Ketidakjujuran siswa adalah bagian dari sistem kecurangan yang lebih besar di masyarakat. Sistem di masyarakat, termasuk sekolah, tidak mampu menjadikan jujur sebagai kebiasaan dan kebudayaan.

Bagaimana karakter jujur seharusnya dibentuk melalui sekolah? Apa yang keliru dari sistem dan praktik belajar di sekolah selama puluhan tahun?

Pengajaran versus pendidikan

Pada mulanya, sekolah adalah wadah anak untuk mengisi waktu luang di tengah hak dasar mereka untuk bermain. Di kala senggang, dengan bimbingan orang berpengetahuan dan terampil, anak memperoleh pengajaran berupa pengetahuan literasi, numerasi, dan keterampilan hidup serta mendapat pendidikan yang terkait dengan moral, agama, dan estetika.

Di satu pihak, hasil pengajaran dapat diukur melalui jumlah tahun sekolahnya, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di pihak lain, hasil pendidikan dinilai atas perilaku sehari-hari seseorang dalam kehidupan keluarga dan lingkungannya.

Pengelolaan sekolah di Indonesia adalah refleksi dari sejarah perkembangan departemen atau kementerian yang mengaturnya. Pada awal kemerdekaan (1945-1950) nomenklatur yang digunakan adalah Departemen Pengajaran yang menterinya adalah Ki Hadjar Dewantara. Dalam enam kabinet berikutnya nomenklatur pengajaran masih terus dipakai, tanpa menyertakan kata pendidikan. Enam kabinet sesudahnya memakai nomenklatur Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan.

Pada awal kemerdekaan, para pemimpin bersatu padu berjuang merawat negara dan bangsa. Mayoritas rakyat pun bergairah mendukung perjuangan para pemimpin nasional. Kepentingan bangsa menjadi prioritas perjuangan nasional. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan sekolah mereka pada umumnya lebih memikirkan urusan pengajaran untuk transfer pengetahuan dan keterampilan demi mencerdaskan bangsa.

Dalam kabinet-kabinet berikutnya (1951-1966) pemerintah mulai memakai nomenklatur Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Selanjutnya kata pendidikan selalu ditempatkan di depan.

Di masa itu kepentingan kelompok melalui partai mulai menguat. Setiap partai berjuang berdasarkan ideologi yang cukup jelas, seperti agama, nasionalisme, sosialisme, atau komunisme. Tapi, karena setiap ideologi berbeda dengan jurang pemisah yang dalam, para pemimpin partai mulai kesulitan untuk bersatu. Mereka sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan ideologi masing-masing. Ini menimbulkan perbantahan, perselisihan, konflik, dan persaingan.

Masyarakat mengamati kondisi ini dan kerap kali meniru. Oleh karena itu, pengambil kebijakan publik mulai memikirkan perlunya pendidikan moral (karakter) untuk menanamkan antara lain perilaku santun, saling menjaga dan merawat satu sama lain, dan menghormati keberagaman.

Sejak pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dan juga Orde Reformasi (1998-sekarang) kata “pengajaran” dihilangkan. Buku karya Lant Pritchett, Direktur Riset Program RISE, yang berjudul “The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning (2013),” bagi Indonesia mungkin terkait dengan kurangnya perhatian terhadap pengajaran.

Lembaga pemerintah yang mengurusi masalah pengajaran dan pendidikan berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah juga bernama Kementerian Pendidikan Nasional. Pada era ini partai tidak lagi memegang ideologi yang mendasari kekuatan perjuangan mereka, sementara pelanggaran nilai sosial seperti penipuan, pembohongan, intoleransi, korupsi, kolusi, nepotisme terus terjadi.

Lambat laun kepentingan kelompok, keluarga bahkan individu merasuki perilaku elit pejabat, elit pengusaha, dan elit masyarakat yang kemudian sering pula ditiru oleh masyarakat.

Sekolah adalah pabrik?

Sampai sekarang, Indonesia belum menemukan kesepakatan soal model pendidikan karakter. Salah satu model yang patut dipertimbangkan adalah sistem pembelajaran karakter yang diusulkan oleh anggota tim pakar Yayasan Jati Diri Bangsa Gede Raka. Dia menekankan bahwa pendidikan karakter di sekolah memerlukan perubahan cara pandang.

Menurut Gede Raka, peneliti pendidikan karakter dan juga guru besar Institut Teknologi Bandung, kita perlu menjauhi cara pandang yang memperlakukan sekolah sebagai pabrik. Dalam pandangan ini, pabrik sekolah memproduksi lulusan yang kualitasnya diukur melalui nilai ujian nasional, mempekerjakan “mesin” bernama guru, dan menggunakan sistem produksi bernama kurikulum.

