Menu Close
Warga memeriksa kebenaran informasi melalui laman anti-hoaks Kemenkominfo di Senayan, Jakarta, Kamis 14 Januari 2024. Muhammad Ramdan/Antara Foto

Gangguan informasi makin intens jelang Pemilu: pakar jabarkan 3 inisiatif untuk mengatasinya

Gangguan informasi (information disorder) merupakan terminologi yang memayungi beragam istilah terkait berita-berita dan informasi yang salah, tidak akurat, menyesatkan, bohong, hoaks dan sejenisnya. Gangguan informasi ini terjadi setiap saat dan biasanya semakin intens menjelang tahun-tahun politik, seperti pemilihan umum (pemilu) atau ketika terjadi peristiwa tertentu yang berdampak luas pada publik.

Pertarungan terbesar melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024 tentunya adalah pada media sosial. Untuk itu, dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil.

1. Regulasi dan edukasi oleh pemerintah

Pemerintah menjadi aktor pertama dan utama yang harus memperketat regulasi dan memperkuat inisiatif untuk edukasi publik.

Saat ini, aturan utama yang mengatur hal-hal terkait gangguan informasi adalah Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Turunan UU ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Turunan berikutnya yang lebih teknis dalam meregulasi aturan siber adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Sayangnya, implementasi aturan-aturan tersebut seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekspresi hak digital masyarakat.

Misalnya, konten perjudian dan pornografi sudah jelas bisa dilakukan “auto-blokir” (blokir otomatis). Namun, ini tidak bisa serta merta dilakukan terhadap jenis konten yang “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, karena perlu dianalisis terlebih dahulu, yang tentunya membutuhkan interpretasi manusia.

Dalam konteks pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menata kampanye di media sosial dengan lebih rigid. Sayangnya, saat ini Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum hanya mengatur soal batasan jumlah akun dan materi kampanye. Hal ini jauh dari permasalahan utama seperti potensi gangguan informasi yang masif, sehingga pasukan buzzer politik sulit terdeteksi.

Belum lagi penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang kini kerap menjadi alat bantu meng-generasi konten-konten fitnah yang sengaja dibuat dalam bentuk foto dan video di beragam platform digital. Masyarakat cenderung percaya pada konten disinformatif tersebut. Aturan yang ada tidak sampai pada tahap ini.

Bawaslu juga masih kesulitan dalam mengawasi konten. Merujuk pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Bawaslu tidak dapat menindak pelaku penyebaran disinformasi selain akun resmi yang didaftarkan oleh kandidat politik.

Solusi aturan seperti Kode Etik Kampanye yang digagas masyarakat sipil dapat menjadi exit strategy sementara menjelang Pemilu 2024 ini. Dalam model ini, paling tidak penyelenggara pemilu dapat menekankan pada partai-partai politik untuk saling menjaga etika.

LKBN Antara dan Bawaslu dalam kegiatan Antara Tangkal Hoaks Dari Batas Negeri di Kantor Camat Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Rabu 13 Desember 2023. Jessica Wuysang/Antara Foto

Meski demikian, adopsi kode etik ini masih belum jelas. Di beberapa daerah, Bawaslu daerah sudah memperkenalkan kode etik kampanye, namun masih terdapat tantangan-tantangan. Sebagai contoh, tidak semua partai politik peserta Pemilu sepakat untuk mengadopsi kode etik tersebut. Ini mengingat budaya politik kita yang kadang tidak selaras antara perkataan dengan perbuatan.

Hal kedua yang perlu ditingkatkan adalah edukasi politik dan edukasi literasi digital terhadap masyarakat. Edukasi politik, misalnya mengetahui aturan dan tahapan Pemilu hingga memahami konten yang melanggar, menjadi pegangan dalam literasi digital yang lebih mengarah kepada perihal “do’s and dont’s” dalam ekspresi daring.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat sipil dan swasta sudah mulai menerapkannya, misalnya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi yang digagas Kominfo dan melibatkan mitra swasta dan masyarakat sipil. Walaupun, tidak secara spesifik fokus pada Pemilu dan media sosial. Gerakan ini juga masih kurang dalam aspek critical thinking dan pemahaman akan hak-hak digital warga.

