Menu Close
Andatu, salah satu individu badak sumatera hasil perkembangbiakan semi-alami di Suaka Rhino Sumatera yang dikelola pemerintah bekerjasama dengan Yayasan Badak Indonesia. Dok. Sunarto

Hari Badak Sedunia: Apa yang perlu segera dilakukan untuk selamatkan badak sumatra?

Indonesia patut berbangga. Bangsa ini berhasil menjaga dua dari lima jenis badak di dunia. Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) tetap eksis di dunia hingga kini.

Namun, kita masih dihadapkan pada tantangan dan pekerjaan besar untuk membawa badak lebih jauh dari jurang kepunahan. Sebab, populasi dua jenis badak itu sangat kecil: masing-masing tak lebih dari 80 individu. Kini, keduanya berstatus Kritis–status tertinggi sebelum ‘Punah di Alam’ berdasarkan kriteria Serikat Internasional untuk Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Terkhusus badak jawa, upaya pelestariannya menunjukkan perkembangan positif selama beberapa tahun terakhir. Salah satunya terkait populasi badak yang bertambah hingga 75 individu di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

Bagi badak sumatra, upaya pelestariannya memiliki tantangan tersendiri. Berdasarkan pengalaman sejak lebih satu dekade lalu membantu upaya pemantauan, perlindungan, dan memberi masukan dalam penyusunan kebijakan, serta komunikasi intensif dengan para pegiat di lapangan hingga kini, saya mencoba mengulas lebih jauh seputar kerentanan dan ancaman yang dihadapi badak sumatra, serta menyoroti hal yang perlu segera dilakukan.

Spesies purba yang kian rentan di era modern

Pernah tersebar luas di Asia, populasi badak sumatra secara global menurun sebesar 80% hanya dalam tiga dekade terakhir. Dalam kajian terkininya, IUCN menyebutkan jumlah total badak sumatra tidak lebih dari 80 individu– 30 di antaranya adalah badak dewasa. Mereka pun tersebar dalam beberapa kantung populasi di Aceh, Lampung, dan Kalimantan.

Upaya menjaga kelestarian badak sumatra bukanlah pekerjaan ringan, meski juga bukan hal mustahil. Seiring waktu, tantangannya terus meningkat karena jumlah individu yang tinggal sedikit, dan kondisi populasi yang terpencar.

Badak merupakan herbivora peramban yang memakan dedaunan, kuncup, dan ranting. Spesies ini dapat mengkonsumsi ratusan jenis tumbuhan. Di tengah hutan belantara, badak memanfaatkan tumbuhan strata bawah seperti kelompok jahe-jahean (Zingiberaceae), semai atau pohon muda dari keluarga jambu-jambuan (Myrtaceae), bahkan rengas (Gluta spp) yang bagi manusia dapat menyebabkan gatal kulit.

Badak juga kerap meramban di wilayah hutan yang agak terbuka, misalnya akibat adanya pohon tua yang roboh. Badak pun dapat mencari makanan di tepian hutan yang biasanya memiliki banyak semai, tumbuhan herba, maupun trubusan yang mudah diakses sebagai sumber pakannya. Guna menyokong kebutuhan kehidupannya, badak memerlukan kombinasi keragaman habitat termasuk wilayah yang menyediakan tempat yang cocok untuk berkubang.

Badak Berkubang
Selain pakan, badak juga memerlukan habitat khas dengan kubangan. Foto oleh Sunarto

Ketika gangguan manusia belum intens, dan hutan pun masih luas serta tersambung, badak sumatra dapat dengan mudah dan aman menjelajah, memperoleh dan menikmati makanannya, dan berinteraksi satu dengan lainnya.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, aktivitas manusia jauh meningkat hingga ke tempat yang awalnya terpencil. Industri ekstraktif dan perkebunan skala besar kian banyak beroperasi sehingga mengubah bentang alam di pulau Sumatra dan lainnya. Akhirnya, habitat yang tersisa bagi badak sumatra hanya berupa fragmen hutan yang terganggu dan terisolasi di tengah lautan perkebunan, pertambangan, maupun infrastruktur.

