Menu Close
ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nym
Harga telur ayam terus mengalami kenaikan sepanjang tahun ini. Selain karena permintaan yang tinggi jelang hari besar, kenaikan harga pakan akibat melonjaknya harga di tingkat global juga jadi kendala. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nym

Inflasi: bagaimana spekulasi keuangan memperburuk krisis harga pangan global

Kenaikan harga pangan tengah melanda dunia, dan bahkan menyebabkan krisis biaya hidup di beberapa negara. Di Inggris, misalnya, separuh rumah tangga hanya memiliki sisa uang £2.66 tiap minggunya (Rp 51.000) setelah habis untuk membayar kebutuhan esensial. Ini didorong kenaikan harga makanan pokok – seperti gandum – yang naik hingga 30% sejak awal 2021 dan mendongkrak harga pangan lainnya.

Indonesia juga terkena badai kenaikan harga ini. Inflasi pangan sempat menyentuh angka 11,47% pada Juli, di tengah tak terkendalinya berbagai harga komoditas makanan mulai dari minyak goreng, beras, hingga telur ayam.

Di tataran global, beberapa faktor menjadi pendorong melambungnya harga: perang Rusia-Ukraina (eksportir besar gandum), pengaruh cuaca ekstrem terhadap panen, penyempitan rantai pasok era pandemi akibat kebijakan kuncitara (lockdown), kurangnya tenaga kerja, serta berkurangnya kapasitas dari produsen.

Akan tetapi, faktor-faktor ini tak seluruhnya menjelaskan pergerakan harga yang terjadi belakangan ini. Sebab, Cina dan AS mencatatkan panen melimpah masing-masing pada 2021 dan 2022, dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksi “pasokan berkecukupan” untuk produk bulir pada periode 2022-23.

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah melambungnya harga pangan hanya disebabkan oleh kurangnya suplai?

Ketika dunia mengalami krisis pangan besar pada 2008, spekulasi keuangan dengan derivatif berbasis pangan dianggap sebagai faktor yang berperan. Derivatif merujuk pada kontrak pembelian aset atau komoditas di antar dua pihak atau lebih.

Riset saya tentang krisis pangan juga mengindikasikan bahwa saat ini dunia tampaknya lagi-lagi mengalami krisis harga pangan, dan bukan krisis pasokan.

Peran para trader

Saat melonjaknya harga mengancam keamanan pangan global, perusahaan perdagangan makanan besar justru menumpuk untung. Perusahaan-perusahaan ini bertaruh soal arah harga pangan dengan menyetok atau memperdagangkan komoditas dalam jumlah signifikan. Hasilnya, mereka mendapatkan keuntungan besar.

Namun, perdagangan bukan hanya terkait komoditas fisik. Produsen dan konsumen – juga bank, broker, dan investor – memperdagangkan komoditas pangan di pasar keuangan. Aktivitas ini terjadi di bursa komoditas di seluruh dunia, terkadang disebut sebagai “perdagangan kertas” karena melibatkan “kontrak berjangka.” Kontrak ini merujuk pada kesepakatan pembelian komoditas pada masa depan dengan harga yang ditetapkan saat ini – alih-alih hasil panen betulan.

Para trader – mereka yang memperdagangkan instrumen keuangan – dapat membeli (disebut “long position”) atau menjual (“short) dalam bursa. Kebanyakan kontrak berakhir sebelum tanggal pengiriman. Sehingga, trader tidak perlu memiliki atau menerima barang untuk memperoleh keuntungan – atau tidak – dari perubahan harga.

Trader pun hanya perlu menempatkan deposit di bursa, sebagai tempat menambahkan atau mengurangi pendapatan maupun kerugian. Mereka tak harus mencatatkan nilai penuh dari barang yang mereka beli atau jual dalam transaksi di bursa, kecuali jika mereka menerima pengiriman barang tersebut secara fisik pada akhir kontrak.

Peran spekulan

Walaupun aktivitas ini dapat mendorong praktik spekulasi, bursa komoditas juga membantu produsen, konsumen dan pedagang pangan untuk mengelola risiko.

