Menu Close
(sumber: BKSDA Sumatera Barat, SINTAS Indonesia, San Diego Zoo Wildlife Alliance)

Hari Harimau Sedunia: Pengukuran populasi harimau tidaklah mudah, bukan cuma perkara jumlah

Menurut tanggalan shio, 2022 merupakan tahun harimau. Pada tahun ini, 13 negara habitat harimau berkomitmen untuk melipatgandakan populasi harimau menjadi dua kali dari populasi tahun 2010. Ini merupakan salah satu komitmen terbesar dalam konservasi spesies maupun sejarah pelestarian harimau.

Indonesia pernah menjadi rumah bagi tiga subspesies harimau (harimau sumatra, jawa, dan bali). Sayangnya, harimau jawa dan bali sudah punah, hanya harimau sumatra yang tersisa.

Populasi harimau di alam terus mengalami tekanan. Harimau sumatra terancam dengan jumlah saat ini diperkirakan sebanyak 393 individu dewasa, menurun 10% dibandingkan tahun 2008 yakni 439 harimau.

Kerusakan dan fragmentasi habitat, perdagangan bagian tubuh harimau untuk obat dan ornamen, perburuan satwa mangsa (rusa, kijang, dan babi), dan konflik manusia-harimau menjadi empat ancaman utama bagi harimau.

Ancaman lainnya meliputi penyakit satwa seperti Canine Distemper Virus yang menyerang harimau dan Asian Swine Fever yang menyerang satwa mangsa babi hutan.

Padahal, keberadaan harimau bernilai penting bagi ekosistem. Satwa ini merupakan pemangsa puncak yang mengendalikan populasi satwa-satwa mangsanya, seperti babi hutan, yang dapat menjadi hama pertanian. Masyarakat di Sumatra Barat, misalnya, menghormati harimau karena memiliki nilai kultural sebagai penjaga hutan.

Menyambut Hari Harimau Sedunia pada tanggal 29 Juli, sudah saatnya kita merefleksikan upaya mengetahui status populasi harimau sebagai bagian penting dalam pelestariannya. Pertanyaan besar yang paling sering ditanyakan adalah:

“Ada berapa jumlah harimau saat ini?”

Meski tampak sederhana, pencarian jawaban atas pertanyaan ini tidaklah mudah. Tulisan ini akan menjabarkan tentang cara menghitung ukuran populasi harimau di alam.

Menghitung populasi harimau

Saat ini metode ilmiah utama untuk menghitung jumlah harimau adalah Capture-Mark-Recapture atau Tangkap-Tandai-Tangkap Kembali (CMR). Metode CMR memperkirakan kepadatan harimau dengan mengambil sampel populasi harimau, tanpa harus mendata seluruh harimau yang tinggal di dalam suatu wilayah.

Tim pemantau sedang memasang kamera pengintai. (Sumber: BKSDA Sumatra Barat, SINTAS Indonesia, San Diego Zoo Wildlife Alliance)

Metode ini mensyaratkan agar harimau dapat ditemukan (tangkap), tiap individu bisa diidentifikasi dengan benar (tandai), dan ditemukan kembali di lokasi yang sama atau berbeda (tangkap kembali).

Berkembangnya teknologi turut membuat metode CMR semakin populer. Kamera pengintai (camera trap) menjadi alat utama ‘menangkap’ harimau dalam bingkai foto. Metode ini jauh lebih mudah dibanding menangkap langsung harimau.

Setiap individu harimau memiliki pola loreng unik sama seperti sidik jari manusia. Loreng ini menjadi identitas harimau yang membedakannya satu sama lain.

Ilustrasi loreng individu harimau yang sama di dua lokasi berbeda. (Sumber: BKSDA Sumatra Barat, SINTAS Indonesia, San Diego Zoo Wildlife Alliance/diolah oleh Robby Maqoma)

Selain peralatan, CMR juga membutuhkan desain studi yang baik. Misalnya kamera pengintai dipasang di lokasi yang optimal untuk mendeteksi harimau. Lokasi tersebut bisa berupa jalur harimau (di mana terdapat tapak atau kotoran harimau) atau jalur satwa mangsanya.

Distribusi kamera juga harus merata untuk menjamin setiap individu harimau memiliki peluang yang sama untuk ‘tertangkap’. Di Sumatra, survei harimau biasa menggunakan sistem grid atau petak, di mana satu stasiun kamera (biasa berpasangan untuk mendapatkan foto kedua sisi harimau) dipasang dalam grid ukuran 3x3 kilometer (km).

