Menu Close
Kerawanan pangan

Indonesia perlu perkuat digitalisasi pertanian demi mengatasi kerawanan pangan

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meramalkan adanya ancaman kerawanan pangan dunia apabila target produksi pangan tidak dinaikkan dua kali lipat pada 2030. Alih-alih memenuhi target nol kelaparan sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030, hampir 600 juta orang justru berisiko mengalami kekurangan gizi kronis.

Untuk mengatasi persoalan ini, FAO merekomendasikan transformasi digitalisasi pertanian untuk meningkatkan produktivitas dalam rantai pasokan pertanian.

Di Indonesia, sektor pertanian berperan penting menjamin ketahanan pangan. Sektor pertanian menyediakan 30% lapangan pekerjaan dan menyumbang 13% pendapatan domestik bruto (PDB). Petani adalah penghasil sumber aneka pangan yang bernutrisi di Indonesia.

Namun, produktivitas petani Indonesia stagnan. Sepanjang 2021-2023, misalnya, produksi padi berada di kisaran 53-54 juta ton.

Produksi yang begitu-begitu saja diduga terjadi karena rendahnya adopsi digitalisasi pertanian. Hasil sensus pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan adopsi digital petani di seluruh kelompok usia masih berada di kisaran 47%.

Keterbatasan tersebut membuat petani masih menggunakan cara manual dan konvensional untuk mengatasi perubahan iklim dan serangan hama.

Kesenjangan digitalisasi pertanian Indonesia

Digitalisasi di sektor pertanian merupakan instrumen penting dalam meningkatkan produksi pangan. Teknologi kecerdasan artifisial terbaru telah membantu memprediksi perubahan iklim dan serangan hama di Asia Tenggara. Bahkan, pasar daring menjadi penghubung yang efisien dan cepat untuk mempertemukan petani dengan konsumen produk pangan di perkotaan.

Kesenjangan digitalisasi antarkawasan agraris menjadi faktor penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi adalah sentra produksi coklat, kelapa, sagu, dan komoditas pangan penting yang lainnya. Namun, kesiapan adopsi teknologi di sana jauh lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Jawa.

Sebuah studi dari Kyoto University tahun 2018 menemukan bahwa kesenjangan digital di daerah agraris pertanian di Indonesia disebabkan oleh dua faktor, yaitu rendahnya investasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan sulitnya petani berusia 50 tahun ke atas untuk menggunakan teknologi digital.

Studi tersebut menyebut bagaimana adopsi teknologi untuk utilisasi ekonomis di daerah pedesaan memerlukan kesiapan infrastruktur keras (hardware) dan infrastruktur sumber daya manusia. Permasalahan klasik di daerah pertanian adalah tidak meratanya listrik untuk operasionalisasi teknologi digital dan mobilitas transportasi yang terbatas.

Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), misalnya, menunjukkan bahwa meski rasio elektrifikasi di Indonesia telah mencapai 99,63% dan rasio desa berlistrik mencapai 99,79% pada akhir 2022, hal ini belum menjamin kualitas listrik yang mumpuni. Sebab, tak hanya waktu pengaliran listrik di sebagian daerah masih terbatas, rasio elektrifikasi masih diukur dengan jumlah rumah berlistrik, bukan pada perannya menunjang kegiatan ekonomi seperti pertanian.

Dengan hambatan tersebut, perusahaan telekomunikasi lebih tertarik mengembangkan investasi digitalisasi di kota-kota besar karena alasan efisiensi transportasi dan operasional pendukung untuk adopsi teknologi digital tersebut.

Faktor kedua adalah rentang usia petani. Dalam realitas rumah tangga pedesaan, perawatan lahan pertanian kebanyakan dilakukan oleh petani berumur di atas 45 tahun, jumlahnya sekitar 66% dari total populasi petani. Padahal, studi dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa literasi digital, utilitas teknologi hingga akses jasa konsultasi ITK di Indonesia cukup rendah bagi petani di kelompok usia tersebut.

Kesenjangan digital ini turut memengaruhi ketahanan pangan petani dan juga konsumen setempat. Di Indonesia timur, makanan endemik mereka adalah sagu, bukan beras. Tekanan terbatasnya lahan pertanian mereka untuk konsesi tambang, kawasan industri, dan industri sumber daya alam berskala besar berpotensi untuk mengubah mereka dari surplus menjadi defisit konsumsi pangan bernutrisi tinggi.

Ketika menghadapi defisit komoditas pertanian, masyarakat di perkotaan difasilitasi oleh berbagai platform daring untuk membeli bahan pangan bernutrisi impor. Namun, petani di daerah Indonesia timur tersebut hanya tergantung pada sedikit pemasok during dengan harga eksklusif yang diatur oleh pedagang besar tersebut.

Di sisi lain, ketika musim tidak memadai untuk bercocok tanam, mereka juga punya keterbatasan pendidikan dan kemampuan untuk mendapatkan mata pencaharian di luar sektor pertanian. Dengan harga jual komoditas pertanian yang fluktuatif dan tidak pasti, anak-anak muda di sana kurang tertarik meningkatkan produksi dan bisnis pertaniannya sehingga semakin meningkatkan kerentanan kerawanan pangan.

Solusi peningkatan digitalisasi pertanian

Studi empiris merekomendasikan peningkatan kerjasama investasi pemerintah dan swasta, akses TIK dengan biaya yang terjangkau, dan peningkatan kemampuan petani menggunakan TIK untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Pertama, ketika membicarakan investasi TIK, hal yang perlu dipersiapkan adalah regulasi yang akomodatif dan juga sumber energi. Investasi infrastruktur data dan kapabilitas petani di pedesaan memerlukan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta.

Kerja sama dapat berjalan baik apabila didukung kepastian birokrasi dan pungutan retribusi serta pajak daerah yang rendah. Selain itu, tanpa ketersediaan listrik, investasi TIK akan sangat sulit dipercepat di daerah agraris di Indonesia.

Kedua, petani di Indonesia memerlukan akses TIK dengan biaya terjangkau untuk menerapkan digitalisasi pertanian. Beberapa aplikasi digital pertanian, seperti aplikasi pemantauan harga komoditas pertanian dan platform daring penjualan hasil tani, banyak tersedia di platform berbasis seluler. Namun, sebagian petani yang paling miskin mungkin tidak mempunyai daya beli untuk mengisi paket data di telepon selulernya. Bantuan data bagi petani termiskin tersebut mungkin bisa menjadi alternatif solusi untuk isu ini.

Selain itu perluasan akses pelatihan dan pengetahuan digitalisasi pertanian memerlukan kerja sama banyak pihak. Sebagai contoh, sebagian perusahaan rintisan, seperti PakTaniDigital membutuhkan petani sebagai pemasok komoditas perdagangan mereka. Pemberian pelatihan oleh mereka di daerah pertanian dapat meningkatkan kepastian rantai pasok komoditas perdagangan mereka. Terakhir, pemerintah juga dapat meningkatkan kemampuan penyuluh pertanian untuk memberikan pelatihan digital kepada petani di seluruh Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now