Menu Close

Ingin punya anak di tengah dunia yang sedang kolaps? Tanyakan dulu 5 hal ini pada diri sendiri

Ilustrasi bayi sedang duduk di samping boneka beruang. Freepik

Apakah kamu ingin punya anak?

Di planet yang tengah mengalami guncangan akibat krisis iklim, keruntuhan ekosistem, ancaman kelaparan dan kemiskinan, bukankah memiliki anak hanya akan menambah masalah dan, karena itu, tidak etis?

Sebagai seorang kandidat PhD di Monash Bioethics Centre, Australia, saya meneliti tentang etika prokreasi pada masa perubahan iklim. Saya menemukan bahwa tidak ada jawaban sederhana “ya” atau “tidak” mengenai apakah kita harus melahirkan lebih banyak anak di saat planet Bumi berada dalam kesulitan seperti ini.

Orang-orang yang ingin punya anak kerap menghadapi dilema. Melahirkan seorang anak, artinya anak tersebut akan berkontribusi menghasilkan emisi sepanjang hidup mereka, dan artinya akan ada orang lain yang tetap berada dalam garis kemiskinan (jika planet ini beroperasi dalam batas kapasitas fisiknya). Hal ini, yang dapat dengan mudah diperdebatkan, akan memperpuruk kondisi ketidakadilan dan ketidaksetaraan.

Tetapi tetap saja banyak dari kita yang ingin memiliki anak, karena menganggap hal itu akan menjadi sesuatu paling berarti yang kita lakukan dalam hidup.

Apa yang harus kita lakukan?

Berdasarkan ilmu etika, ada kewajiban moral bagi individu untuk mempertimbangkan efek dari memiliki anak, tanpa perlu memaksa orang lain untuk tidak memiliki anak.

man and women lie on bed with baby
Memiliki anak dapat menjadi salah satu hal paling berarti yang kita lakukan bersama hidup. Tapi apakah itu etis di masa-masa sulit seperti ini? Natacha Pisarenko/AP

Apa itu overpopulasi?

Banyak pendapat bahwa dunia saat ini menghadapi masalah kelebihan populasi (biasa disebut overpopulasi), keadaan ketika ada lebih banyak orang di Bumi – daripada kapasitas semestinya yang memungkinkan manusia bisa hidup dengan nyaman, bahagia, dan sehat – namun Bumi ini masih dianggap sebagai tempat yang cocok untuk generasi mendatang.

Tetapi definisi ini masih terbuka untuk interpretasi lainnya. Overpopulasi bukan hanya tentang jumlah, tetapi juga nilai-nilai. Jika orang-orang di negara-negara makmur memenuhi gaya hidup mereka – dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memiliki gaya hidup yang sama – maka dunia akan kelebihan penduduk.

Saya tinggal di dalam kota Melbourne. Ketika saya menghitung jejak ekologis saya, ternyata akan butuh sekitar 4 Bumi untuk dapat memenuhi kebutuhan kita secara adil jika semua orang memiliki gaya hidup seperti saya. Jika gaya hidup setiap orang sama seperti orang Amerika pada umumnya, kita akan membutuhkan lebih dari 5 Bumi.

Para ahli ekologi dan filsuf telah memperkirakan bahwa seseorang yang lahir di dunia yang sudah maju dapat memenuhi gaya hidup mereka hanya jika tidak ada lebih dari 2 atau 3 miliar manusia di planet ini. Sekarang jumlah manusia di Bumi ada lebih dari 8 miliar.


Read more: Why we should be wary of blaming 'overpopulation' for the climate crisis


people walking on a crowded street
Banyak yang berpendapat bahwa dunia tengah menghadapi masalah overpopulasi. Shutterstock

Jadi apa yang bisa kita lakukan?

Salah satu yang dapat kita lakukan untuk mengatasi dilema ini adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca per kapita. Namun, ini saja tidak cukup. Mengapa?

Pertama, sulit untuk mengurangi emisi secepat yang diperlukan untuk mengurangi bencana perubahan iklim. Ada Perjanjian Paris yang bertujuan mencegah pemanasan dunia sebesar 2°C dari sebelum periode industri. Untuk mencapai tujuan ini, kita harus mengurangi separuh emisi saat ini pada tahun 2030, mengurangi separuhnya lagi pada 2040, dan separuh berikutnya pada 2050.

Sayangnya, kita belum berada berada di jalur yang benar dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris tersebut. Kegagalan ini dapat menyebabkan penderitaan yang signifikan dan jutaan kematian. Dan masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi akan terkena dampak paling pertama dan paling parah. Ini tidak adil.

Kedua, negara berkembang harus diizinkan untuk meningkatkan emisi mereka guna menghindari kemiskinan. Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, terutama yang tinggal di negara miskin dan berkembang, mengonsumsi sangat sedikit sumber daya. Membiarkan mereka tetap berada pada tingkat konsumsi yang rendah ini adalah hal yang tidak manusiawi. Kita perlu mengadvokasi mereka untuk lebih konsumtif.

Ketiga, memiliki anak lebih sedikit dapat membantu menyelesaikan masalah ketidakadilan yang disebabkan oleh kerusakan iklim. Jika tingkat kesuburan global turun sebesar 0,5 kelahiran per perempuan, kita bisa menghemat sekitar 5,1 miliar ton karbon per tahun sampai akhir abad ini. Ini sama dengan menghemat 16% sampai 29% dari total penghematan emisi yang kita perlukan untuk menghindari bencana perubahan iklim.

people wade through floodwaters
Memiliki lebih sedikit anak membantu menyelesaikan ketidakadilan yang disebabkan oleh kerusakan iklim, seperti banyaknya pengungsian akibat banjir. Zahid Hussain/AP

Keempat, bahkan jika rata-rata emisi per kapita dunia menurun, pertumbuhan populasi tetap akan melipatgandakan emisi.