Di dalam sistem produksi, karakter bukan hal penting. Mesin, sistem produksi, dan produk adalah hal-hal pasif tanpa karakter, tanpa aspirasi, dan tanpa inisiatif. Dengan demikian, cara pandang sekolah sebagai pabrik bukan cara pandang yang sesuai untuk pendidikan karakter.

Cara pandang sekolah sebagai komunitas, terutama komunitas pembelajaran, adalah konsep yang sesuai bagi pengembangan karakter. Komunitas bukan semata-mata sekumpulan orang. Komunitas adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh tata nilai.

Menurut Aristoteles, tata nilai moral adalah pilar dari kekuatan karakter. Tata nilai, demikian pula karakter, tercermin melalui perilaku seseorang dalam interaksi sosialnya. Sebagai bagian dari komunitas, guru, siswa, dan orangtua adalah anggota dengan peran dan tangung jawab masing-masing. Rasa saling percaya, saling menghormati, kesediaan untuk berbagi, dan aspirasi bersama menjadi penting.

Di samping cara pandang sekolah sebagai komunitas belajar, pendidikan karakter memerlukan pandangan bahwa setiap siswa adalah tunas yang memiliki potensi berbeda. Karakter memiliki kemajemukan dimensi, seperti kreativitas, keingin-tahuan, keberanian, kegigihan, kejujuran, rasa kasih sayang, kebaikan hati, adil, kepemimpinan, dan lain-lain.

Pelbagai dimensi karakter berpadu dan disalurkan melalui berbagai bentuk. Selain kemajemukan dimensi, karakter tumbuh sejak usia dini. Contohnya, interaksi antara ibu dan bayi adalah tahap awal pengembangan karakter kasih sayang. Hubungan dengan saudara, adik atau kakak, di masa kecil dapat menempa karakter keluhuran hati. Maka, usaha mengembangkan karakter tidak dapat bertumpu pada pandangan bahwa para siswa adalah “bahan baku” seragam yang akan berharga setelah diolah.

Karena siswa adalah tunas yang berbeda, tugas utama sekolah adalah mengenali potensi setiap siswa. Guru berperan besar dalam mengidentifikasi dan mengembangkan potensi siswa. Dalam usaha mengembangkan potensi, penyeragaman proses pembelajaran yang berlebihan dapat menghalangi tumbuhnya keunggulan siswa karena potensi yang beragam kerap membutuhkan bentuk dukungan berbeda.

Guru dapat mengenali dan mengembangkan potensi siswa yang beragam dengan menggunakan cara pandang kecerdasan majemuk, yang dikembangkan oleh psikolog Harvard Howard Gardner. Siswa yang pandai matematika adalah siswa unggul; demikian pula siswa yang pandai melukis, menyanyi, atau berbahasa.

Dengan menggunakan keunggulannya masing-masing, siswa memiliki potensi untuk mandiri dan membawa manfaat bagi masyarakat ketika mereka memasuki dunia kerja.

Saling melengkapi

Dalam sejarah lain, di dunia akademis kita mengenal nama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Kata keguruan yang bermakna pengajaran disebut terlebih dulu sebelum kata pendidikan. Setelah beberapa IKIP menjadi universitas negeri, muncul institusi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang meninggalkan kata “keguruan.”

Berdasarkan dinamika kesejarahan perkembangan penggunaan kata pengajaran dan pendidikan ini terdapat indikasi bahwa di balik kedua kata tersebut terkandung konsep yang tidak dapat disamakan, tapi juga sulit dibedakan dan tidak mungkin dipisahkan. Maka, sekolah perlu memahami dan meletakkan teori serta praktik pengajaran dan pendidikan sesuai fungsinya masing-masing. Keduanya harus ada dan saling melengkapi.

Sejarah perkembangan pengajaran dan pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa keduanya saling menglengkapi dan memiliki peran masing-masing. Sekolah sebagai wahana pembelajaran memerlukan cara pandang, praktik, dan kemitraan yang sesuai untuk pengajaran yang mentransfer pengetahuan dan pendidikan yang membina karakter.

Ketika merancang dan menerapkan gagasan yang berkaitan dengan pembelajaran, sekolah semestinya memperhatikan peran pengajaran dan pendidikan yang berbeda itu di dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ini agar kisah Kantin Kejujuran gulung tikar tidak berulang karena ketidakjujuran di lingkungan sekolah.

Shanti Agung, Peneliti Perkumpulan Masyarakat Pendidikan Sejati Bandung, ikut menulis artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now