Menu Close
Remaja Muslim. Freepik, CC BY

Gaya hidup syar'i dan tren halal: kesadaran untuk ibadah atau hanya simbolis semata?

Kemajuan sebuah agama di dalam suatu negara tidak hanya ditandai dengan semakin banyak jumlah penganutnya, tapi juga sejauh mana nilai-nilai keagamaan itu menjadi gaya hidup.

Di Indonesia, nilai-nilai Islam mulai semakin banyak diadopsi dalam berbagai aspek kehidupan dan sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Ini ditunjukkan dengan adanya tren pemakaian produk halal dan gaya hidup syar’i (sesuai ajaran Islam) oleh kalangan muslim, terutama muslim kelas menengah yang tinggal di perkotaan.

Memang, makin tingginya kepedulian masyarakat muslim terhadap produk halal dapat membawa dampak positif pada bidang ekonomi dan perdagangan, tidak hanya tentang kepatuhan terhadap perintah agama. Hal ini membuat pemerintah makin gencar mengampanyekan label halal untuk berbagai produk.

Namun, perlu dicatat pula bahwa perilaku gaya hidup syar'i pada dasarnya hanya merupakan simbol untuk menunjukkan kesalehan diri, tidak bisa dijadikan standar keimanan dan kesalehan seseorang.

Tren syar'i dan halal di segala sektor

Pasar muslim berhasil menggiring sektor bisnis Islam menggurita. Berbagai sektor usaha kini banyak diberi nuansa halal dan syar’i.

Dari sektor makanan dan minuman saja sudah ratusan ribu varian berlabel halal, jumlah ini akan terus meningkat dengan kesadaran konsumen akan produk halal.

Kini, makin banyak produsen maupun pengusaha produk makanan dan minuman yang berbondong-bondong mengurus sertifikat halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Namun sejak tahun ini, sertifikat dan label halal diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Perbankan syariah juga semakin diminati. Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan hukum Islam.

Hampir semua bank konvensional, seperti Bank Mandiri, BNI dan BRI, membuka layanan transaksi syariah. Walaupun dalam praktiknya sebenarnya bank tersebut belum sepenuhnya menerapkan praktik sesuai syariah.

Perbankan konvensional mulai berangsur tergantikan dengan perbankan syariah seiring meningkatnyta kesadaran akan urgensinya bagi masyarakat yang memang mencari sistem keuangan Islami.

Sektor farmasi dan kosmetik halal juga terus berkembang seiring dengan kesadaran tentang bahan dan pengembangan produk baru. Indikator produk farmasi dan kosmetik halal biasanya meliputi komposisi bahannya, misalnya yang bebas dari kandungan alkohol atau minyak babi, proses pembuatannya, serta kemasannya.

Demam syariah juga sudah memasuki industri fesyen. Gaya berbusana syar’i semakin diminati, bahkan perancang busana ternama dunia pun ikut mereguk manisnya bisnis fesyen syar’i ini.

Contohnya, pemain besar seperti Dolce & Gabbana, Uniqlo dan Burberry mulai memasuki industri busana muslim guna memperluas cakupan pasar.

Muncul pula tren hotel syariah dan properti syariah yang ternyata mendapat sambutan positif dari muslim kelas menengah.

Hotel syariah merupakan penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar dalam suatu bangunan di mana seluruh jasa pelayanannya dijalankan sesuai prinsip syariah, seperti tidak menyediakan minuman beralkohol, menyediakan alat ibadah di kamar, dan biasanya pengunjung atau pasangan yang berlawanan jenis harus menunjukkan surat nikah resmi untuk dapat menginap dalam satu kamar.

Sementara itu, properti syariah adalah jenis properti yang sistem transaksinya dijalankan sesuai dengan hukum jual beli Islam.

Ada pula biro wisata perjalanan syariah yang seringkali menggunakan label “wisata halal”. Pelayanannya biasanya mencakup hotel syariah, restoran halal, dan tujuan destinasi wisata religi.

Selebrasi gaya hidup syar'i tersebut juga mendorong muslim membentuk beragam komunitas, contohnya Hijabers Community (HC) yang dibentuk pada 2010, yang visi dan misinya adalah menyiarkan dakwah melalui hijab dan gaya hidup syar’i.

Ketaatan atau sekadar simbolik?

Dinamika konsumsi produk halal di kalangan muslim tak lepas dari gaya hidup mereka, serta apa yang ingin mereka tampilkan dan tunjukkan pada orang lain.

Melalui gaya hidup syar'i, masyarakat muslim membawa misi utama, yaitu kesalehan.

Kesalehan sebagai simbol dapat dipahami sebagai bentuk perilaku keimanan dan ketakwaaan seorang muslim, yang dapat dibentuk melalui konsumsi komoditas religius.

Simbol kesalehan tersebut dapat ditunjukkan dari apa yang dikenakannya dan apa yang disampaikannya, seperti pakaian syar’i, menggunakan bank syariah, tinggal di perumahan syariah, memakai produk halal dalam kesehariannya, mengutamakan makanan yang berlabel halal, dan sebagainya.

Mereka berusaha mengonstruksi dirinya sebagai orang alim sehingga kesalehannya dapat diakui oleh orang lain di sekelilingnya.

Dengan menerapkan gaya hidup syar'i, setidaknya ada dua hal yang mereka harapkan. Pertama, mereka berharap dapat diterima di kehidupan sosial mereka di dunia karena simbol-simbol kesalehan. Kedua, ibadahnya dapat diterima di akhirat nanti.

Sayangnya, kesalehan tersebut hanya tampak dari luar dan sekadar memberi makna dan memaknai ibadah secara simbolis. Gaya hidup tersebut diadopsi hanya demi mengejar gengsi dan rasa ingin dilihat dan dipandang oleh orang lain.

Hal itulah yang kemudian justru semakin menjauhkan seseorang dari nilai-nilai luhur syariah tersebut.

Syariah seakan hanya menjadi ikon untuk mengajak orang untuk segera mengonsumsi barang tersebut agar menjadi orang Islam, namun belum tentu orang tersebut secara benar dan nyata menganut prinsip Islam secara komprehensif.

Melalui tren produk halal dan gaya hidup syar’i, muslim dapat membentuk perilaku saleh dengan simbol dan atribut yang mereka kenakan dengan mempertimbangkan ekspektasi dari orang lain. Walaupun mungkin mereka belum sepenuhnya melaksanakan kesalehan sesuai syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Menguatnya konsumsi bersyariah yang hanya simbolis tersebut sebenarnya juga menegaskan bahwa pengajaran Islam masih berada dalam level skriptural, yakni pemahaman kitab suci yang dangkal.

Penting untuk kita renungkan kembali agar nilai-nilai keagamaan tidak tereduksi. Kesalehan, jika hanya secara simbolik, akan bersifat kering, kosong, dan jika terus-terusan menyelimuti akan menjadi dogma-dogma dan membelenggu masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now