Menu Close
PLTU terbesar
Pembangunan PLTU Batang di Jawa Tengah. (Onyengradar/Shutterstock)

Ini daftar proyek PLTU batu bara baru yang mangrak dan layak dibatalkan

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian artikel bertopik “#SayonaraPLTU”

Presiden Joko Widodo mengatakan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan berakhir pada 2050. Namun, menurut kami, upaya untuk memadamkan energi fosil bisa dipercepat lagi.

Analisis terbaru kami mengungkapkan pemerintah bisa lebih meredam laju dominasi batu bara dengan membatalkan proyek pembangunan PLTU baru. Saat ini, ada 13,8 gigawatt (GW) PLTU yang akan dibangun hingga 2030.

Angka tersebut sangat besar mengingat tahun 2022 saja kapasitas terpasang PLTU di Indonesia sudah mencapai 44,6 GW atau setara 67% dari kapasitas listrik nasional.

Semakin banyak PLTU beroperasi berarti emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia bakal semakin besar. Walhasil, target pengakhiran PLTU Indonesia berisiko jauh meleset.

Beberapa proyek pembangunan PLTU kami anggap layak dibatalkan karena proses konstruksinya tak kunjung dimulai alias mangkrak. Sebagian besar masih dalam tahap pembiayaan atau gagal mendapatkan pembiayaan. Agar analisis lebih sahih, kami juga memverifikasi kemajuan konstruksi PLTU dengan citra satelit.

Faktor lain yang menentukan urgensi pembatalan pembangunan PLTU adalah kondisi sistem kelistrikan suatu wilayah. Sistem kelistrikan Jawa-Bali, misalnya, mengalami kelebihan daya paling besar (44%) sehingga pembangunan PLTU di daerah ini menjadi tidak diperlukan. Ada juga faktor lainnya seperti target operasi dan pemilik proyek. Jika proyek dimiliki PLN, maka proses pembatalan bisa jauh lebih mudah dan minim risiko.


Read more: _David_ vs _Goliath_: mengapa pendanaan PLTU di Indonesia lebih perkasa ketimbang energi terbarukan


Berdasarkan berbagai faktor tersebut, studi kami menemukan ada sekitar 2,9 gigawatt (tersebar di sembilan proyek pembangkit). Angka ini setara 21% dari total rencana proyek PLTU baru PLN.

Proyek PLTU besar nan bermasalah

Analisis kami menemukan adanya proyek PLTU baru berskala besar yang layak dibatalkan. Proyek ini kebanyakan dimiliki oleh swasta. Proyek PLTU Jawa 3 (Tanjung Jati A) di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, dimiliki oleh konsorsium YTL Group asal Malaysia yang bermitra dengan Bakrie Power. Konstruksi proyek belum dimulai karena gagal mendapatkan pendanaan.

Aksi koalisi masyarakat sipil pada 2020 di depan Kedutaan Besar Korea Selatan. Masyarakat memprotes keputusan KEPCO (Korea Electric Power Corporation) yang melanjutkan pendanaan pembangunan mega proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di Cilegon, Banten. (TrendAsia)

Tak hanya persoalan finansial, proyek ini juga terganjal persoalan hukum. Oktober tahun lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung membatalkan izin lingkungan PLTU Jawa 3 karena melanggar asas hukum lingkungan.

Selain PLTU Jawa 3, PLTU Mulut Tambang (MT) Jambi 1 dan 2 (masing-masing berkapasitas 600 MW) juga belum masuk tahap konstruksi. Mayoritas saham PLTU Jambi 1 dimiliki oleh China Huadian Power, dan Jambi 2 oleh PT Sumber Segara Primadaya.

Masalah lainnya kami temukan di proyek PLTU MT Sumbagsel 1 yang baru mengantungi perjanjian jual-beli listrik dengan PLN. Meskipun direncanakan untuk beroperasi tahun depan, pengembang proyek ini baru menunjuk pengembang pada Oktober 2022. Kami memprediksi proyek tersebut akan sulit selesai tepat waktu sehingga layak dibatalkan.

Analisis yang kami lakukan sejak Juni 2022 ini terbukti akurat. Pasalnya, tiga proyek pertama, yakni Jawa 3, Jambi 1, dan Jambi 2, saat ini sedang dalam tahap pembatalan oleh PLN bersama pemerintah.

Proyek PLTU warisan minim kemajuan

Selain proyek besar, ada juga proyek PLTU berskala kecil-menengah yang patut dibatalkan. Kebanyakan proyek ini merupakan warisan dari program pembangkit listrik Fast Track II yang dirintis sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semua proyek PLTU jenis ini dimiliki oleh PLN.

Proyek PLTU Atambua di Nusa Tenggara Timur adalah contoh nyatanya. PLTU sebesar 24 MW tersebut awalnya direncanakan untuk beroperasi pada 2012. Namun, pengembang gagal menepati tenggat waktu penyelesaian, sehingga PLN membatalkan kontrak mereka.

Alih-alih dikebut, proyek PLTU tersebut dibiarkan mangkrak tanpa kejelasan target waktu penyelesaian. PLN juga tak kunjung mencoret ini dari dokumen rencana kelistrikan. Padahal, melalui citra satelit (Gambar 1), kami tidak melihat kemajuan konstruksi yang berarti selama dua tahun terakhir.

Gambar 1. Citra Satelit PLTU Atambua 24 MW. (IESR)

Situasi senada juga terjadi di proyek PLTU Bima/Bonto (Lihat Gambar 2), PLTU Sampit, dan PLTU Tanah Grogot. Semua proyek PLTU tersebut adalah sisa warisan yang tidak menunjukan kemajuan.

Gambar 2. Citra Satelit PLTU Bima/Bonto 20 MW. (IESR)

Pembatalan bisa menjadi opsi

Pemerintah sudah menunjukkan preseden baik dengan memproses pembatalan beberapa proyek PLTU besar. Langkah ini bisa dilanjutkan dengan melihat peluang pembatalan proyek-proyek PLTU baru lainnya. Pemerintah juga bisa membantu PLN untuk mengatasi risiko hukum maupun finansial yang mungkin terjadi akibat langkah pembatalan ini.

Pengakhiran operasi PLTU sejalan dengan komitmen penurunan emisi Indonesia sesuai Perjanjian Paris. Karena itu, semua pihak harus bahu-membahu agar negeri ini bisa lebih cepat beralih dari energi batu bara menuju energi yang lebih bersih.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now