2. Inisiatif platform digital

Dari sisi platform digital, ada beberapa inisiatif yang saat ini berlaku. Contohnya adalah platform-platform milik Meta seperti Facebook, Instagram dan WhatsApp, yang menjadi platform yang paling banyak digunakan di Indonesia.

Pada pemilu-pemilu sebelumnya, Meta membuat sebuah “war room” sebagai “command center” untuk mengawasi dan memoderasi konten-konten gangguan informasi di platform mereka. Pada Pemilu 2024 ini, moderasi dilakukan intens secara daring oleh tim Meta. Termasuk melabel dan melakukan penurunan konten mencurigakan.

Kerja Meta tersebut dibantu oleh beberapa trusted partners berupa organisasi masyarakat sipil untuk memonitor konten dan melaporkan) kepada Meta konten yang dianggap bagian dari dis/misinformasi dalam berbagai bahasa.

Meta juga menerapkan aturan iklan kampanye di platform mereka menekankan pada transparansi dana anggaran iklan. Facebook dan Instagram, contohnya, mewajibkan semua pengiklan politik untuk memverifikasi identitasnya melalui proses otorisasi sebelum bisa membeli iklan.

Gerakan masyarakat sipil

Masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam melawan gangguan informasi. Ada dua hal yang dilakukan, yaitu bersama-sama mengusung gerakan sosial dan melakukan program melawan gangguan informasi masing-masing.

Contoh gerakan misalnya Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital (Damai). Terdapat 12 organisasi masyarakat sipil berhimpun dalam koalisi untuk membangun relasi yang transparan dan dialog berkelanjutan dengan platform dan pemerintah.

Hal ini untuk memastikan praktik moderasi konten dan kebijakan di Indonesia dibuat dengan berdasarkan pada pemahaman konteks lokal dan sejalan dengan standar internasional hak asasi manusia (HAM). Dalam mendukung upaya itu, Koalisi Damai melakukan riset berbasis data, memperjuangkan kebebasan berekspresi di dunia maya, serta meningkatkan literasi digital dan kesadaran publik terkait isu ini.

Perakitan kotak suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Kota Denpasar, Bali, Senin 15 Januari 2024. Nyoman Hendra Wibowo/Antara Foto

Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu berupaya untuk melahirkan sinergi antara Bawaslu, koalisi masyarakat sipil, dan platform. Tujuannya agar seluruh pihak memiliki persepsi yang sama terkait konten-konten disinformasi.

Inisiatif lain yang sejalan dengan pengentasan gangguan informasi di media sosial adalah program-program prebunking dan literasi digital. Prebunking_ diibaratkan sebagai imunisasi kepada masyarakat sebelum mereka terkena virus, yang dalam hal ini hoaks dan berita bohong. Ini seperti proses membongkar kebohongan atau sumber sebelum informasi keliru menyerang.

Sementara itu, debunking merupakan upaya penyajian fakta informasi yang benar. Kadang dianggap sebagai kegiatan “melabeli hoaks”. Jadi sebelum tersebar-dan akhirnya di-debunk, meskipun mungkin sudah memakan korban, berita hoaks tidak akan terdiseminasi oleh masyarakat yang sudah imun. Dua pekerjaan tersebut sebenarnya sulit dilakukan di tengah derasnya arus gangguan informasi.

Namun dengan bantuan berbagai pihak secara kolaboratif, misalnya platform digital, maka organisasi masyarakat sipil yang fokus pada metode-metode literasi pembongkaran gangguan informasi diharapkan dapat berbuat lebih masif.

Pada akhirnya, kesiapsiagaan masyarakat sipil, pemerintah dan swasta tidak hanya pada konteks Pemilu, tetapi juga pengentasan gangguan informasi dengan program dan inisiatif jangka panjang. Kerja sama multiaktor pada tataran regulasi dan tata kelola menjadi kunci.

Edukasi dan literasi menjadi kunci kedua menuju media sosial yang aman, nyaman dan demokratis. Upaya yang baik sudah mulai ditunjukkan pada Pemilu 2024, namun memerlukan keberlanjutan, serta pemantauan dan evaluasi yang komprehensif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now