Menu Close
HPP Beras
Kelangkaan beras Bulog di sejumlah pasar di Kupang, Nusa Tenggara Timur. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/rwa

Harga beras masih mahal, pemerintah perlu kebijakan hulu-hilir dan bukan sekadar mensiasati harga acuan

Harga beras belakangan bak tak terkontrol, bahkan mencetak rekor kenaikan tertinggi selama lima tahun terakhir. Sejak pertengahan 2022, harga beras di tingkat produsen gabah serta di pasaran meningkat cukup signifikan.

Menurut data yang dihimpun dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), rerata harga pasaran beras di pasar tradisional pada Agustus 2022 adalah Rp 11.650 per kilogram dan rerata harga produsen gabah senilai Rp 9.100 per kilogram. Pada Februari 2023, rerata harga pasaran beras mencapai Rp 13.200 per kilogram, sementara harga produsen gabah mencapai Rp 11.050 per kilogram.

Pemerintah bereaksi dengan berupaya menetapkan harga pembelian gabah hingga harga eceran beras. Namun, ini bukan persoalan yang mudah mengingat harga yang terlalu rendah bisa merugikan petani.

Pemerintah perlu menyikapi tingginya harga beras dengan kebijakan yang terintegrasi antara hulu dan hilir, sekaligus mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam proses produksi dan distribusi. Perubahan ketetapan harga pembelian beras di skala nasional bukanlah solusi akhir dari permasalahan ini.

Sibuk menyiasati harga

Menurut pemerintah, ketidakstabilan harga gabah dan beras terjadi akibat kegagalan Bulog menyerap gabah dari petani saat musim panen 2022.

Bulog harus menyerap gabah sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang kerap lebih murah dari harga pasar. Akibatnya, petani lebih memilih menjual gabah kepada pihak lain yang bersedia membeli dengan harga tinggi.

HPP adalah harga minimal yang harus dibayarkan pihak penggilingan kepada petani sesuai dengan kualitas gabah sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah.

Akibatnya, per 22 November 2022, Bulog melaporkan hanya memiliki stok cadangan beras sebanyak 594.856 ton dari target stok tahunan 1,2 juta ton. Situasi ini membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan operasi pasar dengan mengeluarkan cadangan beras saat harga naik.

Operasi pasar beras murah di Salatiga, Jawa Tengah
Dinas Perdagangan Kota Salatiga bekerja sama dengan Bulog menggelar operasi pasar murah beras medium pada awal Maret, dengan menyediakan 28 ton beras untuk empat kecamatan dengan harga Rp8.500 per kilogram sebagai upaya menstabilkan harga dan pasokan beras. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp

Di sisi petani, biaya produksi padi juga meningkat pada 2022 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada September lalu turut berdampak terhadap biaya produksi beras.

Perlu diingat bahwa harga BBM berkontribusi dalam biaya produksi beras, mulai dari transportasi petani, biaya pengangkutan beras, bahkan juga ongkos BBM yang digunakan petani untuk memanen beras.

Selain itu, ketetapan Menteri Pertanian untuk membatasi alokasi pupuk bersubsidi – sebagai respons terhadap krisis energi dan kenaikan harga pupuk – juga berpengaruh. Petani terpaksa menggunakan pupuk nonsubsidi dengan biaya yang lebih mahal karena kesulitan mendapat pupuk subsidi.

Pada awal Maret 2023, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) menganulir surat edaran mengenai harga batas atas pembelian gabah dan beras, yang baru terbit pada bulan sebelumnya. Begitu surat beredar, petani mengeluhkan harga gabah anjlok. Sebab, harga yang ditetapkan tak hanya berlaku bagi Bulog tapi juga pengusaha yang menyerap gabah dengan harga rendah.

Tak lama berselang, Kepala Bapanas menerbitkan surat keputusan tentang fleksibilitas harga gabah atau beras. Fleksibilitas berarti pemerintah efektif menyubsidi pembelian beras oleh Bulog jika harga melebihi harga acuan yang ditetapkan di SK tersebut, sembari menunggu penetapan HPP yang definitif.

Pada pertengahan Maret 2023, pemerintah menetapkan HPP serta harga eceran tertinggi (HET) beras. Gabah kering panen (kadar air maksimal 25% dan kotoran 10%) di tingkat petani dan penggilingan dihargai masing-masing Rp 5.000 dan Rp 5.100 per kilogram. Gabah kering giling (kadar air maksimal 10% dan kotoran 3%) diketok masing-masing di harga Rp 6.200 dan Rp 6.300 untuk penggilingan dan bulog. Harga beras bulog disetel di Rp 9.950.

