Menu Close

Figur militer dan polisi memimpin tata kelola olahraga di Indonesia, efektif atau problematik?

Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Mochamad Iriawan. PSSI, CC BY

Pihak militer dan polisi kini semakin memiliki pengaruh yang mengakar dalam tata kelola olahraga.

Sebut saja Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto. Selain menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), saat ini ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Federasi Olahraga Karatedo Indonesia (Forki) untuk periode 2019-2023. Ketika ditunjuk sebagai Ketua Forki 2019 lalu, Hadi masih memegang posisi sebagai Panglima TNI.

Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto, kini menjabat Menteri Pertahanan, telah mengetuai Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI) sejak 2021. Ia menjadi Ketua Umum PB IPSI selama dua periode berturut-turut. Periode saat ini akan berakhir 2025 nanti.

Ada pula Letj TNI (Purn.) Marciano Norman yang saat ini duduk sebagai Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat untuk periode 2019-2023. Namun, ia sudah pensiun dari dinas militer saat diangkat menjadi Ketua KONI.

Padahal, tokoh-tokoh tersebut bisa dipastikan tidak pernah secara resmi menjadi atlet profesional dari cabang olahraga yang dipimpinnya tersebut. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan bahwa apakah mendapuk mereka untuk memimpin tata kelola olahraga serta merta akan menguntungkan terhadap pencapaian dan prestasi olahraga Indonesia, atau justru cenderung kontraproduktif.

Deret panjang dan sejarah keterlibatan militer dan polisi

Militer dan polisi, baik melalui institusi maupun individu, telah sejak lama terlibat dalam tata kelola olahraga di Indonesia. Beberapa asosiasi olahraga bahkan didirikan oleh tokoh-tokoh militer atau mereka yang berpartisipasi dalam perang kemerdekaan pada tahun 1940-an, seperti Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dibentuk oleh Soeratin Sosrosoegondo.

Sepanjang sejarahnya, PSSI juga pernah dipimpin oleh sederet prajurit TNI, yakni Maulwi Saelan (1964-1967), Bardosono (1975-1977), Ali Sadikin (1977-1981), Sjarnoebi Said (1982-1983), Kardono (1983-1991), Azwar Anas (1991-1999), Agum Gumelar (1999-2003), dan Edy Rahmayadi (2016-2019). Maulwi, Bardosono, dan Edy masih menjabat sebagai perwira aktif TNI ketika dilantik sebagai Ketua PSSI.

Untuk periode saat ini (2019-2023), PSSI dipimpin oleh purnawirawan perwira tinggi Polri, yakni Komjen Pol (Purn.) Mochammad Iriawan.

Cabang olahraga lain yang kerap diketuai oleh tokoh militer dan polisi adalah Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Organisasi olahraga ini pernah dipimpin oleh Try Sutrisno (1985-1993), Soerjadi (1993-1997), Subagyo Hadi Siswoyo (1997-2001), Sutiyoso (2004-2008), Djoko Santoso (2008-2012), dan Wiranto (2016-2020). Seperti Hadi, Djoko Santoso masih menjabat Panglima TNI ketika dilantik sebagai Ketua PBSI.

Beberapa dari nama-nama tersebut bahkan tidak hanya menjabat sekali dan hanya satu cabang olahraga.

Sutiyoso, misalnya, menjadi Ketua Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) pada 2002-2004 sebelum memimpin PBSI. Sama halnya dengan Wiranto yang, sebelum menjabat pimpinan PBSI, menjadi Ketua Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (GABSI) selama dua periode berturut-turut (1994–1998 dan 1998–2002). Bahkan di tengah jabatannya sebagai Ketua GABSI, Wiranto merangkap jabatan sebagai Ketua Forki (1997-2001).

Untuk Forki, memang hampir semua ketuanya adalah tokoh militer: Widjojo Soejono (1972-1977), Subhan Djajaatmadja (1980-1984), Rudini (1984-1996), Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan (2001-2009), Hendardji Soepandji (2010-2014), Gatot Nurmantyo (2014-2018), dan Hadi.

Sementara itu, sebelum dipimpin oleh Marciano, KONI juga memiliki dereta pimpinan yang berlatar belakang militer, antara lain Surono Reksodimedjo (1986-1994), Wismoyo Arismunandar (1999-2003), Agum Gumelar (2003-2007), dan Tono Suratman (2011-2019).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, di tengah masa jabatannya, dikukuhkan sebagai Ketua Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) pada 2021.

Problematik dan tidak selalu meningkatkan prestasi

Jika dilihat dari periode waktunya, fenomena perwira aktif TNI atau polisi mengetuai asosiasi olahraga tampaknya tidak aneh pada era Orde Baru, ketika militer dan polisi memang masih memiliki pengaruh yang luas dan kuat di luar batas-batas domain militer dan kepolisian.