Emisi cenderung tumbuh dengan rasio satu banding satu dengan meningkatnya populasi. Antara tahun 1975 dan 2009, misalnya, populasi dan emisi naik sebesar 43% di Amerika Serikat (AS). Percuma kita berusaha dengan baik mengurangi emisi per kapita jika kita tidak menangani masalah pertumbuhan populasi juga.

Terakhir, kita tidak dapat mengatasi masalah emisi per kapita tanpa membahas reproduksi. Keputusan untuk tidak melahirkan anak berkontribusi mengurangi emisi individu 20 kali lebih efektif dibandingkan jumlah total perilaku “hijau” lainnya yang kita lakukan, seperti mendaur ulang dan mengurangi penggunaan kendaraan.

Di negara maju, misalnya, memiliki satu anak lebih sedikit bisa menghemat sekitar 58 ton emisi per tahun. Cara terbaik berikutnya yang dapat dilakukan untuk membatasi emisi mereka adalah dengan hidup tanpa mobil. Namun, ini hanya akan menghemat sekitar 2,4 ton emisi per tahun.

Para ahli etika menegaskan bahwa jika kita punya kewajiban untuk mengurangi emisi per kapita, maka kita juga punya kewajiban untuk membatasi jumlah anak yang kita miliki.


Read more: Bob Brown is right – it's time environmentalists talked about the population problem


man opens lid to recycling bin
Tidak memiliki anak jauh lebih bermanfaat bagi planet ini dibandingkan keseluruhan perilaku ‘hijau’ yang kita lakukan. James Ross/AAP

Menyelesaikan dilema

Saya memang tidak memiliki pengalaman hidup sebagai perempuan atau individu yang dapat mengandung. Saya juga belum punya anak.

Namun, saya yakin dunia harus mengatasi overpopulasi. Saya sangat paham bahwa ini bukan topik yang mudah dan nyaman untuk dibicarakan. Diskusi ini akan melibatkan topik seksualitas dan kontrasepsi, serta hak-hak privasi dan agama.

Dan saya menyadari tidak ada cara yang dapat benar-benar menyelesaikan seluruh masalah ketidakadilan.

Jika orang-orang di negara-negara makmur terus melahirkan anak, tidak akan ada cukup sumber daya bagi orang yang hidup saat ini dan di masa mendatang untuk bisa berkembang.

Tapi, menuntut individu untuk berhenti bereproduksi juga tidak adil. Bagi banyak orang, kebebasan untuk memutuskan akan melahirkan keturunan adalah soal martabat dan makna penting dalam hidup.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB juga menjamin bahwa setiap laki-laki dan perempuan berhak untuk membangun keluarga.

Jadi, jawaban yang paling tepat bukanlah menghilangkan ketidakadilan secara keseluruhan, tapi meminimalisir ketidakadilan sebisa mungkin.

Menyuruh orang untuk tidak memiliki anak, atau memiliki lebih sedikit anak, sepertinya terlalu keras. Solusinya harus lebih halus.

Lalu bagaimana caranya?

Dengan mengajak orang-orang untuk menyadari adanya kewajiban moral untuk mempertimbangkan masalah lingkungan dan keadilan sebelum melahirkan generasi.

man and women look lovingly at baby
Kita harus mempertimbangkan masalah lingkungan dan keadilan sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Shutterstock

Lima pertanyaan besar

Bagi kalian yang ingin punya anak, tidak cukup hanya mengajukan pertanyaan – untuk diri sendiri – seperti: Apakah saya akan mampu menjadi orang tua yang baik? Sudahkah saya memiliki seluruh sarana yang dibutuhkan untuk menghidupi seorang anak?

Siapa pun yang memiliki akses untuk mengontrol kesuburan mereka wajib menanyakan lima pertanyaan berikut kepada diri mereka sendiri:

  1. Apakah anak saya nantinya akan memiliki gaya hidup yang menyebabkan emisi tinggi dan kemudian membuat orang lain harus hidup dalam kemiskinan? Jika demikian, apakah ini dapat dibenarkan?

  2. Apakah saya ingin menjadi orang tua secara biologis - punya anak yang memiliki gen saya? - Atau saya hanya ingin menjadi orang tua - ingin membesarkan anak dalam lingkungan yang penuh kasih menurut nilai-nilai saya, terlepas dari gen mereka?

  3. Jika saya memiliki ikatan biologis yang kuat ketika saya sudah punya anak, apakah saya dapat membesarkan anak yang bukan anak kandung saya?

  4. Jika saya hanya ingin menjadi orang tua, dapatkah saya memenuhi keinginan ini dengan cara lain seperti dengan mengasuh, mengajar, menjadi pendamping atau, jika memungkinkan, mengadopsi anak?

  5. Apakah saya bisa memenuhi keinginan saya menjadi orang tua dengan cara lain jika saya sudah sudah memiliki satu anak kandung?

Seringkali orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak merasa perlu menjelaskan alasan keputusannya kepada orang lain. Namun, lima pertanyaan di atas memiliki pendekatan yang sebaliknya: bahwa orang yang ingin melahirkan anak secara etis harus lebih dulu menjawab pertanyaan sulit itu untuk dirinya sendiri.

Masyarakat yang adil menghargai pilihan individu yang menginginkan dan berusaha memiliki anak. Namun, setiap orang juga perlu dituntut untuk mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang akan mereka lakukan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now