Menu Close
Petani bawang di Majalengka, Jawa Barat. (Dedhez Anggara/Antara)

Hari Tani: program subsidi pupuk perlu dirombak dan digantikan program pertanian ramah lingkungan

Pemerintah Indonesia masih mengandalkan program subsidi pupuk untuk menopang produktivitas sejumlah produk pertanian. Selama ini, subsidi dilakukan secara tidak langsung untuk menjaga harga pupuk tetap terjangkau oleh petani. Jumlah anggarannya pun tak sedikit, sempat menyentuh Rp 34 triliun pada 2019.

Namun, alih-alih mendongrak produktivitas pertanian, program subsidi pupuk justru menimbulkan dua masalah. Pertama adalah perkara kerusakan lahan pertanian akibat pupuk subsidi yakni urea dan NPK (nitrogen, fosfat, kalium) – yang menggunakan bahan baku dari produk turunan minyak dan gas bumi. Penerapan pupuk yang berlebihan dapat merusak kekayaan organisme dalam tanah.

Sedangkan masalah kedua adalah persoalan tata kelola, mulai dari lemahnya pengawasan sehingga harga pupuk subsidi lebih mahal dibandingkan harga eceran tertinggi, serta distribusinya yang tidak tepat sasaran.

Tanpa perubahan yang mendasar, program subsidi pupuk justru melenceng dari tujuannya untuk meningkatkan produksi pangan dan menyejahterakan petani. Program ini semestinya dievaluasi besar-besaran, terutama terkait relevansi subsidi pupuk terhadap komitmen Presiden Joko Widodo dalam melaksanakan pertanian yang berkelanjutan.

Efek buruk subsidi pupuk

Sidak ketersediaan pupuk bersubsidi oleh aparat negara yang kerap dilakukan karena lemahnya tata kelola program ini. (Asep Fathulrahman/Antara)

Subsidi pupuk merupakan salah satu program tertua Indonesia: dilaksanakan sejak era revolusi hijau (sebuah gerakan global untuk peningkatan produktivitas pertanian) pada 1971. Pupuk bersubsidi begitu mengakar di masyarakat, sehingga penggunaannya menjadi tradisi untuk sebagian petani.

Masalahnya, program ini tak berjalan dengan baik karena petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Di sisi lain, petani juga menjadi sangat bertumpu pada penggunaan pupuk untuk mendukung keberhasilan panen.

Penelitian saya di Indramayu, Jawa Barat, menemukan bahwa pupuk sintetis menjadi salah satu komponen pendukung keberhasilan panen dan menjadi salah satu sarana utama dalam aktivitas pertanian. Demi pupuk dan pestisida sintetis, petani bahkan rela ‘berutang’ agar mendapatkan kepastian hasil panen. Utang pun bisa lebih besar karena harga pupuk subsidi jauh lebih dari besaran yang dipatok pemerintah.

Saya juga mendapati, di lapangan, para petani beras menggunakan pupuk sebagai salah satu langkah adaptasi iklim karena kondisi sawah yang kian rentan kekeringan dan terkena serangan hama. Hal tersebut terjadi karena petani tidak mengetahui solusi memadai untuk menghadapi kerentanan ekosistem di lahan sawah.

Karena persoalan tersebut, kondisi petani kian terjepit karena berfokus pada produksi jangka pendek – selama masa panen semata. Petani kesulitan untuk memikirkan dampak praktik pemupukan terhadap kesehatan tanah dan lingkungan jangka panjang.

Petani pun kerap tergoda untuk menggunakan pupuk lebih banyak, karena dianggap bisa menjanjikan hasil panen yang melimpah. Padahal, kelebihan pupuk dapat berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman hingga menjadi ‘racun’ bagi tanah serta lingkungan sekitarnya.

Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di India, misalnya, subsidi pupuk juga mendorong praktik pemupukan berlebihan sehingga berakibat tanah pertanian setempat yang kelebihan nitrogen.

Wonosobo, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu daerah sasaran program food estate pemerintah. (Pemprov Jateng)

Tak hanya tanah, penggunaan pupuk yang berlebihan turut mencemari air. Studi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian menemukan, penggunaan pupuk urea berlebihan di Wonosobo, Jawa Tengah, berakibat pada tingginya konsentrasi senyawa nitrat di Sungai Serayu. Senyawa ini, dalam konsentrasi tertentu, dapat mengakibatkan keracunan pada bayi maupun kematian bagi hewan ternak.

