Menu Close

Game Theory: Penolakan Ganjar terhadap Timnas Israel menurunkan elektabilitasnya, tapi berhasil menggagalkan oposisi memainkan isu agama

Presiden Joko Widodo (kiri) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Instagram resmi Ganjar Pranowo

Akhir Maret lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pro kontra penolakan tim nasional (timnas) sepak bola U-20 Israel yang berujung pada pembatalan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Segala persiapan teknis dianggap sia-sia.

Masyarakat kemudian mengecam Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster sebagai biang kerok kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola internasional bergengsi itu. Keduanya merupakan kepala daerah yang terang-terangan menyatakan penolakan atas kedatangan Timnas Israel. Keduanya juga merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Melalui sebuah wawancara di media, Ganjar tegas mengakui bahwa penolakan yang ia lakukan merupakan sikap dan keputusan partai yang dilandasi alasan ideologis dan konstitusional.

Ini tentu menjadi isu besar di ranah politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pasalnya, Ganjar merupakan sosok yang cukup kuat dalam perpolitikan nasional saat ini dan salah satu yang digadang akan mendapat tiket emas untuk pertarungan pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Menurut hampir seluruh lembaga survei, Ganjar selalu menduduki posisi tiga besar calon kandidat capres terpopuler selama beberapa tahun terakhir. Ia berebut posisi dengan Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta dan Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan saat ini yang juga merupakan lawan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019.

Namun, setelah kekisruhan Piala Dunia U-20 ini, elektabilitas Ganjar mendadak turun cukup drastis, sebesar 4% jika dibandingkan dengan November 2022.

Beberapa pengamat politik memprediksi peluang Ganjar untuk menjadi capres semakin tipis, bahkan hampir gagal.

Namun, jika kita coba menganalisis menggunakan konsep Game Theory, elektabilitas Ganjar memang terdampak setidaknya untuk sementara waktu. Namun di sisi lain, PDI-P agaknya telah berhasil menggagalkan upaya, atau rencana, pendomplengan isu identitas agama yang bisa saja dimainkan oleh kelompok oposisi, terutama yang terafiliasi dengan kelompok konservatif agama.

Game Theory: Ganjar dikecam, tapi berhasil menghalau isu politik identitas

Martin J. Osborne, ekonom dari University of Toronto dalam bukunya An Introduction to Game Theory menuliskan tentang Game Theory, yaitu tentang sebuah cara untuk membantu memahami situasi dalam interaksi pengambilan keputusan.

Konsep Game Theory ini umumnya digunakan menyelidiki kemungkinan konflik yang terjadi dari interaksi antar agen (dalam hal ini pembuat keputusan) dan keputusan-keputusan yang mereka ambil.

Salah satu analogi yang kerap dipakai dalam Game Theory adalah metode Prisoner’s Dilemma. Metode ini menunjukkan bagaimana dua tahanan yang ditangkap akibat kasus yang sama kemudian diinterogasi secara terpisah untuk mencari dan mencocokkan pengakuan dari keduanya.

Jika tahanan A dan B bekerja sama untuk menutup mulut, mereka akan berhasil mendapatkan hukuman lebih ringan. Yang jadi masalah atau dilema adalah ketika tahanan A, misalnya, menolak bekerja sama (defect) dan memilih untuk mengaku agar mendapat hukuman lebih ringan, namun tahanan B justru memilih tetap bungkam. Akibatnya, Tahanan B akan diganjar hukuman paling berat karena tidak mau bekerja sama dengan polisi.

Mengenai rencana kedatangan Timnas Israel bertanding di Indonesia, dari awal kita bisa melihat ada dua kemungkinan: ‘diterima’ dan ‘ditolak’.

Kemungkinan pertama, jika dari awal Ganjar, dan PDI-P, menerima Timnas Israel dan Piala Dunia U-20 berhasil diadakan di Indonesia, situasi ini hampir pasti akan dimanfaatkan oleh lawan politik (oposisi) PDI-P untuk memainkan isu identitas politik menjelang Pemilu 2024.

Pada Pemilu 2019, isu populisme dan politik identitas mendominasi dengan sangat kuat. Ini termasuk kampanye yang menggunakan isu-isu SARA.