Sementara, harga eceran beras berbeda-beda berdasarkan tiga wilayah zonasi dengan rentang harga Rp 10.900 hingga Rp 14.800 per kilogram.

Pengaturan kembali HPP beras dan gabah ini muncul setelah pemerintah mengimpor 500.000 ton beras sejak akhir tahun lalu, impor beras medium pertama sejak 2018, karena keterbatasan stok cadangan beras pemerintah.

Hal ini menunjukkan rumitnya permasalahan beras di Indonesia. Di satu sisi, petani menginginkan harga gabah yang menguntungkan, terutama menjelang dan saat panen raya. Sedangkan di sisi lain, ketahanan pangan mengharuskan suplai yang lancar dan harga beras yang terjangkau. Kerumitan ini tentu tidak dapat diurai jika pemerintah malah “salah fokus” pada penetapan HPP saja.

Penjemuran gabah
Bapanas menerapkan fleksibilitas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering giling dan beras guna mempercepat tambahan cadangan beras pemerintah. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/Zk/tom

Usaha bersama untuk menjamin stok

Pengadaan stok beras pemerintah untuk stabilisasi harga, walaupun efektif sebagai solusi jangka pendek, tidak dapat menjadi solusi permanen bagi permasalahan beras yang kompleks. Dalam jangka panjang, terdapat beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan pemerintah demi ketahanan pangan sekaligus kelangsungan usaha pertanian.

Pertama, BUMN (Bulog maupun BUMN penyelenggara logistik) perlu bekerja sama dengan sektor swasta dalam mengamankan stok beras pemerintah. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau kredit bunga bagi pemilik gudang dan penggilingan padi untuk mengamankan stok beras. Stok ini dapat dikeluarkan sewaktu-waktu untuk kepentingan ketahanan pangan dan situasi darurat.

Skema insentif ini penting untuk memastikan stok beras pemerintah. Saat panen, pihak swasta bisa andil menyerap beras untuk kepentingan negara. Pembelian gabah bisa berbasiskan harga pasar sehingga lebih lebih menguntungkan bagi petani ketimbang hanya berdasarkan HPP. Kerja sama dengan pihak swasta yang terkoneksi dengan jejaring pedagang dan tengkulak juga kemungkinan dapat lebih efektif dalam menjangkau daerah-daerah dengan pasar beras yang lebih kecil dan susah dijangkau oleh pemerintah.

Kedua, perlu diingat bahwa kebijakan cadangan pangan saja tidak akan cukup dalam menjamin keterjangkauan beras. Harus disadari bahwa produksi yang berbiaya tinggi dan tidak efisien adalah akar dari tingginya harga beras domestik.

Untuk mengatasi biaya produksi yang tinggi, perlu edukasi metode Pemupukan 5 Tepat untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta penyaluran bantuan langsung berupa saldo khusus input atau faktor produksi pertanian kepada petani. Input atau faktor produksi biasanya berupa benih, pupuk, irigasi ataupun pestisida.

Selain biaya produksi, efisiensi dan nilai tambah pertanian domestik perlu ditingkatkan secara signifikan.

Pemerintah dapat reformasi kebijakan di sepanjang rantai nilai beras nasional. Misalnya, untuk meningkatkan nilai tambah petani, perlu ada integrasi pasar yang lebih besar. Hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi akses petani terhadap sarana transportasi dan fasilitas pascapanen, sehingga akses pasar lebih terjamin dan nilai tambah usaha petani meningkat.

Sementara itu, reformasi dari sisi penawaran, misalnya, dapat dilakukan dengan menarik lebih banyak investasi swasta ke industri pupuk dan perbenihan untuk menciptakan pasar yang lebih kompetitif.

“Pekerjaan rumah” ini tentu membutuhkan upaya yang lebih dari sekadar mengutak-atik harga acuan.

Walau begitu, kebijakan ketahanan pangan di satu sisi mesti menjamin ketersediaan beras domestik dengan harga terjangkau. Pemerintah masih bisa mengandalkan impor ataupun mengadakan perjanjian dagang dengan negara penghasil beras yang lebih efisien.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now