Menu Close
Gempa dapat memicu tsunami, seperti yang terjadi di Maluku pada Januari 2023
Google Maps

Gempa Maluku: bagaimana gempa bumi bisa memicu terjadinya tsunami

Kita hidup di planet yang aktif dengan permukaan yang terus bergerak. Ini hampir tidak terlihat, hingga gempa kemudian terjadi.

Pada bulan Januari tahun ini, peristiwa seperti ini terjadi di laut utara Kepulauan Indonesia, di mana gempa kuat (berkekuatan 7,6 Skala Richter) mengguncang wilayah tersebut hingga terasa sampai di Darwin, Australia.

Biro Meteorologi Australia mengatakan bahwa tidak ada peringatan tsunami untuk Australia, sementara beberapa bagian di Indonesia berada dalam mode waspada dan tunggu. Namun, apa yang menyebabkan tsunami akan terjadi?

Batu gerinda

Tujuh puluh tahun yang lalu, planet kita dianggap tegar dan hanya berubah karena pelengkungan dan peningkatan bentang alam.

Namun, dengan kemajuan teknologi di tahun 1950-an, sonar mulai digunakan untuk memetakan dasar laut. Mengukur sifat magnetik dasar laut juga dapat dilakukan.

Akibatnya, kita mengetahui bahwa dasar samudra terbelah di pegunungan bawah laut yang dikenal sebagai pegunungan di tengah samudra.

Selain itu, kerak samudra (bagian dari kerak bumi yang mendasari cekungan samudra) hilang di sekitar tepi sebagian besar benua. Bagian itu kembali jauh ke dalam mantel Bumi – lapisan tebal batuan semi-cair di bawah kerak permukaan Bumi.

Hal ini terjadi pada apa yang dikenal sebagai “zona subduksi.” Zona subduksi adalah parit samudera yang dalam di mana satu lempeng tektonik menyelam di bawah lempeng lain. Saat bebatuan perlahan-lahan menggiling satu sama lain, saat gempa bumi terjadi.

Sumber tsunami

Lalu mengapa beberapa gempa bumi menghasilkan tsunami yang mematikan dan yang lainnya tidak?

Lempeng tektonik Bumi bergerak melintasi permukaan planet dengan kecepatan rata-rata sekitar 10 cm per tahun. Kecepatan ini awalnya diperkirakan berdasarkan perubahan sifat magnetik dasar laut, tetapi saat ini telah diukur oleh satelit di luar angkasa.

Kerak Bumi yang keras dan gesekan yang kuat saat lempeng tektonik bersentuhan satu sama lain menyebabkan proses pergerakan ini tidak mulus.

Saat mereka bergerak, gesekan ini membangun tekanan pada batuan, yang sesekali dilepaskan dalam bentuk gempa bumi. Di beberapa tempat, gempa bumi hanya terjadi sesekali tetapi sangat kuat, sementara di tempat lain terjadi lebih sering dan lebih lemah.

Namun, gempa bumi juga sangat bervariasi dalam hal seberapa dalam dihasilkan di bawah permukaan. Ini karena zona subduksi berlanjut jauh ke dalam mantel. Batuan tetap berada dalam kondisi dingin dan kaku selama ratusan kilometer sebelum menjadi cukup panas dari panas internal planet untuk menjadi lunak.

Inilah alasan utama beberapa gempa bumi menghasilkan tsunami dan yang lainnya tidak. Gempa zona subduksi dangkal sebenarnya menggusur dasar laut – baik ke atas maupun ke bawah – dan lautan di atasnya.

Pada gempa Tohoku 2011 di Jepang, yang terletak di kedalaman 24 km dan berkekuatan 9,1 Skala Richter, ini terjadi dengan dampak yang menghancurkan. Gempa tunggal ini menggerakkan kerak bumi sejauh 26 meter dalam hitungan detik dan mengangkat samudra, yang akhirnya mengirimkan gelombang tsunami yang menerjang tepat melintasi Samudra Pasifik.

Sementara itu, gempa Maluku bermagnitudo 7,6 yang terjadi bulan Januari lalu di perairan Indonesia tidak begitu kuat dan terjadi pada kedalaman 105km. Pada kedalaman ini, energi dan pergerakan yang terkait dari gempa bumi tersebar menjadi sejuta rekahan kecil pada bebatuan di atasnya.

Energi tersebut juga harus melewati irisan mantel semi-cair. Dengan demikian, ekspresi permukaan gempa melemah secara signifikan. Ini tidak menghasilkan gelombang laut, atau jika menghasilkan, hanya gelombang kecil.

Karena lempeng Bumi bergerak dengan kecepatan yang relatif konstan dan kita memiliki catatan aktivitas gempa bumi untuk bagian tertentu dari kerak Bumi dalam bentuk catatan geologis, kita dapat memperkirakan secara kasar seberapa sering gempa bumi akan terjadi di lokasi yang luas.

Sayangnya, kita belum memiliki teknologi untuk dapat memprediksi dengan tepat kapan atau di mana gempa akan terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah mengidentifikasi daerah yang berisiko dan membangun infrastruktur tahan gempa di daerah rawan untuk mencegah kerusakan dan korban jiwa.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now