Menu Close
(Shutterstock)

Hikayat beras nusantara dan mengapa Indonesia amat tergantung dengan nasi

Beberapa di antara kita mungkin pernah mendengar ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi"—biasanya terlontar untuk menggambarkan kegandrungan masyarakat Indonesia terhadap nasi.

Ungkapan ini bukan gurauan belaka. Indonesia masuk peringkat keempat negara konsumen nasi terbanyak di dunia. Bahkan, naik-turun harga beras di pasar turut menentukan besaran inflasi pangan.

Apa yang kita konsumsi hari ini adalah hasil dari keputusan, kebijakan, dan peristiwa di masa lalu. Ketergantungan kita terhadap beras pun merupakan buah dari berbagai konstruksi sosial dan ekonomi di Indonesia.

Posisi beras di zaman klasik

Mari kita mundur ke zaman ketika padi pertama kali didomestikasi atau dibudidayakan. Menurut penelitian dan bukti arkeologis, padi pertama kali didomestikasi di Cina, khususnya di lembah Sungai Yangtze sekitar 9000 tahun SM.

Ada debat mengenai apakah budi daya padi dimulai di India atau Cina. Yang jelas, migrasi penduduk berperan penting dalam penyebaran padi ke Asia bagian timur. Dari Cina, pertanian padi menular ke Jepang, kemudian ke Taiwan, Filipina, Sulawesi, dan akhirnya ke Jawa.

Budi daya padi di Pulau Jawa diperkirakan dimulai sekitar 500 tahun SM. Kondisi geografis Jawa, dengan struktur tanah yang subur, iklim yang stabil, dan pengaruh dari gunung berapi, semuanya mendukung pertumbuhan padi.

Budi daya padi di Jawa yang meluas kemudian membentuk kebudayaan dan ritual yang sangat terkait dengan keberadaan padi saat itu. Catatan sejarah mengenai padi banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti dari zaman kerajaan Hindu-Buddha, termasuk di relief candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.

Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, Jawa Tengah, yang turut memperlihatkan aktivitas pertanian padi di sawah. (Balai Konservasi Candi Borobudur)

Meski sawah marak, padi bukanlah satu-satunya sumber karbohidrat di masa itu. Relief Candi Borobudur, yang dibangun antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, juga mengungkapkan bahwa masyarakat di sekitar Jawa Tengah saat itu turut melahap berbagai jenis makanan sebagai sumber karbohidrat seperti jewawut, pisang, sukun, dan talas. Ada juga berbagai jenis tanaman palem-paleman seperti sagu, nipah, aren, dan lontar.

Sebelum padi menjadi komoditas utama di Indonesia, masyarakat di luar Jawa juga mengandalkan berbagai jenis makanan seperti umbi-umbian, sukun, pisang, dan sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Masyarakat Papua, misalnya, mengonsumsi sagu sebelum beras dibudidayakan di Indonesia. Sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain pisang dan umbi-umbian.

Ekspansi padi di tiga zaman

Bagaimana konsumsi beras di Indonesia mengalami perkembangan selama periode kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru?

Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, pertanian padi sangat terkonsentrasi. Tanah-tanah yang subur dikuasai oleh pihak kolonial atau para tuan tanah Belanda, sehingga masyarakat pribumi lebih diarahkan untuk menanam padi. Situasi ini meningkatkan konsumsi beras di kalangan masyarakat Indonesia, dan beras menjadi makanan pokok utama.

Setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia.

Presiden Sukarno saat bercengkerama dengan warga di sawah. (Arsip Nasional RI)

Upaya intensif dilakukan untuk meningkatkan produksi beras di Indonesia antara lain Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959–1961). Namun keduanya gagal karena situasi politik dalam negeri tidak stabil, di samping masalah keterbatasan anggaran, kesulitan logistik, dan strategi harga yang gagal.

Perubahan paling signifikan dalam konsumsi dan produksi beras terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian.

Pemerintahan Orde Baru juga menggagas program transmigrasi untuk mencetak sawah di luar Jawa. Salah satunya adalah Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 yang menempatkan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai lokasi pembukaan sawah baru seluas 3.000 hektar.