Survei juga dilakukan dalam periode waktu terbatas, umumnya 90 hari. Angka ini menjadi acuan asumsi populasi tertutup harimau di mana tidak terjadi proses kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi yang dapat mengubah angka populasi harimau di area kajian selama survei.

Syarat di atas terlihat sederhana. Tapi, penerapannya di lapangan bisa lebih menantang, terutama karena keterbatasan sumber daya. Jika kita ingin melakukan survei kamera di area yang luas, maka dibutuhkan lebih banyak kamera pengintai dan tim lapangan. Tentunya ini akan berdampak pada periode survei yang panjang dan biaya operasional yang tinggi.

Perjuangan tim lapangan yang sedang mendaki bukit. (Sumber: BKSDA Sumatra Barat, SINTAS Indonesia, San Diego Zoo Wildlife Alliance)

Oleh karena itu, studi populasi harimau biasanya dilakukan di wilayah prioritas seperti area inti kawasan konservasi. Namun, angka kepadatan yang dihasilkan di suatu lokasi (misalnya di habitat pergunungan) tidak dapat digunakan untuk prediksi kepadatan harimau area lain (contoh di rawa gambut).

Keterbatasan luasan area survei menjadi tantangan dalam menentukan jumlah harimau di wilayah besar seperti taman nasional. Idealnya, survei dilakukan di semua tipe habitat di suatu kawasan (misalnya Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh yang memiliki habitat rawa gambut, dataran rendah, perbukitan, sub-pegunungan, dan pegunungan) agar estimasi kepadatan harimau bisa merepresentasikan wilayah tersebut.

Walaupun menghadapi tantangan, kita patut berbangga karena peneliti Indonesia telah menghasilkan beragam publikasi ilmiah tentang kepadatan populasi harimau dengan metode CMR yang menjadi basis pengelolaan konservasi.

Beberapa diantaranya dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung, Taman Nasional Berbak-Sembilang di Sumatra Selatan, Taman Nasional Batang Gadis di Sumatra Utara, dan Pegunungan Bukit Barisan di sepanjang Pulau Sumatra.

Bukan sekadar angka

Informasi kepadatan harimau tidak selalu tersedia karena keterbatasan sumber daya untuk melakukan survei lapangan dan analisis.

Menjawab pertanyaan “Ada berapa populasi harimau?” memang penting untuk menyusun strategi konservasi harimau ke depannya. Namun informasi populasi harimau tidak harus dalam jumlah ekor.

Selain “Ada berapa harimau?”, kita juga bisa bertanya: - Apakah terdapat harimau di kawasan ini? - Bagaimana pola sebaran harimau di wilayah ini? - Bagaimana perbandingan rasio jantan-betina dan kelas umur mereka?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab. Misalnya, informasi seputar ada atau tidaknya harimau di suatu kawasan menjadi sangat penting ketika kita menilai habitat yang kritis.

Informasi mengenai pola sebaran harimau juga vital dalam penetapan skala prioritas kegiatan pengamanan suatu kawasan. Sedangkan, kita memerlukan informasi rasio jantan-betina untuk mengetahui kesehatan populasi harimau di suatu kawasan.

Petugas sedang memeriksa tanda keberadaan harimau. (Sumber: BKSDA Sumatra Barat, SINTAS Indonesia, San Diego Zoo Wildlife Alliance)

Pemerintah Indonesia bersama para mitra telah melakukan pemantauan berkala terkait populasi harimau, baik pada tingkat bentang alam maupun skala pulau. Pada tingkat bentang alam, misalnya, pemerintah telah melakukan pemantauan berkala dengan kamera pengintai pada kawasan-kawasan prioritas.

Sementara, pada tingkat pulau, pemerintah telah melaksanakan survei deteksi/non-deteksi di 60% habitat harimau sumatra di seluruh Pulau Sumatra pada 2007-2009. Survei tersebut sedang diulang dengan target cakupan yang lebih luas, yaitu 100% habitat harimau sumatra di seluruh Pulau Sumatra.

Tujuan utama perlindungan harimau adalah mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah dan sebaran harimau. Oleh karena itu, walaupun membutuhkan keterampilan khusus, pemantauan status populasi merupakan komponen penting dan seyogianya diterapkan di dalam pengelolaan harimau.

Berbagai pilihan metode ilmiah telah memberikan cukup ruang bagi pihak pengelola untuk melakukan pemantauan populasi harimau sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Hanya melalui kegiatan pemantauan populasi secara berkala, efektivitas upaya perlindungan harimau dapat diukur – apakah populasinya meningkat, stabil, atau justru menurun.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now