Menu Close
Salah satu Harimau Sumatra yang terpapar COVID-19, Tino berada di dalam kandang di Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Hewan juga berhak sehat dan aman dari COVID-19, sayang kebijakan di Indonesia belum memadai

Pada masa pandemi COVID-19, salah satu isu yang jarang mendapatkan perhatian adalah terkait jaminan kesejahteraan hewan. Padahal, COVID-19 dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada hewan.

Dampak langsung COVID-19 terlihat saat terdapat dua harimau di kebun binatang Ragunan yang terbukti positif pada Juli 2021 setelah menunjukkan gejala sesak nafas dan nafsu makan yang menurun. Virus diduga menular dari penjaga hewan yang mengidap COVID-19 tanpa gejala.

Penularan tersebut pun cukup konsisten dengan studi yang dilakukan tim peneliti di Brasil. Penelitian itu menemukan hewan peliharaan mengidap COVID-19 dari manusia. Temuan yang sama juga terungkap dalam studi tim peneliti dari Utrecht University.

Selain risiko penularan, pandemi juga berdampak pada terjadinya sejumlah pelanggaran kesejahteraan hewan. Contohnya, satwa di Kebun Binatang Medan, Taman Satwa Cikembulan di Garut, hingga Kebun Binatang Bandung, yang terancam kelaparan. Mereka kekurangan makan karena pendapatan tempat wisata yang menurun selama Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

Beragam kasus di atas terjadi sebagai akibat dari kebijakan perlindungan satwa yang tidak memadai.

Hari hak asasi binatang yang jatuh pada 15 Oktober semestinya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk mengatur aspek-aspek prioritas perlindungan hewan, pemetaan risiko kesehatan maupun non kesehatan hewan untuk dimitigasi, serta memantau pelaksanaannya saat pagebluk melanda.

Aturan perlindungan hewan yang lemah

Kelemahan kebijakan perlindungan hewan dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Veteriner adalah segala urusan yang terkait dengan hewan maupun produk yang berhubungan dengan hewan.

Regulasi di atas mendefinisikan penyakit zoonosis sebagai penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya.

Namun, desain sistem perlindungan yang ada hanya menyasar pada perlindungan manusia ketika terkena wabah yang berasal dari hewan, bukan sebaliknya.

Hal tersebut, misalnya, berimbas pada ketiadaan regulasi maupun protokol kesehatan yang mengatur perlindungan hewan saat kurva penularan tengah meningkat, atau ketika seseorang berstatus positif COVID-19 dan suspek. Aturan tentang perlindungan sumber daya yang terkait dengan kesejahteraan hewan seperti pakan, dan tempat tinggal, juga masih nihil.

Kelemahan lainnya terkait dengan kewajiban pemenuhan kebutuhan pakan hewan ternak saat penyelenggaraan karantina kesehatan yang diatur dalam Pasal 52 Undang Undang No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Selama empat tahun beleid tersebut berlaku, belum ada aturan teknis yang menjabarkan kewajiban tersebut.

Akibatnya, sejumlah hewan ternak seperti ayam mati karena kekurangan pakan dan kebutuhan dasar lainnya. Kekurangan ini terjadi karena peternak kesulitan mengakses pakan ternak akibat penutupan akses jalan. Daya beli masyarakat yang melemah selama pandemi juga membuat pendapatan peternak tergerus, sehingga kemampuan memberi pakan hewan juga berkurang.

Selain persoalan aturan teknis, Pasal 52 UU Karantina Kesehatan juga tak memuat kewajiban pemenuhan pakan hewan non-ternak saat wabah. Akhirnya, saat pandemi melanda, banyak hewan—termasuk di antaranya satwa di kebun binatang—yang tidak mendapatkan perhatian memadai, hingga berujung pada penelantaran.

Hewan juga berhak sehat dan divaksin COVID-19

Indonesia dapat mencontoh kebijakan penanganan pandemi di negara lain yang berlaku tak hanya bagi manusia, tapi juga hewan.

Di Australia, perlindungan hewan secara menyeluruh dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing jenis satwa. Hal ini terwujud melalui pembentukan COVID-19 Animal Welfare Response Reference Group (COVAWRRG).. Kelompok ini beranggotakan perwakilan pemerintah dan 34 organisasi masyarakat dari beragam latar belakang yang membantu menjamin perlindungan terhadap hewan.

Dengan adanya COVAWRRG, sejumlah kebijakan dan inisiatif pro-kesejahteraan hewan terbit dan disepakati secara nasional, termasuk oleh pelaku industri yang terdampak. Contohnya, penyesuaian peraturan mobilitas satwa untuk transportasi rantai pasokan makanan dan perawatan, dan ketentuan penanganan hewan dalam menanggapi panic buying terhadap kebutuhan pangan.

COVAWRRG juga membantu perumusan regulasi untuk membantu kebun binatang, akuarium, dan taman margasatwa yang terdampak secara finansial. Kebijakan lainnya adalah serta pengklasifikasian dokter hewan sebagai layanan penting.

Di Amerika Serikat, vaksinasi COVID-19 juga berlaku bagi hewan seperti singa, dubuk (hyena), babun, hingga harimau. Di Rusia, program vaksinasi massal dilaksanakan sejumlah klinik untuk hewan seperti anjing, kucing, kera, dan cerpelai(mink).

Langkah bersama pemerintah-warga amat diperlukan

Supaya kasus-kasus penelantaran hewan tak terulang kembali, pemerintah perlu segera menyusun kebijakan pencegahan dan penganganan hewan saat wabah.

Penyusunan kebijakan ini membutuhkan kerja sama masyarakat, pemerintah, dokter hewan, dan pelaku sektor yang terdampak seperti peternak dan pengelola kebun binatang dalam bentuk kelompok tanggap krisis. Kelompok tersebut dapat membentuk alur komunikasi yang jelas untuk menjaring aspek-aspek kerentanan hewan di lapangan. Harapannya, solusi dan implementasi tindakan dapat efektif.

Selain membantu perumusan kebijakan, kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak dapat segera memberikan membantu pelaksanaan kebijakan serta memperkuat kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan hewan.

Aturan tentang pencegahan penularan melalui deteksi, karantina, dan vaksinasi hewan juga dapat segera dibuat. Sebab, sejumlah vaksin COVID-19 terhadap hewan sudah masuk tahap uji coba.

Selain itu, pemerintah perlu mengakui bahwa aktivitas peternakan merupakan kegiatan esensial. Hal tersebut dapat mempermudah mobilitas antarwilayah maupun negara bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk peternak atau dokter hewan. Pemerintah juga perlu merencanakan tempat pemotongan alternatif apabila terdeteksi risiko penumpukan hewan karena peternak setempat yang terpapar.

Aspek lainnya yang perlu diatur adalah kewajiban karantina hewan dengan suplai pakan yang memadai saat ada peternak, dokter hewan, awak kapal, atau supir truk yang terpapar COVID-19. Pemerintah pun wajib untuk menanggung segala pendanaan dan menjamin fasilitas karantina yang memadai—bekerja sama organisasi masyarakat sipil atau lembaga lainnya.


Phelia Myrna turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now