Menu Close

Indonesia makin bergantung pada Cina dan itu berbahaya: apa yang bisa dilakukan

Presiden Joko “Jokowi” Widodo (kiri) berjalan bersama Perdana Menteri Cina Li Keqiang usai menanam pohon di halaman belakang Istana Bogor, Jawa Barat, pada 2018. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww/18.

Indonesia semakin bergantung terhadap Cina dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut dapat membawa akibat ekonomi dan politik yang negatif bagi negara ini.

Selama beberapa tahun terakhir, utang Indonesia kepada Cina naik cukup signifikan. Selain itu, Indonesia mulai meningkatkan penggunaan mata uang Cina, Yuan, dalam transaksi luar negerinya.

Kedua hal tersebut menghadirkan risiko yang perlu diantisipasi Indonesia agar tidak mengalami kasus seperti Sri Lanka yang harus kehilangan mayoritas sahamnya di sebuah proyek pelabuhan karena gagal membayar utang kepada Cina.

Upaya membatasi ketergantungan terhadap Cina penting juga untuk menjaga posisi tawar Indonesia dalam mengamankan wilayah di sekitar perairan Laut Natuna yang selalu diklaim sebagai milik Cina.

Perkembangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Cina

Selama masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Cina telah menjadi salah satu investor terbesar Indonesia. Ini terlihat dari gencarnya pendanaan proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang digalakkan oleh Cina di Indonesia sebagai bagian dari program Belt and Road Initiatives (BRI).

Pada peringatan 70 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Cina yang jatuh pada tahun ini, kedua negara telah sepakat untuk saling memperluas ikatan yang terjalin tidak hanya di bidang investasi dan perdagangan, tapi juga di bidang budaya. Bahkan, kerja sama Cina dan Indonesia juga merambah ke sektor kesehatan.

Cina telah berjanji untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam memerangi COVID-19, termasuk mendukung rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi vaksin buatan Cina.

Peran Cina yang semakin kuat dalam perekonomian Indonesia membuat beberapa pengamat percaya bahwa Indonesia semakin bergantung pada Negeri Tirai Bambu tersebut.

Implikasi ekonomi

Perlu digarisbawahi bahwa nilai utang Indonesia kepada Cina telah mencapai besaran yang cukup mengkhawatirkan, yaitu US$ 17,75 miliar pada 2019, atau meningkat 11% dibandingkan pada 2017.

Jumlah utang tersebut diperkirakan akan semakin menggelembung seiring dengan masuknya proyek-proyek BRI yang sudah ditandatangani. Hal ini membuat banyak ahli khawatir karena akan meningkatkan risiko Indonesia gagal bayar, seperti yang terjadi pada Sri Lanka.

Sri Lanka membangun pelabuhan Hambantota senilai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18 triliun dengan pinjaman dari China Harbour Engineering Company dan Sinohydro Corporation. Pelabuhan tersebut akhirnya dibuka pada 2010, tapi pemerintah Sri Lanka mengalami kesulitan dalam melunasi utang karena proyek itu mengalami kerugian besar. Ditambah dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur lain yang didanai oleh Cina, Sri Lanka kini terjebak dalam utang dengan besaran yang fantastis, yakni US$ 8 miliar.

Karena utang yang demikian besar itu, pemerintah Sri Lanka terpaksa menyerahkan sebagian besar saham pelabuhan tersebut kepada Cina. Pada akhirnya, Cina akhirnya sekarang memegang 70% saham di pelabuhan Hambantota.

Pengalaman Sri Lanka ini memunculkan spekulasi bahwa Cina sengaja merencanakan “diplomasi perangkap utang” melalui pembebanan kredit yang berlebihan dengan dugaan berniat untuk mengeksploitasi ekonomi dari negara pengutang.

Persyaratan pinjaman dari Cina untuk proyek BRI juga menjadi pertanyaan bagi para ahli ekonomi. Pasalnya, pencairan pinjaman untuk setiap proyek BRI mewajibkan negara mitra untuk membeli 70% bahan baku dari Cina dan mempekerjakan para pekerja Cina. Kebijakan yang lebih memihak pada investor Cina ini tentunya akan semakin memberatkan pelaku industri lokal.

Selain itu, perjanjian antara kedua negara yang mendorong penggunaan mata uang Cina dan Indonesia dalam transaksi luar negeri Cina dan Indonesia juga akan mendatangkan risiko besar bagi Indonesia.

Salah satu alasan mengapa kesepakatan tersebut dapat berakibat negatif pada kestabilan ekonomi Indonesia adalah karena Cina sering mendevaluasi mata uangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan devaluasi dilakukan oleh Cina dengan tujuan melindungi ekonominya. Pada 2019, misalnya, Cina mendevaluasi Yuan untuk membuat barang-barang produksi Cina lebih murah akibat dampak negarif dari perang dagang dengan Amerika Serikat.

