Menu Close
Aksi solidaritas untuk kemerdekaan Palestina di Bengkulu. Muhammad Izfaldi/Antara Foto

Indonesia konsisten mendukung Palestina, namun tidak sepenuhnya menolak hubungan dengan Israel

Eskalasi kekerasan kembali terjadi antara Palestina dan Israel, setelah Hamas–kelompok paramiliter Palestina–mengumumkan Operasi Badai Al-Aqsa untuk merebut kembali otoritas di Gaza. Ini membuat tentara Israel semakin agresif dengan melancarkan serangan balasan, berujung pada deklarasi perang Operasi Pedang Besi.

Hingga hari ini, total korban tewas baik dari sisi Israel dan Palestina mencapai 3.000 jiwa.

Dalam berbagai forum, Indonesia selalu tegas mengambil posisi membela Palestina dan kedaulatannya. Presiden Joko “Jokowi” Widodo kerap mendesak agar perang ini segera dihentikan.

Indonesia selalu menganggap bahwa akar konflik antara kedua negara tersebut merupakan dampak dari aneksasi atau pendudukan wilayah Palestina oleh Israel.

Dukungan Indonesia terhadap Palestina ditunjukkan dengan tidak hanya menutup hubungan bilateral secara formal dengan Israel, tetapi juga melalui keputusan-keputusan teknis lainnya, seperti menolak kedatangan tim sepakbola nasional Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 2023–meski imbasnya Indonesia batal menjadi tuan rumah ajang internasional tersebut.

Indonesia tentunya memiliki kepentingan dalam pembebasan Palestina, misalnya solidaritas sebagai negara bekas jajahan. Namun, ada paradoks dalam hubungan Indonesia dengan Israel. Indonesia pun “diam-diam” tetap menjalin hubungan dengan Israel, kerja sama yang cukup menguntungkan bagi kedua negara. Lalu, apakah Indonesia harus terus-terusan “menutup diri” dari Israel?

Solidaritas Indonesia untuk Palestina

Secara politik, sejak 1947, Indonesia mendukung dan mengakui kemerdekaan negara Palestina yang ditunjukkan melalui beberapa hal, mulai dari mendirikan Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Amman, Yordania, yang merangkap Palestina, dan sebaliknya, mendirikan Kedubes Palestina di Jakarta.

Melalui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia juga berperan aktif dalam upaya diplomasi internasional untuk mencapai solusi dua negara (two-state solution) dalam konflik Israel-Palestina. Solusi dua negara ini disebut akan memungkinkan masyarakat Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan dan saling menghormati hak asasi manusia (HAM) yang diatur melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Beberapa cara yang dilakukan Indonesia untuk mendukung proses perdamaian di antaranya menyediakan personel dan pasukan untuk misi perdamaian PBB di Timur Tengah, termasuk United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), yang bertujuan untuk memelihara perdamaian di Lebanon selatan. Meskipun tidak langsung terkait dengan konflik Israel-Palestina, partisipasi Indonesia dalam misi perdamaian ini merupakan kontribusi positif terhadap stabilitas regional.

Indonesia juga memberikan berbagai bentuk bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina yang terkena dampak konflik, di antaranya bantuan medis, bantuan pangan, dan bantuan keuangan untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur vital di Palestina seperti rumah sakit.

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dukungan Indonesia terhadap Palestina merupakan bentuk solidaritas Indonesia terhadap sesama negara-negara Muslim. Palestina juga menjadi salah satu tempat bersejarah yang sangat dicintai oleh umat muslim, khususnya Masjid Al-Aqsha. Ikatan historis-relijius inilah yang telah memperkuat ikatan antara bangsa Indonesia dan Palestina.

Namun demikian, solidaritas ini semakin dilematis, melihat semakin banyaknya negara Timur Tengah yang mulai menetralisasi hubungan atau membuka diri untuk mulai menjalin hubungan bilateral dengan Israel, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir. Bahkan Putra Mahkota Arab Saudi dilaporkan memiliki sejumlah penasihat yang memiliki sikap simpatik terhadap Israel dan permusuhan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap Islam militan seperti Hamas.

Hubungan ‘diam-diam’ Indonesia-Israel

Meskipun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel telah bersitegang selama puluhan tahun, pada dasarnya Indonesia tidak bisa menolak Israel sepenuhnya.

Saat ini, walaupun tidak menjalin hubungan bilateral formal, Indonesia dan Israel memiliki kolaborasi terbatas di berbagai bidang, termasuk perdagangan, pariwisata dan pendidikan.