Seiring dengan ramainya aktivitas manusia di hutan, perburuan satwa dengan beragam alat berburu juga marak–dan badak adalah salah satu target utamanya.

Populasi badak pun menyusut. Individu-individu badak sumatra yang tersisa kocar-kacir seakan hidup terasing antara satu dengan lainnya. Ancaman kronis tersebut mengakibatkan populasi badak terus tertekan dengan sendirinya.

Badak lalu mengalami fenomena yang dikenal sebagai Allee Effect. Fenomena ini berawal dari penyusutan populasi satwa di suatu wilayah yang berujung pada penurunan kemampuan berkembang biak.

Bayangkan jika kondisi badak sumatra terjadi pada manusia, dan populasinya secara global tinggal 100 jiwa. Populasi itu terpecah ke sekitar lima kelompok di dua pulau, dan terpisah ribuan kilometer. Jangankan menemukan pasangan, interaksi antar-individu pun bakal sulit. Inilah bentuk kerentanan utama badak sumatra saat ini.

Dalam kondisi seperti itu, pengendalian ancaman seperti perburuan dan kerusakan habitat saja tidak akan dapat menghentikan mereka dari pusaran kepunahan. Kondisi semacam itu hanya dapat diperbaiki dengan strategi khusus yang berfokus untuk menggenjot laju kelahiran bayi badak baru.


Read more: Para ilmuwan berlomba selamatkan badak Sumatra sejak kematian pejantan terakhir di Malaysia


Kelangsungan populasi badak sumatra semakin rentan karena fisiologi serta perilaku unik terkait perkembangbiakan mereka. Betina badak sumatra hanya mengalami siklus masa subur sekali setiap 18-24 hari. Masa subur itu pun hanya bertahan selama 24-48 jam. Pertemuan pasangan badak di luar waktu singkat itu hampir dapat dipastikan sia-sia. Kalaupun terjadi, perkawinan mereka mustahil menghasilkan keturunan.

Sekalipun pertemuan terjadi pada saat yang tepat, perkawinan belum tentu berlangsung. Musababnya, satwa bercula ganda itu memiliki semacam ritual agresif yang diduga untuk menilai kelayakan calon pasangannya sebelum kawin. Ketidakcocokan pasangan dapat berakibat fatal atau gagal.

Tak hanya itu, dalam kondisi populasi yang menyusut, risiko inbreeding atau kawin sekerabat cenderung meningkat. Perkawinan sekerabat dapat mengakibatkan beragam dampak negatif termasuk munculnya penyakit tertentu. Secara umum, hal ini dapat mengakibatkan penurunan keafiatan (fitness) dari individu satwa.

Sementara itu, individu betina dewasa yang tidak berkesempatan kawin berisiko terpapar estrogen secara berlebihan dan mengalami gangguan-gangguan patologi atau kelainan pada organ reproduksinya yang dapat mengakibatkan kemandulan.

Karena fenomena dan dengan mekanisme semacam itulah, secara perlahan namun pasti badak sumatra dapat terus menghilang dari banyak wilayah sebarannya. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun saja, badak sumatra yang sebelumnya telah bertahan selama ratusan ribu bahkan jutaan tahun, tiba-tiba lenyap secara berturut-turut di Semenanjung Malaysia, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Sabah.

Akhir-akhir ini, beberapa praktisi juga mulai mengkhawatirkan serta melaporkan indikasi proses hilangnya badak di beberapa lokasi lain termasuk Bukit Barisan Selatan dan bahkan Way Kambas di Lampung. Laporan itu belum termasuk di kantung-kantung habitat yang lebih kecil, seperti di beberapa wilayah Aceh.