Ketika Yuan didevaluasi, produk Cina akan menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional. Jika Indonesia mulai intensif menggunakan Yuan sebagai konsekuensi atas perjanjian di atas, barang impor dari Cina bisa membanjiri pasar lokal karena harganya yang murah dan ini dapat menghantam pasar domestik.

Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia juga sudah memperingatkan dampak negatif terhadap semakin bergantungnya Indonesia terhadap Cina. Dia mengatakan bahwa penurunan 1% dalam pertumbuhan ekonomi Cina akan turut membawa penurunan sebesar 0,3% bagi Indonesia.

Implikasi Politik

Terlepas dari implikasi ekonomi, ketergantungan Indonesia yang semakin meningkat pada Cina juga akan mengakibatkan dampak politik yang serius pula. Sebagai contoh, kondisi tersebut dapat menyebabkan Indonesia kesulitan untuk memberikan perlawanan yang tegas atas Cina yang semakin agresif di Laut China Selatan.

Dilaporkan bahwa kapal-kapal penangkap ikan dari Cina sering masuk tanpa izin ke wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan.

Namun, ketergantungan Indonesia pada Cina dapat menghalangi pemerintah untuk bertindak tegas karena pemerintah enggan kehilangan mitra dagang dan salah satu sumber investasi terbesar negeri ini.

Pada sisi lain, hubungan Cina dan Indonesia yang semakin intensif ini juga telah meningkatkan sentimen anti-Cina di Indonesia. Isu ini sesungguhnya telah mengakar kuat di negara ini sejak abad ke-19.

Secara historis, diskriminasi sosial yang dialami oleh penduduk Indonesia keturunan Cina bersumber dari rasa kecemburuan masyarakat “pribumi” atas kesuksesan dan kekayaan bisnis golongan masyarakat yang dianggap sebagai pendatang.

Sampai akhirnya kemudian pemerintahan Orde Baru pada akhir 1960-an memanfaatkan isu ini secara politis dengan tujuan untuk sepenuhnya menghapuskan pengaruh komunis di Indonesia. Namun demikian, konflik ini belum selesai.

Meningkatnya pengaruh Cina ke Indonesia dikhawatirkan akan semakin menyulut sentimen anti-Cina.

Penduduk lokal memiliki ketakutan bahwa pekerja Cina yang datang akibat dari perjanjian di atas akan mengambil pekerjaan mereka. Kekhawatiran tersebut memicu berbagai protes di seluruh Indonesia, terutama di daerah yang menjadi lokasi proyek-proyek yang didanai Cina.

Sentimen anti-Cina ini tidak bisa dianggap sebelah mata saja. Pasalnya, salah satu kelompok teroris ISIS di Indonesia terus meluncurkan kampanye anti-Cina di media sosial mereka selama pandemi.

Pada saat yang sama, ketergantungan Indonesia pada Cina dapat menjadi bumerang karena berpotensi melukai prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang selalu menekankan netralitas dalam menerapkan kebijakan luar negerinya. Hal ini juga berpotensi menodai reputasi bangsa Indonesia dalam politik global karena tidak melaksanakan prinsip yang dianutnya.

Apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Indonesia harus mengurangi ketergantungannya pada Cina. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi kerja sama internasional.

Negara-negara Teluk yang kaya akan sumber minyak dunia bisa menjadi alternatif pilihan yang baik, terutama karena mereka juga telah lama mengincar untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Indonesia sebagai pengejawantahan kebijakan mereka yang diberi nama “Look-East Policy”.

Pada saat yang sama, pemerintah pun perlu memastikan bahwa keikutsertaan Indonesia pada proyek BRI Cina tidak mengalami kerugian seperti yang terjadi pada Sri Lanka.

Salah satu strategi untuk menghindari kemungkinan jebakan utang adalah dengan menegosiasi ulang dengan Cina mengenai syarat dan ketentuan proyek-proyek pembangunan infrastruktur tersebut.

Pemerintah Indonesia harus belajar dari Malaysia mengenai hal ini. Setelah dihadapkan pada pilihan untuk menegoisasi ulang atau membayar biaya penghentian proyek sekitar US$ 5,3 miliar, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, memutuskan untuk bernegoisasi dengan Beijing.

Pada akhirnya, Malaysia sukses membuat perjanjian ulang dengan total nilai biaya proyek yang dikurangi. Walau Malaysia masih perlu mengambil pinjaman dari bank Cina untuk mendanai proyek tersebut, tapi jumlahnya berkurang dari kesepakatan awal.

Pemerintah harus menyadari bahwa Cina sesungguhnya lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. Hal ini karena Indonesia memegang posisi kunci yang sangat strategis dalam implementasi BRI. Proyek ambisius milik Cina tersebut harus melewati wilayah maritim Indonesia dan Cina tidak dapat merampungkan proyek tersebut tanpa melibatkan Indonesia.

Artikel ini ditulis bersama dengan Yeta Purnama, mahasiswi Universitas Islam Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,400 academics and researchers from 4,911 institutions.

Register now