Contohnya, seorang petani bisa saja mengambil short position (bertaruh bahwa harga akan jatuh) terhadap harga gandum melalui kontrak yang berakhir menjelang waktu panen. Jika harga jatuh saat tanaman tengah bertumbuh, maka nilai kontrak akan naik dan menambal kerugian petani seandainya hasil panen betul dihargai rendah. Ini seakan menjadi jaminan bagi petani untuk membuat rencana ke depan saat tengah menanam.

Namun, supaya manajemen risiko seperti ini bisa berfungsi, harga fisik dari komoditas tersebut harus sejalan dengan harga kontrak berjangka. Untuk menjamin keselarasannya, harga kontrak harus didasarkan pada kontrak berjangka yang spesifik. Contohnya, kontrak berjangka Brent Crude yang diperdagangkan pada Bursa Intercontinental merupakan tolak ukur (benchmark) bagi jenis minyak bumi tertentu. Harga pangan global pun ditentukan lewat cara serupa dalam pasar keuangan berjangka.

Penggunaan benchmark kerap dibenarkan lewat klaim bahwa pasar keuangan merupakan tempat yang baik untuk “price discovery” atau pembentukan harga. Maksudnya adalah proses ‘pertemuan’ pembeli dan penjual untuk membaca situasi pasar, yang menentukan nilai suatu produk saat ini. “Paradigma pasar efisien” menyatakan bahwa segala informasi mengenai fundamental pasar – yaitu kondisi riil permintaan dan pasokan fisik – terefleksikan dalam harga kontrak berjangka.

Mengabaikan fundamental

Supaya bisa bermanfaat, bursa komoditas haruslah berdasar hanya pada informasi fundamental saja – yang berhubungan hanya dengan nilai suatu aset dan kondisi makroekonomi. Akan tetapi, riset saya menunjukkan bahwa para trader menggunakan berbagai macam strategi perdagangan yang tak berdasarkan pada fundamental pasar. Ini akhirnya berdampak terhadap harga pangan.

Contohnya adalah “pedagang indeks”, umumnya merupakan investor besar seperti dana pensiun atau asuransi, yang berinvestasi pada indeks dengan tipe aset tertentu. Para investor ini kemudian menggunakan derivatif komoditas untuk menambah keberagaman jenis aset, demi menyeimbangkan efek inflasi terhadap portofolio investasi mereka yang lain.

Mereka dikenal sebagai “noise traders” karena keputusan perdagangan mereka memicu kenaikan harga yang sama sekali tak berhubungan dengan permintaan dan pasokan.

Di sisi lain, pengelola dana investasi dan bank investasi cenderung membuat keputusan dagang berdasarkan gabungan antara fundamental pasar dan bagan atau grafik statistik yang menunjukkan tren historis harga. Ini dikenal sebagai “positive feedback trading” karena mereplikasi dan menguatkan tren riil harga.

Riset yang saya lakukan pada 2020 menunjukkan bahwa “positive feedback trading” dan “noise traders” bisa berdampak besar dan berkepanjangan terhadap harga kontrak komoditas berjangka. Artinya, tingginya harga pangan tak selalu jadi sinyal adanya kekurangan pasokan. Peningkatan aktivitas spekulatif pada pasar komoditas pangan sejak 2020 mengindikasikan adanya spekulasi finansial yang bisa saja berkontribusi pada tingginya harga belakangan ini.

Ini menandakan bahwa krisis pangan saat ini bukanlah krisis pasokan, melainkan krisis harga. Tapi ini tak serta-merta berarti tidak ada kekurangan pasokan.

Tingginya harga pangan berdampak berat bagi negara-negara yang bergantung pada impor dan tak memiliki fasilitas atau uang untuk mengamankan stok bagi warganya. Penimbunan oleh negara-negara besar sebagai antisipasi kenaikan harga pangan, dengan tujuan mengamankan makanan bagi warganya, semakin mengurangi ketersediaan pasokan. Inilah yang membuat krisis harga pangan dengan cepat berubah jadi krisis pasokan.

Akibatnya bagi keamanan pangan global cukup merusak. Misalnya ketika harga melonjak pada 2007-2008 akibat spekulasi yang menimbulkan ketakselarasan pasokan dan permintaan pangan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now