Menu Close
Ilustrasi kecerdasan buatan (AI) karya seniman Wes Cockx yang memvisualisasi prediksi bahasa AI. Pexels/Google Deepmind

Indonesia bisa panen raya dari AI dan memimpin di Asia Tenggara

Artikel ini adalah bagian dari serial #KenapaTakutAI?#

Indonesia sedang memiliki peluang besar untuk menjadi navigator pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) di Asia Tenggara.

Kesempatan ini dilatarbelakangi oleh keunggulan Indonesia dalam penerapan AI di sektor publik dan sektor bisnis, potensi pasar yang besar bagi investasi pengembangan AI dalam negeri, dan tingginya hasil riset terkait AI.

Teknologi berbasis AI sudah mulai diterapkan di sektor publik di Indonesia, khususnya dalam meningkatkan kecepatan dan kualitas pelayanan publik melalui pendekatan citizen-centric.

Sebagai contoh, inisiatif Jakarta Smart City (JSC) milik Pemerintah DKI Jakarta telah berhasil menjadi pelopor penggunaan teknologi berbasis AI dalam mewujudkan smart governance. Ini inisiatif dalam pelayanan publik terintegrasi hingga penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan berbasis data di Indonesia sejak 2014.

Sementara di sektor bisnis, Indonesia menjadi pasar potensial terbesar dalam penanaman modal untuk pengembangan AI di Asia Tenggara.

Menurut laporan terbaru dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), hingga kuartal ketiga (Q3) 2023, Indonesia mencatatkan rata-rata besaran nilai penerimaan pendanaan modal ventura (VC) untuk pengembangan AI terbesar di antara enam negara pengembang AI terdepan di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Indonesia berhasil meraup rata-rata besaran investasi sebesar US$23 juta (Rp 351,670 miliar). Angka ini jauh melebihi Filipina ($11 juta), Singapura ($10 juta), Thailand ($6,4 juta), Malaysia ($4 juta), dan Vietnam ($3,9 juta).

Dalam area riset, Indonesia juga menjadi yang terdepan.

Laporan terbaru OECD, secara akumulatif, ada 124.251 publikasi saintifik terkait AI yang telah dipublikasikan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia hingga 2022.

Pencapaian ini membuat posisi Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam publikasi riset di bidang AI, melampaui pencapaian negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Manfaat penggunaan AI dan tantangan

Potensi terbesar dari penggunaan AI adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi.

Dalam lingkup regional, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diprediksi akan mendapatkan keuntungan ekonomi hingga US$950 miliar (Rp14.525 triliun), atau 13%, dari total produk domestik bruto (PDB) kawasan pada 2030.

Dari sebelas negara anggota ASEAN, Indonesia diperkirakan akan mendapat dampak ekonomi paling tinggi, sekitar US$366 miliar (Rp5.596 triliun), diikuti Thailand ($117 miliar), Singapura ($110 miliar), Malaysia ($115 miliar), Vietnam ($109 miliar), dan Filipina ($92 miliar).

Keuntungan ekonomi dari pemanfaatan AI di kawasan didominasi oleh dua sektor utama, yaitu marketing and sales dan supply chain management, dengan persentase penambahan nilai (value added) masing-masing sebesar 50-60% dan 20-25%.

Namun, di samping manfaat tersebut, terdapat beberapa tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam tata kelola AI pada masa depan.

Menurut studi Asia Society Policy Institute (2022), setidaknya terdapat tiga isu krusial yang perlu mendapat perhatian, yaitu inklusivitas, ketahanan siber, dan disrupsi pasar tenaga kerja.

Inklusi berkaitan dengan perlunya mengedepankan pendekatan berbasis masyarakat (citizen-centric approach) dalam merumuskan berbagai kebijakan terkait pengembangan dan penggunaan teknologi berbasis AI ke depan.

Dengan AI yang sangat bergantung pada data publik dari penggunaan aplikasi, layanan, dan utilitas virtual, maka ketahanan siber harus menjadi prasyarat sebelum melakukan pengembangan lebih lanjut.

Meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), keberadaan regulasi spesifik tentang keamanan siber masih diperlukan. Ini untuk memperkuat keamanan infrastruktur jaringan informasi dan sumber daya di bidang keamanan siber.

