Menu Close
Subsidi mobil listrik
Stasiun pengisian kendaraan listrik di Kota Malang, Jawa Timur. (Ari Bowo Sucipto/Antara)

Indonesia butuh rencana jangka panjang–tak hanya subsidi–untuk transportasi berbasis listrik

Penjualan kendaraan listrik di Indonesia naik drastis ke sekitar 680% pada Mei 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, setelah pemerintah menerapkan subsidi motor dan mobil listrik.

Sejak Maret tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp7 triliun (sekitar US$456 juta) untuk subsidi pembelian atau konversi sepeda motor listrik tahun 2023 dan 2024, serta pengurangan pajak pembelian mobil listrik baru.

Meskipun penjualan yang melonjak itu tampak seperti kabar baik, saya meyakini program subsidi hanyalah solusi sementara untuk mendorong adopsi kendaraan listrik secara luas.

Dalam jangka panjang, saya–sebagai peneliti sistem energi dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di sektor energi–berpendapat bahwa Indonesia harus menetapkan rencana jangka panjang untuk melistriki sektor transportasinya dengan energi terbarukan yang jauh lebih tinggi.

Penelitian saya menyimpulkan bahwa Indonesia akan mendapat manfaat setidaknya dalam dua cara dari penetapan rencana elektrifikasi sektor transportasi jangka panjang. Pertama, negara dapat mengurangi subsidi energi secara signifikan dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil baik di sektor transportasi maupun listrik. Kedua, emisi CO2 dari kedua sektor tersebut akan jauh berkurang.

Butuh lebih banyak energi terbarukan

Sebuah penelitian yang menganalisis beberapa riset menunjukkan bahwa program subsidi adalah alat yang efektif untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik di negara tertentu, seperti Amerika Serikat dan Norwegia.

Riset tahun 2017 itu menyarankan satu pendekatan yang efektif adalah melalui hibah ataupun pembebasan pajak pertambahan nilai atau pajak pembelian di muka. Insentif ini dapat mendorong kepemilikan kendaraan baru dan mempromosikan pengadopsiannya di pasar.

Mobil listrik di booth Toyota Indonesia di Indonesia International Motor Show 2022, JiExpo Kemayoran Jakarta. (Toto Santiko Budi/Shutterstock)

Banyak pihak menganggap program subsidi mobil dan motor listrik adalah jalan mudah bagi pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Anggapan ini cukup logis mengingat kendaraan pribadi mengonsumsi lebih dari 70% dari total konsumsi bahan bakar minyak di sektor transportasi Indonesia.

Selain itu, kendaraan listrik umumnya 2-3 kali lebih hemat energi dibandingkan kendaraan konvensional. Kendaraan listrik memiliki mesin yang lebih efisien, melalui motor listrik yang mengubah persentase energi baterai lebih tinggi untuk menghasilkan tenaga lebih besar. Sebaliknya, kendaraan konvensional justru mengalami kehilangan energi akibat panas dan gesekan selama pembakaran.

Masalahnya, sektor ketenagalistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara yang jumlahnya mencapai 62% dari total pembangkitan listrik pada tahun 2022. Artinya kendaraan listrik di jalanan Indonesia masih dominan menggunakan bahan bakar fosil.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan subsidi kendaraan listrik sejalan dengan rencana transisi energi Indonesia yang lebih luas di sektor transportasi.

Ini termasuk rencana untuk melistriki semua sarana transportasi dan menggunakan bahan bakar alternatif, seperti hidrogen dan bahan bakar elektro.

Untuk mencapai rencana yang lebih luas di sektor transportasi, Indonesia perlu berbuat lebih banyak demi mendorong energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.

Apalagi, saat ini pemerintah masih berjuang untuk memenuhi target energi terbarukan sebesar 23% dari bauran energi nasional pada 2025.

Perdebatan soal subsidi

Hingga saat ini, program subsidi mobil ataupun motor listrik masih memicu perdebatan. Salah satu argumen utama yang menentang subsidi adalah anggaran Rp7 triliun dari kas negara yang pas-pasan.

Program subsidi pun akan selalu menambah anggaran pemerintah mana pun. Selain itu, subsidi hanya menyasar kelompok berpenghasilan tinggi karena merekalah yang mampu membeli kendaraan jenis ini.

Subsidi semacam itu juga dapat mengganggu pasar karena meningkatkan permintaan kendaraan listrik secara artifisial atau tidak berdasarkan dinamika permintaan-penawaran.

Penting untuk dicatat bahwa permintaan kendaraan listrik di Indonesia sudah tinggi bahkan sebelum subsidi disalurkan. Hal ini ditunjukkan dengan daftar tunggu pembelian mobil listrik yang panjang.

3 pilar rencana jangka panjang

Kita tidak boleh memandang subsidi sebagai satu-satunya solusi yang efektif dan berkelanjutan dalam jangka panjang untuk transisi energi di sektor transportasi.

Indonesia harus membuat rencana jangka panjang yang berdasarkan tiga pilar.

1) Hindari (avoid): Indonesia harus merumuskan transportasi umum yang lebih efisien dengan mendekatkan pemukiman, tempat kerja, dan rekreasi di setiap kota. Harapannya, kebutuhan perjalanan masyarakat dengan kendaraan pribadi berikut waktu tempuhnya dapat berkurang.

2) Penggantian (shift): Indonesia harus mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi yang lebih ramah lingkungan, dengan mempromosikan transportasi umum atau transportasi aktif seperti bersepeda dan berjalan kaki.

Beberapa studi di seluruh dunia, seperti di Polandia dan Cina, menunjukkan program bus listrik dapat sangat mengurangi emisi karbon dioksida di kota-kota besar. Selain itu, bus listrik juga lebih hemat biaya dibandingkan bus konvensional dalam jangka menengah dan panjang.

3) Perbaikan (improve): Indonesia harus menyempurnakan transportasi umum agar lebih ramah lingkungan dan menarik. Elektrifikasi transportasi menjadi kunci dalam pilar ini.

Penggunaan listrik berbasis energi terbarukan untuk menggerakkan sektor transportasi akan berperan penting dalam sistem energi Indonesia yang bebas emisi gas rumah kaca. Tujuan ini juga untuk kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia dan lingkungan.

Program subsidi untuk kendaraan listrik seharusnya hanya langkah kecil pertama dalam rencana jangka panjang melistriki transportasi Indonesia-–yang didorong oleh energi terbarukan, bukan listrik berbahan bakar batu bara.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now