Kebijakan Suharto berhasil menggenjot produksi beras sehingga pada tahun 1984, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Produksi beras nasional pada tahun tersebut mencapai 27 juta ton dengan konsumsi dalam negeri sebesar 25 juta ton.

Menimbang ulang dampak beras

Kesukaan terhadap beras di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh inisiatif masyarakat, tetapi juga melalui campur tangan pemerintah.

Namun, usaha pemerintah patut dikaji ulang. Sebab, beras juga menjadi sumber masalah kerentanan pangan. Setiap musim tanam, tanaman padi rentan mengalami kekeringan, banjir, serta fluktuasi cuaca seperti El Nino yang sempat terjadi belakangan ini. Ancaman tersebut dapat berdampak serius terhadap penghidupan petani padi.

Di sisi lain, produksi beras menyumbang sekitar 22% dari total emisi gas metana global—salah satu gas rumah kaca. Pertanian padi juga tergolong rakus air, dengan kebutuhan sekitar 1.000–2.700 liter air untuk 1 kg padi.

Selain itu, perlu disadari bahwa tidak semua lahan atau tanah di Indonesia cocok untuk penanaman padi. Sekalipun cocok, hasil dan kualitas panennya mungkin tidak akan sebanding dengan tanaman yang ditanam di lahan yang memang sesuai.

Ketergantungan kita terhadap beras juga dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, yakni meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung.

Bisakah kita mengurangi nasi?

Usaha mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis pangan sebenarnya sudah dimulai sejak Orde Baru.

Pada dekade 1970-an, pemerintah Indonesia menggencarkan kampanye diversifikasi pangan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Instruksi Presiden tahun 1979 menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka meningkatkan gizi masyarakat.

Namun, upaya ini terbentur dengan program swasembada beras yang menjadi fokus pemerintah saat itu. Akibatnya, kebijakan ini tidak pernah berhasil menurunkan konsumsi beras. Kalaupun tingkat konsumsi beras menurun, adanya kebijakan impor gandum menjadikan masyarakat lebih memilih gandum dibandingkan pangan nonberas lainnya seperti ubi atau singkong.

Pasar terapung yang menjajakan banyak pangan lokal. (Antara)

Kebijakan diversifikasi pangan juga tidak diikuti dengan keseriusan pemerintah untuk mengembangkan teknologi pengolahan pangan nonberas. Teknologi penting untuk memudahkan kita mengakses pangan nonberas.

Diversifikasi pangan secara efektif, terutama untuk menggalakkan pangan lokal, tak bisa hanya bermodalkan slogan dan instruksi presiden. Pemerintah perlu serius mengelola dari hulu ke hilir potensi pangan lokal setiap daerah. Keseriusan dalam meningkatkan input pertanian sampai pada pengolahan pasca panen perlu digalakan untuk komoditas-komoditas lokal. Ini juga termasuk penguatan kelembagaan untuk mengelola lumbung pangan berbasis masyarakat.

Indonesia sangat bisa memanfaatkan lahan suboptimal guna menanam berbagai jenis tanaman alternatif, seperti sagu. Beberapa wilayah di Indonesia, seperti di NTT dan Papua memiliki potensi besar untuk memperkaya pasokan pangan nonberas.

Penting untuk diingat bahwa tujuan diversifikasi pangan bukan untuk melarang konsumsi nasi, melainkan untuk memperkaya variasi makanan dalam pola konsumsi sehari-hari. Pemerintah dapat mempromosikan kesadaran akan manfaat diversifikasi pangan di tingkat rumah tangga melalui kampanye "gizi seimbang dengan pangan lokal.”

Kampanye ini dapat bertujuan mendorong masyarakat untuk mengintegrasikan berbagai jenis makanan dalam pola makan sehari-hari. Beberapa di antaranya bisa dijalankan di tiap-tiap posyandu dalam menggalakan gizi seimbang untuk 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).

Usaha mengurangi ketergantungan pada nasi dengan mengelola pangan lokal dari hulu ke hilir secara serius dan promosi keberagaman pangan adalah langkah penting agar sistem pangan lebih berkelanjutan dan seimbang. Kita juga bisa meredam kekhawatiran terhadap naik-turun pertanian padi berikut dampak lingkungannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now