Sebuah studi tentang epidemiologi Newcastle Disease, penyakit yang menyerang unggas, menggabungkan kolaborasi data antara Institut Kedokteran Hewan Kimron di Israel dan Departemen Penyakit Menular dan Kesehatan Masyarakat Veteriner di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Indonesia. Kolaborasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang penyakit ini dan mengembangkan langkah-langkah pengendalian yang efektif.

Dalam konteks informasi kesehatan digital dan layanan jarak jauh selama pandemi COVID-19, teradapa sebuah aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) bernama K Health. Belum ada informasi detail siapa saja yang bermitra dalam pengembangan aplikasi ini, tetapi yang jelas K Health hanya dapat diunduh di Amerika Serikat (AS), Meksiko, Indonesia, dan Israel.

Aplikasi ini dibangun menggunakan pendekatan berbasis data yang bekerja sama dengan Maccabi Health Services (MHS) Israel. Data dari catatan kesehatan MHS digunakan untuk mengembangkan pemeriksa gejala COVID-19 berbasis AI, meningkatkan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan yang dapat diandalkan semua pihak selama pandemi.

Di sektor pariwisata, tercatata lebih dari 30.000 turis Indonesia yang berwisata spiritual ke Israel setiap tahunnya, bahkan menjadi pembelanja terbesar (dalam hal nominal yang dibelanjakan) selama berada di Israel. Sebaliknya, sekitar 500 warga Israel melakukan perjalanan ke Indonesia setiap tahunnya termasuk wisatawan dan pengusaha.

Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan RI, total nilai ekspor Indonesia ke Israel pada 2022 mencapai US$185,6 juta (sekitar Rp2,9 triliun), meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, total nilai impor dari Israel juga meningkat sekitar 80% menjadi US$47,8 juta (Rp750 miliar).

Indonesia mengimpor banyak peralatan mekanink dan mesin, serta senjata dari Israel, sementara ekspor utama Indonesia ke Israel adalah minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang mencapai 22.000 ton pada bulan Januari 2022.

Di sektor pendidikan, Indonesia juga tetap berhubungan dengan Israel. International University of Papua (IUP) di Jayapura, misalnya, menjalin kerja sama dengan Universitas Ariel, yang berlokasi di Tepi Barat, milik pemerintah Israel. Jangan lupa bahwa hingga saat ini pun, puluhan mahasiswa asal Indonesia tengah menempuh pendidikan di Israel di berbagai jenjang.

Contoh-contoh tersebut membuktikan bahwa meski tidak memiliki status hubungan diplomatik, nyatanya kita banyak berhubungan dengan Israel.

Rasa balas budi

Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Palestina telah berkontribusi pada ikatan yang erat antara kedua negara. Hubungan historis ini telah menumbuhkan rasa persahabatan dan persaudaraan antara keduanya. Terlebih lagi, perjuangan Palestina terkait erat dengan identitas dan keyakinan muslim masyarakat Indonesia.

Alasan Indonesia secara historis enggan menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel juga dipengaruhi oleh sentimen publik dan rasa terima kasih kepada negara-negara Arab atas dukungan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia.

Dukungan publik Indonesia terhadap terhadap perjuangan Palestina yang diregenerasi secara ideologi ini, menyebabkan penolakan terhadap Israel di antara masyarakat Indonesia, sehingga secara politis menjadi sensitif bagi pemerintah Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik atau memperdalam hubungan ekonomi dengan Israel.

Agar bisa menciptakan cara yang lebih progresif dalam mendukung pembebasan Palestina, diskursus mengenai relasi Indonesia dan Israel-Palestina harusnya lebih dari sekadar motif balas budi dan kesamaan agama.

Haruskah Indonesia terbuka terhadap Israel?

Diskursus mengenai antipejajahan tidak lagi relevan, mengingat Indonesia sudah lama menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan bekas negara penjajah seperti Inggris, Jepang, dan Belanda. Bahkan, Indonesia juga menjaga hubungan diplomatik dengan negara yang sedang menghadapi skandal pelanggaran HAM berat dan agresi wilayah seperti Rusia dan Cina.

Membuka diri terhadap Israel dapat memperbesar keuntungan yang telah dirasakan Indonesia, misalnya dalam bidang ekonomi dan teknologi. Bahkan, bisa menjadi penengah konflik antara Palestina dan Israel tanpa menghilangkan sikap kritis terhadap dampak yang telah terjadi melalui pendekatan resolusi konflik.

Yang jadi tantangan adalah perubahan lanskap kebijakan luar negeri seperti ini akan sulit diambil oleh pemerintah karena akan mendapat resistensi dari kalangan konservatif. Pemerintah pun berisiko kehilangan dukungan politik dari mayoritas masyarakat Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now