Strategi penyelamatan badak sumatra

Cula badak yang menjadi objek perburuan. Dok. Sunarto

Tiga tahun lalu, pemerintah menerbitkan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Badak Sumatera.

Melalui rencana ini, diterapkan strategi pemulihan populasi–khususnya melalui penyelamatan badak dari alam. Badak-badak sumatra yang menjadi target diselamatkan dan dibawa untuk percepatan perkembangbiakan di fasilitas semi-alami Suaka Rhino Sumatera (SRS). Langkah ini diharapkan dapat memperkaya stok indukan untuk perkembangbiakan semi-alami maupun dengan bantuan teknologi.

Sebelum keluarnya RAD, upaya perkembangbiakan semi-alami telah dilakukan pemerintah bekerja sama dengan Yayasan Badak Indonesia di Way Kambas. Proses itu menuai hasil kelahiran dua anakan badakbernama Andatu pada 2012 dan Delilah pada 2016. Keduanya masih dirawat dengan baik dan tumbuh sehat hingga kini.

Selain di Way Kambas, fasilitas serupa juga tersedia di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Pemerintah merencanakan pembangunan fasilitas lainnya di Aceh.

Upaya penyelamatan ditujukan untuk menambah indukan untuk perkembangbiakan, dari yang ada saat ini hanya berjumlah tujuh ekor di SRS Way Kambas dan satu ekor tanpa pasangan di Kutai Barat. Dari tujuh individu di SRS Way Kambas, hanya satu pasang yang terbukti dan masih berpotensi menghasilkan anakan.

Sementara, program pengamanan badak dari perburuan yang sebelumnya merupakan program utama, tetap dilanjutkan dalam RAD sebagai program pendukung.

Pelaksanaan RAD–yang sempat terkendala pandemi– perlu diaktifkan dan dipercepat kembali sekaligus dimutakhirkan sesuai dengan perkembangan pengetahuan, pengalaman, serta temuan kondisi lapangan yang terbaru.

Sebagai contoh, strategi penyelamatan badak sumatra di Taman Nasional Bukit Barisan atau Taman Nasional Way Kambas sudah saatnya dimutakhirkan. Pasalnya, terdapat informasi yang mengindikasikan bahwa populasi badak akhir-akhir ini sudah jauh berkurang atau bahkan hilang. Padahal, saat RAD disusun, kedua lokasi itu disebutkan masih menyimpan banyak individu.

Sementara itu, hasil studi terbaru juga patut diperhatikan: sebagian besar (lebih dari 70%) badak yang diambil dari populasi yang terisolasi cenderung memiliki masalah patologi pada organ reproduksinya, misalnya berupa tumor dan kista yang menyebabkan kegagalan untuk hamil.

Individu semacam itu sebenarnya masih dapat berkontribusi dalam upaya penyelamatan badak sumatra, namun memerlukan bantuan teknologi reproduksi dengan cara pemanenan gamet atau sel telur guna memproduksi embrio. Metode ini disebut Assisted Reproductive Technology – ART.

Karena itu, untuk program perkembangbiakan semi-alami, upaya pencarian indukan perlu difokuskan pada individu yang terbukti subur dan sehat. Indukan seperti itu kemungkinan hanya dapat diperoleh dari populasi besar dan sehat. Sedangkan penyelamatan individu terisolir yang kemungkinan besar memiliki masalah reproduksi, perlu didukung teknologi ART.

Supaya strategi dan langkah penyelamatan badak sumatra berjalan efektif, pemerintah juga perlu bertindak di segala arah: memimpin di depan, menciptakan iklim kolaborasi, serta mendorong keterlibatan masyarakat dan mitra-mitra strategis. Harapannya, semua pihak dapat bersinergi agar mesin pemulihan populasi badak bergerak lebih cepat melalui berbagai inovasi.


Artikel ini merupakan seri pertama dari edisi khusus Hari Badak Sedunia

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now