Menu Close

Harga makin mahal, perlukah kita membeli rumah?

Asteria, 35 tahun, yang hidup bersama orang tuanya di bilangan Jakarta Selatan, berharap bisa memiliki hunian sendiri.

“Buat gw, punya rumah sendiri itu bentuk pembuktian diri,” ujar Asteria.

Namun, posisinya sebagai sandwich generation dan orang tua tunggal yang harus patungan membiayai pengeluaran di rumah orang tua dan menyekolahkan anak menyulitkannya untuk bisa menyisihkan tabungan demi bisa membayarkan uang muka. Apalagi, keluarganya menilai bahwa dengan statusnya sebagai orang tua tunggal, akan lebih baik tinggal bersama orang tua untuk menghindari kasak-kusuk tetangga.

Isu soal mahalnya harga properti memang bolak-balik ramai diperbincangkan warganet. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan wilayah satelitnya, harga rumah tapak dibanderol ratusan juta bahkan miliaran–-kadang dengan ukuran terbilang kecil dan lokasi yang jauh dari daerah perkantoran. Belum lagi, bagi mereka yang menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR), seringkali butuh puluhan tahun untuk mengangsur cicilan dan bunganya.

Saat ini, terdapat 12,71 juta backlog perumahan di Indonesia. Sementara, harga properti terus mengalami kenaikan tiap tahunnya–pada 2022 kenaikannya tercatat sebesar hampir 4% dari tahun sebelumnya.

Di tengah kondisi seperti ini, haruskah kita memaksakan diri membeli rumah?

Pilihan

The Conversation Indonesia berbicara dengan dua orang pakar mengenai perkara ini. Keduanya menjawab bahwa keputusan untuk memiliki rumah adalah pilihan masing-masing individu, meski mempunyai hunian sendiri tetaplah pilihan terbaik.

Adinda Tenriangke Mungkar, Direktur Utama The Indonesian Institute, berkata pada akhirnya keputusan pembelian rumah kembali ke intensi masing-masing. Apalagi, ada yang berpendapat bahwa membeli rumah adalah indikator keberhasilan dan lebih bijak daripada menghabiskan uang untuk barang-barang konsumsi. Tentunya, tak semua individu sepakat dengan persepsi ini.

“Menurut saya, buat beberapa orang bisa jadi itu adalah keharusan, tapi bisa jadi bukan keharusan juga buat yang lain karena kondisinya,” ujar Adinda. Kondisi Asteria di atas misalnya, bisa jadi ilustrasi bagaimana memiliki hunian sendiri tak harus jadi prioritas utama.

Bagi Adinda, membeli atau tak membeli rumah harus mempertimbangkan cost (beban) dan benefit (keuntungan) masing-masing–termasuk lingkungan, fasilitas umum maupun fasilitas pendidikan yang baik. Mereka yang memiliki gaya hidup nomaden, misalnya, bisa jadi akan lebih nyaman mengontrak hunian.

Namun, menurutnya, memiliki rumah tetaplah menjadi daya tarik tersendiri. Selain memberikan privasi dan keleluasaan untuk mendesain, rumah adalah aset yang harganya tak mengalami penyusutan. Membeli rumah mengasah literasi keuangan untuk menabung dan mengalokasikan pengeluaran untuk cicilan, kebutuhan, dan aktivitas bersenang-senang.

Ia menambahkan bahwa selalu ada konsekuensi dan trade-off dari pembelian rumah yang mesti dipahami pembeli sebelum transaksi–-entah itu beban dan bunga cicilan jangka panjang, jarak, dan kompromi–kompromi lain yang mesti dipertimbangkan sebelum mengambil hunian.

Senada, Wahyu Fahrul Ridho, dosen manajemen keuangan dari UPN Veteran Jawa Timur, menambahkan bahwa dalam situasi saat harga rumah makin mahal ini, keputusan untuk membeli rumah harus mempertimbangkan banyak faktor yang akan sangat berbeda setiap orang sesuai dengan profil resiko, keuangan dan aspirasi individu.

Namun, ia menekankan pentingnya rumah sebagai proteksi hari tua.

“Saat kita pensiun, penghasilan kita akan berkurang atau bahkan hilang sepenuhnya. Sehingga akan ada risiko beban keuangan yang besar jika kita masih harus menyewa tempat tinggal pada saat pensiun. Rumah bisa juga diwariskan untuk mengurangi beban anak kita di masa depan,” terang Wahyu.

Untuk bisa matang membeli rumah, Wahyu pun mengedepankan pentingnya perencanaan keuangan perlu dilakukan sebagai langkah awal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berinvestasi di aset keuangan (saham, reksadana, obligasi, dan lain-lain).

Alternatif lain

Pilihan juga merujuk pada bagaimana luasnya produk yang disediakan pasar. Artinya, mereka yang ingin membeli maupun menyewa sebetulnya punya beragam opsi yang bisa disesuaikan dengan kantong masing-masing.