Kala itu, Jokowi sebagai petahana kerap mendapatkan kampanye negatif mengenai politik identitas dan dilabeli anti-Islam. Ini berangkat dari kedekatannya dengan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang saat itu tersandung kasus penistaan terhadap agama Islam, serta ditangkapnya Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab yang kemudian disebut oleh kelompok konservatif agama sebagai “kriminalisasi terhadap ulama”.

Indonesia, sejak pemerintahan Presiden Sukarno, telah konsisten menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Palestina dan menolak keras pendudukan Israel. Namun, protes-protes terhadap Israel oleh kelompok agama di Indonesia selama ini lebih cenderung menitikberatkan pada sentimen agama. Kelompok-kelompok konservatif agama pun sudah berkali-kali memprotes partisipasi Israel di Piala Dunia U-20.

Jika Ganjar dan PDI-P dari awal menunjukkan penerimaan terhadap Timnas Israel, bukan tidak mungkin PDI-P akan kembali diserang oleh isu politik anti-Islam dan dianggap mendukung Israel.

Walaupun mungkin tidak signifikan, namun elektabilitas oposisi akan meningkat jika memainkan isu ini.

Kemungkinan kedua adalah yang sudah terbukti, yakni Ganjar dan PDI-P menunjukkan penolakan terhadap Timnas Israel dan Indonesia batal menjadi tuan rumah, yang kemudian memicu gelombang negatif terhadap Ganjar dan PDI-P. Ini pastinya membuat elektabilitas Ganjar menurun – setidaknya untuk sementara waktu.

Menakar kembali peluang Ganjar

Ganjar dianggap memiliki gaya kepemimpinan yang paling mirip dengan Jokowi dan disebut mendapat ‘dukungan’ dari Istana untuk maju dalam Pilpres 2024.

Tak heran jika banyak pengamat yang memprediksi bahwa Ganjar merupakan sosok yang memiliki kans terbesar diusung sebagai kandidat capres oleh PDI-P.

Beberapa survei juga menyebutkan bahwa Ganjar menjadi kandidat capres terkuat yang paling mumpuni dalam menantang Anies yang kini sudah mengantongi dukungan formal dari Partai Nasdem.

Santernya isu Piala Dunia U-20 yang melibatkan nama Ganjar ini juga didasari fakta bahwa PDI-P adalah partai yang juga menaungi Jokowi, merupakan partai terbesar di parlemen saat ini, dan satu-satunya partai yang secara konstitusional memiliki kemampuan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) untuk dapat mencalonkan kandidat presiden pada Pemilu 2024 tanpa perlu melakukan koalisi dengan partai politik lainnya.

Memang, di internal partai, sosok Ganjar sepertinya belum menjadi prioritas untuk diusung.

Selain Ganjar, ada sosok Puan Maharani, putri dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang juga saat ini menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024, yang kerap dianggap juga sebagai sosok ‘unggulan’ PDI-P.

Namun, mau tidak mau, PDI-P juga perlu mencermati peluang Ganjar sebagai sosok yang saat ini masih memiliki elektabilitas cukup tinggi. Ini karena dalam konteks pemilihan umum, ada faktor psikologis pemilih yang cenderung melihat sosok figur, bukan hanya partai.

Menurut sebuah penelitian, pemilih Indonesia memiliki tendensi lebih menyukai sosok figurnya daripada nilai idelogis partai yang menaungi figur itu.

Peningkatan pemilih PDI-P, dari Pemilu 2014 ke Pemilu 2019, pun terjadi sebagian besar karena condongnya pemilih terhadap sosok Jokowi sebagai kader PDI-P. Ini salah satu alasan PDI-P menjadi salah satu partai yang paling stabil untuk mempertahankan pemilihnya.

Faktor psikologis pemilih terhadap kekuatan figur ini akan kembali menjadi penentu dalam Pemilu 2024, terutama dalam Pilpres.

Dengan kecenderungan seperti ini, meskipun ada penurunan kepercayaan pada partai dan sosok Ganjar saat ini, daya ia masih memilik daya tawar besar dan basis massa PDI-P yang masih kuat mendukung Jokowi.

Masih banyak langkah-langkap populis yang bisa dipakai oleh Ganjar maupun PDI-P untuk kembali meningkatkan kepercayaan loyalis terhadap mereka.

Bagaimanapun, polemik Piala Dunia U-20 ini juga memberikan satu keuntungan bagi keduanya: pada akhirnya kubu oposisi gagal untuk mendompleng ‘isu Israel’ dalam pemilu 2024.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now