Sejumlah studi menemukan dampak pupuk sintetis yang berbahaya bagi lingkungan. Studi Gisèle L. Herren dari Ghent University, Belgia, pada 2020 menyebutkan bahwa penggunaan pupuk sintetis mempengaruhi keanekaragaman komunitas cacing dalam tanah. Cacing sendiri merupakan salah satu indikator penting kesehatan tanah di suatu lingkungan.

Penggunaan pupuk urea juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca sektor pertanian. Sektor ini berkontribusi sekitar 8% emisi Indonesia.

Selain dampak lingkungan, subsidi pupuk juga menempatkan petani menjadi kelompok yang rentan terdampak situasi pasar global. Misalnya, tahun ini pemerintah memangkas subsidi pupuk dari 70 komoditas pertanian menjadi hanya 9 komoditas (padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao dan kopi). Pemangkasan ini dilatari invasi Rusia ke Ukraina yang mengakibatkan kelangkaan sejumlah bahan baku pupuk di pasar dunia.

Dampak ikutan lainnya dari subsidi pupuk adalah masalah tata kelola dan penyelewengan. Data petani penerima pupuk bersubsidi yang bermasalah di tingkat daerah mengakibatkan distribusi yang tak merata. Penyelewengan pupuk bersubsidi juga menjadi kasus yang jamak terjadi di banyak tempat.

Transisi ke pertanian yang berkelanjutan

Program sekolah lapang yang harus terus digalakkan untuk memperluas aktivitas pertanian organik. (Asep Fathulrahman/Antara)

Efek buruk berganda akibat program subsidi pupuk semestinya menjadi alasan bagi pemerintah untuk meninjau ulang program ini. Tak hanya di Indonesia, seruan untuk memangkas subsidi bagi praktik pertanian yang tak berkelanjutan juga turut bergema di tingkat global.

Tulisan ini tak dimaksudkan untuk menghilangkan praktik pemupukan oleh petani. Namun, bantuan pemerintah seharusnya tak sekadar untuk menambal harga pupuk, melainkan juga pendampingan untuk praktik pemupukan yang berkelanjutan. Program bantuan juga harus diprioritaskan untuk pupuk organik yang terbukti ampuh meningkatkan nutrisi tanah sekaligus keanekaragaman organisme di dalamnya.

Ambisi Jokowi untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan membutuhkan tindak lanjut yang nyata. Langkah yang dapat dilakukan adalah pembangunan kapasitas petani, pengakuan terhadap pengetahuan lokal seputar pertanian yang dimiliki para petani.

Negara juga semestinya mendukung serta memfasilitasi pengembangan benih padi yang dilakukan petani secara mandiri. Selama ini, pengetahuan terkait hal tersebut masih susah diakses oleh petani.

Sejauh ini, penggunaan benih padi wajib tersertifikasi sehingga petani hanya bisa menggunakan benih yang legal. Sementara itu, petani skala kecil sulit mengikuti ketentuan sertifikasi benih karena keterbatasan informasi, penyuluhan, dan modal. Padahal, benih padi rancangan petani bisa jadi lebih irit pupuk dan pestisida sehingga modal bertani bisa dihemat.

Penyuluhan pertanian, yang saat ini sudah diterapkan di daerah-daerah, perlu diperkuat untuk membantu petani menerapkan praktik-praktik yang berkelanjutan.

Bantuan langsung untuk menopang kehidupan petani juga mesti dikucurkan untuk menunjukkan keberpihakan negara terhadap petani. Bantuan ini bisa melalui insentif aktivitas pertanian, subsidi langsung, atau pun bantuan keuangan lainnya.

Negara perlu membangun kapasitas petani karena aspek pertanian berkelanjutan dapat menjembatani antara kepentingan kesejahteraan petani dan kelestarian lingkungan hidup. Implementasi pertanian berkelanjutan perlu menjadi prioritas negara membangun sektor pertanian yang lebih harmonis, bukan mengeksploitasi lingkungan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now