Mengamankan perlindungan data pribadi berstandar tinggi dan mengantisipasi maraknya pengintaian digital (digital surveillance) harus menjadi prioritas negara. Ini sangat penting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan publik terhadap penggunaan teknologi berbasis AI.

Adopsi AI yang eksponensial dan meluas juga menimbulkan disrupsi pada pasar tenaga kerja. Menurut prediksi McKinsey (2019), Indonesia akan kehilangan 23 juta pekerjaan pada 2030. Namun, pada periode tahun yang sama akan muncul pula 27-46 juta jenis pekerjaan baru.

Oleh karena itu, kita perlu perencanaan strategi jangka panjang demi menghasilkan dan mempertahankan ketersediaan tenaga kerja berkapabilitas tinggi ke depan.

Sejauh ini, Indonesia sudah memulai langkah konkret dengan adanya 10 agenda prioritas di dalam visi “Making Indonesia 4.0” yang digagas oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu inisiatif yang berdampak positif adalah upaya penguatan kerja sama dengan sektor swasta dan universitas dalam menghasilkan talenta berkualitas yang mampu bekerja di industri teknologi tinggi, seperti the Artificial Intelligence and Cloud Computing Innovation Center dan Tokopedia AI Center of Excellence.

Peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023

Berkaca pada kesuksesan Presidensi G20 yang lalu, Indonesia yang sedang memegang Presidensi ASEAN 2023 harus melanjutkan pengaruhnya untuk menavigasi masa depan tata kelola AI di kawasan. Ini sebagai bagian dari penguatan lingkungan digital di kawasan, sehingga optimalisasi manfaat dan pencegahan potensi risiko dapat dilakukan.

Peranan tersebut dapat diawali dengan merangkul negara-negara lain yang terdepan dalam pengembangan AI di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kita perlu memastikan bahwa pemanfaatan AI dilakukan secara adil bagi masyarakat di kawasan dan potensi risiko dapat dikelola dengan baik.

Pertemuan para menteri digital se-ASEAN pada awal tahun ini memang sudah mengakui pentingnya pembuatan pedoman tata kelola dan etika penggunaan AI. Namun, substansi pedoman untuk mencegah potensi risiko dalam pemanfaatan teknologi ini masih belum terlihat secara spesifik.

Untuk itu, beberapa inisiatif konkret dan kolektif lebih lanjut sangat dibutuhkan.

Pertama dan terpenting, Asia Tenggara perlu menyepakati definisi bersama terkait AI beserta berbagai risiko pemanfaatannya.

Dalam hal ini, Indonesia bisa mengusulkan adopsi pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) yang diterapkan Uni Eropa dalam mendefinisikan risiko-risiko dalam pemanfaatan AI.

Kedua, Indonesia perlu mendorong pembentukan kerangka peraturan bersama di tingkat regional untuk mengatur tata kelola AI, yang juga melingkupi pengembangan dan pemanfaatannya.

Keberadaan basis hukum ini diperlukan untuk mengatur praktik penggunaan AI yang dianggap berpotensi berdampak negatif bagi pengguna. Praktik-praktik negatif tersebut dapat berupa diskriminasi, pengintaian digital, hingga kebocoran data pribadi.

Keberadaan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) sebagai pedoman pengembangan AI dan beberapa instrumen hukum terkait ekosistem digital, seperti (UU ITE) dan (UU PDP), bisa menjadi modal Indonesia dalam menginisiasi perumusan kerangka peraturan tata kelola AI di kawasan.

Ketiga, Indonesia perlu menginisiasi perumusan kemitraan komprehensif regional untuk pengembangan AI. Inisiatif ini sangat penting untuk memperkuat semangat kebersamaan antarnegara anggota ASEAN dalam memanfaatkan dan mengembangkan AI secara kolektif.

Beberapa kerja sama yang dilakukan dapat melingkupi pembinaan tenaga kerja berketerampilan tinggi, pembangunan infrastruktur digital, penguatan penelitian, hingga peningkatan investasi.

Begitu besar potensi manfaat dari penggunaan AI untuk kawasan pada masa depan dan Indonesia bisa panen raya nanti. Kepemimpinan Indonesia atas ASEAN tahun ini dapat digunakan untuk memastikan masa depan tata kelola AI di kawasan tidak hanya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara, tapi juga memastikan keadilan pengembangan antarnegara, dan keamanan terhadap hak-hak digital penggunanya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now