Menurut Wahyu, alternatif yang bisa diambil pekerja muda adalah dengan sewa tempat tinggal seperti kos, apartemen dan mengontrak yang lokasinya dekat dengan tempat kerja. Selain itu, jika belum menikah juga bisa mempertimbangkan untuk co-living sehingga menghemat biaya.

Sementara menurut Adinda, dinamika pasar properti sebetulnya cukup sigap menjawab kebutuhan konsumen. Ia mencontohkan banyaknya pengembang yang membangun kompleks perumahan di daerah satelit yang dekat dengan akses tol dengan harga yang jauh lebih murah dari di tengah kota. Atau, hunian lengkap dengan perabot yang bisa disewa dalam jangka panjang.

Uang muka yang tinggi kerap jadi penghambat yang menyurutkan niatan membeli rumah. Terkait hal ini, Adinda memaparkan bagaimana banyak opsi uang muka yang sebenarnya ditawarkan pasar.

“Misalnya model bekerja sama dengan bank atau langsung ke pengembangnya, ada tawaran,” jelasnya.

Tak hanya itu, di tengah tren bekerja dari rumah (work from home/WFH) dan hybrid (bergantian antara bekerja dari rumah atau kantor), membeli rumah di kota-kota kecil yang harganya lebih ramah di kantong sebetulnya bisa jadi alternatif.

Isu ini sebetulnya sempat diangkat oleh seorang warganet yang membangun rumah di sebuah kota di Jawa Tengah, meski banyak menuai kritik pedas terkait gentrifikasi. Ini merujuk pada perpindahan warga dengan kelas pendapatan lebih tinggi ke wilayah yang standar hidupnya lebih rendah dan berpotensi menimbulkan kenaikan harga-harga di atas pemasukan warga lokal.

Meski enggan mengomentari isu gentrifikasi, Wahyu berpendapat bahwa dari perspektif bisnis dan ekonomi, kepadatan penduduk yang meningkat akan menarik minat pengembang dan investor untuk mengembangkan daerah tersebut dan meningkatkan ekonomi secara lokal. Catatannya, pemerintah harus hadir sebagai regulator agar tak merugikan warga setempat.

“Kota kecil dapat menjadi solusi dengan tren gaya WFH dan hybrid working saat ini. Harga yang lebih terjangkau dibanding kota besar dan kualitas hidup yang lebih baik dari tingkat kualitas polusi dan kepadatan penduduk bisa menjadi keuntungan tersendiri,” ujarnya.

Adinda pun sepakat dengan pendapat ini. Asal, perpindahan yang dilakukan tidak melanggar hukum dan menghormati warga lokal.

“Kita bagaimanapun kan makhluk sosial. Kalau ada pendatang dari luar, ya ada permisi-permisinya,” ujar Adinda.

Harga tinggi, perlukah pemerintah turun tangan?

Pemerintah sebenarnya bukannya tak turun tangan. Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), misalnya mengalokasikan Rp 34 triliun untuk penyediaan rumah subsidi tahun ini.

Wahyu, misalnya, menyoroti bagaimana dari segi pembiayaan pemerintah telah melakukan berbagai inisiatif untuk mengurangi backlog dengan skema pendanaan seperti Fasilitas Likuiditas Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan KPR Tabungan Perumahan Rakyat.

“Namun inisiatif ini hanya menyasar masyarakat berpenghasilan rendah, sementara backlog masyarakat kelas menengah juga perlu untuk diatasi,” ujar Wahyu.

Sementara, Adinda berpendapat bahwa pemerintah tak sebaiknya turun tangan mengatur harga, mengingat dinamika pasar yang sebetulnya sudah cukup baik dalam membaca sinyal. Apalagi, pemerintah punya reputasi yang buruk perihal atur-mengatur harga.

Yang perlu dilakukan pemerintah, menurutnya, adalah memastikan penegakan hukum yang kuat.

“Yang penting, pemerintah memastikan bahwa hak kepemilikan itu dihargai jangan sampai ada proses transaksi yang tidak jelas. Misalnya, tanahnya belum diurus, waktu pembebasan lahan masih bermasalah, lebih baik seperti itu,” ujarnya.

Baik Adinda dan Wahyu juga menekankan bahwa pemerintah lebih baik memastikan transportasi umum terintegrasi dan mengembangkan daerah satelit agar populasi tak menumpuk di kota-kota besar.

Nah, yang terpenting, kita sebagai konsumen juga mesti peka agar tak ikut melambungkan harga. Misalnya, Wahyu menghimbau untuk membeli rumah untuk investasi (terutama spekulasi) secara makro dapat menaikkan harga rumah, sehingga makin membuat rumah menjadi tak terbeli bagi yang membutuhkan tempat tinggal. Atau, menurut Adinda, jika mendapatkan rumah susun atau hunian bersubsidi, ada baiknya memang ditempati langsung dan bukan disewakan agar tak merusak harga pasaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now