Anehnya, hal ini terus terjadi hingga masa reformasi, bahkan mereka menjabat di federasi olahraga ketika masih menjadi perwira aktif. Ini walaupun tetap ada sedikit perubahan dinamika kepengurusan di beberapa federasi dengan munculnya peran masyarakat sipil, contohnya dalam Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) dan Perbasi.

Padahal, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur bahwa prajurit TNI dan anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.

Artinya, kepemimpinan tokoh militer dan polisi dalam pengelolaan federasi olahraga ini problematik karena alasan hukum, etik, dan profesionalisme.

Dari aspek etik, ini akan membatasi peluang bagi individu lain yang lebih punya kualifikasi untuk memimpin olahraga itu, misalnya atlet profesional di bidangnya.

Dari aspek profesionalisme, prajurit TNI dan anggota Polri aktif yang rangkap jabatan di federasi olahraga tentu tidak dapat mencurahkan waktu dan perhatian yang maksimal untuk mengerjakan tugas kemiliteran atau kepolisiannya.

Jika ditilik dengan kacamata pencapaian prestasi, yang diukur dari peraihan medali dan keikutsertaan pada perhelatan olimpiade atau kejuaraan tingkat dunia, tidak semua federasi olahraga Indonesia memiliki pencapaian yang menjanjikan selama dipimpin TNI atau polisi.

Misalnya, pada tiga perhelatan olimpiade terakhir di London 2012, Rio 2016, dan Tokyo 2020, hanya atlet badminton dan angkat besi yang mampu secara konsisten menyumbangkan medali. Selain itu, hanya cabang olahraga atletik, dayung, renang, panahan, dan menembak yang konsisten mengantarkan atletnya ke ajang kejuaraan internasional tertinggi dunia itu.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana atlet-atlet Indonesia dapat mencapai puncak tertinggi keolahragaan, mulai dari sejarah perkembangan olahraga tersebut, sistem pembiayaan pembinaannya, dukungan berbagai pemangku kepentingan, sampai kebijakan keorganisasian atau tata kelola di tingkat kepengurusan pusat.

Menurut laporan National Sport Governance Observer (NSGO) - Round 2 pada akhir tahun 2021, ada empat aspek yang mempengaruhi kondisi tata kelola federasi olahraga dunia, yaitu transparansi, demokrasi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial.

Laporan ini menunjukkan tren yang menarik dalam kondisi tata kelola olahraga Indonesia, yaitu bahwa organisasi olahraga yang jajaran kepemimpinannya didominasi oleh pengusaha – seperti Komite Olimpiade Indonesia (NOC Indonesia), Perbasi, dan PRSI – memiliki skor tata kelola yang cukup tinggi. Artinya, pengelolaannya cukup baik dari segi akuntabilitas dan kontrol keuangannya.

Ini berbanding terbalik dengan federasi yang didominasi pemimpin berlatar belakang militer atau polisi, seperti PSSI dan KONI. Namun, perlu ditelaah lebih jauh mengenai seberapa besar pengaruh latar belakang sosok yang menempati kursi pimpinan tertinggi tersebut.

Mengapa perwira masih mendominasi tata kelola olahraga?

Ada beberapa asumsi umum mengapa federasi olahraga dianggap patut dipimpin oleh militer atau polisi. Beberapa di antaranya adalah karena pemimpin dengan latar belakang tersebut dapat menguatkan budaya disiplin dan kontrol diri atlet, dan karena ketokohan militer atau polisi ini dianggap dapat memudahkan federasi untuk mendapatkan bantuan dana demi membiayai operasional organisasi.

Namun, menurut beberapa kajian, asumsi-asumsi tersebut belum terbukti, karena disiplin dan kontrol diri atlet didapatkan melalui rutinitas latihan yang telah mereka lalui selama bertahun-tahun dan dilakukan secara intensif dan, dalam beberapa kasus, asosiasi olahraga yang diketuai tokoh militer atau polisi malah kesulitan memperoleh pendanaan.

Pada 2019, contohnya, KONI yang dipimpin Tono Suratman kesulitan membayar gaji pegawainya. Tahun ini, atlet peraih medali emas SEA Games 2021 Odekta Elvina Naibaho mengkritik Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) – yang dipimpin Menteri Luhut Binsar Pandjaitan – karena tidak membiayai para atlet atletik dalam persiapan SEA Games selama dua bulan.

Pada akhirnya, kepemimpinan militer atau polisi belum tentu dapat meningkatkan pencapaian dan prestasi olahraga Indonesia. Perwira yang masih aktif juga seharusnya tidak rangkap jabatan di asosiasi atau komite olahraga dan harus mundur dulu dari jabatan dinas mereka. Lebih baik lagi jika asosiasi atau komite olahraga itu dipimpin oleh orang yang berkualifikasi di bidang olahraga.

Renata Melati Putri, peneliti independen kebijakan dan tata kelola olahraga, berkontribusi sebagai penulis kedua dalam artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now