Menu Close
Etnis Tionghoa sedang beribadah di sebuah kuil di Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Ismar Patrizki/Koz/hp/09.

Indonesia butuh semakin banyak orang bisa bahasa Mandarin, tapi banyak kendala menghambat

Dengan semakin besarnya pengaruh Cina di dunia global, banyak orang di seluruh dunia semakin menyadari pentingnya memahami Cina dengan lebih baik.

Di negara-negara tempat Cina berinvestasi seperti Korea Selatan dan Afrika, minat belajar bahasa Mandarin sedang meningkat pesat. Mereka percaya dengan menguasai bahasa Mandarin (bahasa nasional Cina) akan membantu mereka memahami norma, budaya, dan kebijakan Cina, yang akan membantu mereka berinteraksi dengan Cina.

Namun, hal ini tidak terjadi di Indonesia, tempat pengaruh Cina telah tumbuh secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir.

Kegagalan dalam memahami bahasa Mandarin akan menghalangi Indonesia untuk mengambil manfaat penuh dari hubungan ekonominya dengan Cina, yang merupakan mitra dagang dan investor terbesar bagi Indonesia.

Permasalahan bahasa Mandarin di Indonesia

Indonesia merupakan rumah bagi 7 juta etnis Tionghoa atau 3,3% dari total populasi.

Meski ada beberapa kemajuan dalam mempromosikan bahasa Mandarin di Indonesia, namun Indonesia belum mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar bahasa Mandarin, sebagian besar karena alasan politik.

Hal ini dimulai dari rezim otoriter Orde Baru Indonesia di bawah Presiden Suharto, yang memutuskan untuk membekukan hubungan dengan Cina pada 1967, dalam upaya untuk menahan penyebaran komunisme.

Suharto mengeluarkan berbagaikebijakan dengan menutup sekolah-sekolah berbahasa Mandarin dan surat kabar berbahasa Mandarin. Dia juga mengeluarkan peraturan untuk memaksa naturalisasi keturunan Tionghoa, yang menyebabkan stigmatisasi selama beberapa dekade. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan bahasa Mandarin di antara etnis Tionghoa di Indonesia karena mereka percaya di Indonesia mempelajari bahasa Mandarin sudah tidak berguna lagi.

Pada 1999, Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid telah mengambil kebijakan untuk menghapuskan kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.

Namun, setelah kebijakan ini muncul dorongan untuk kembali belajar bahasa Cina meningkat.

Sekolah privat telah membuka mata pelajaran khusus bahasa Cina. Beberapa sekolah juga membuat kurikulum dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, Inggris, dan Cina. Mereka menyebutnya sekolah tiga bahasa, selain itu beberapa kampus juga menawarkan mata kuliah bahasa Cina.

Siswa di Papua belajar tarian tradisional Cina. FOTO ANTARA/Anang Budiono/ss/ama/12

Lembaga pendidikan menjadi aktor penting dalam penyebaran dan pertumbuhan bahasa Cina di Indonesia.

Namun, sistem pendidikan bahasa Cina di Indonesia belum memenuhi standar internasional lembaga resmi Cina dalam menyelenggarakan kompetensi bahasa Cina, yang disebut Hanyu Shuiping Kaoshi (HSK). Hal ini belum diimplementasi secara menyeluruh di Indonesia.

Willy Berlian, Ketua Federasi Pendidikan Bahasa Cina Indonesia mengatakan, meski sistem sekolah formal telah menambahkan pendidikan bahasa Mandarin dan memasukkan bahasa Cina ke dalam pengajaran bahasa asing, masih tetap sulit mengintegrasikan pendidikan bahasa Cina ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Hal ini karena tidak ada aturan standar yang diterapkan oleh lembaga-lembaga bahasa Cina di Indonesia.

Selain itu, kurangnya tenaga pengajar juga menghambat pengajaran bahasa Cina di sekolah-sekolah umum Indonesia.

Upaya pemerintah yang kurang dalam mempromosikan bahasa Mandarin

Hingga tahun 2005, belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program pendidikan guru bahasa Cina.

Peraturan pemerintah mengharuskan sebuah universitas memiliki minimal enam dosen dengan kualifikasi master dalam pendidikan bahasa Cina.

Selama perguruan tinggi tidak menyediakan program studi pendidikan bahasa Cina, sulit bagi Indonesia untuk menghasilkan guru bahasa Cina.

Komunitas Tionghoa di Indonesia telah mendukung Kementerian Pendidikan untuk berupaya meningkatkan jumlah kursus bahasa Cina melalui lembaga pendidikan formal di berbagai provinsi.

Jumlah kursus bahasa Cina berkembang pesat di empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya di Jawa Timur, Bandung di Jawa Barat, dan Medan di Sumatera Utara pada 2000, menyebar ke 20 provinsi di Indonesia pada 2019.

Pemerintah Indonesia juga telah berusaha mengirimkan staf pengajar ke Cina untuk mengikuti pelatihan pengajaran bahasa Cina dan mengundang instruktur bahasa Cina ke Indonesia.

Namun, ini tidak terlalu berhasil karena sekolah harus membayar biaya visa untuk mempekerjakan guru baru, dan banyak sekolah tidak mampu membayar biaya tersebut.

Rektor Universitas Nanchang (NCH), Zhou Wenbin, memberikan sambutan saat pembukaan Pusat Bahasa Mandarin di Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang/ed/pd/11

Perkembangan mulai tampak secara bertahap ketika sebuah inisiatif yang dibentuk di bawah kerja sama antara lembaga pendidikan Cina dan Indonesia yang disebut Confucius Institutes (CI), pertama kali didirikan pada 2011.

Institusi ini juga memberikan kursus bahasa Cina, melatih guru atau calon guru, dan melaksanakan tes HSK.

Selain itu CI juga menawarkan beasiswa bagi orang Indonesia untuk belajar bahasa di Cina, sehingga ketika mereka kembali ke Indonesia mereka dapat menjadi tenaga pengajar bahasa Cina.

Namun, banyak dari mereka yang kembali lebih memilih bekerja di perusahaan Cina, yang membayar mereka dua kali lipat daripada menjadi guru.

Meski kontrak beasiswa menetapkan bahwa mereka harus mengajar bahasa Cina saat mereka kembali, banyak yang tidak memenuhi kontrak dan memilih untuk bergabung dengan perusahaan Cina.

Hal penting untuk disadari

Sangat penting untuk menyadari pentingnya mengatasi hambatan budaya dan bahasa dalam hubungan Indonesia-Cina.

Dengan memahami bahasanya, masyarakat Indonesia akan lebih mengenal norma dan adat istiadat masyarakat Cina, cara berbisnis, serta kepentingan nasional dan institusional mereka.

Hal ini dapat membantu pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan yang lebih tepat terkait Cina, yang pada akhirnya mengarah pada hubungan yang lebih bermanfaat antara kedua negara.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now