Menu Close

Inisiatif DPR untuk membuka diri lewat open parliament belum maksimal

Mantan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo ketika meluncurkan pencanangan open parliament Agustus 2018 lalu. DPR RI

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 mengakhiri masa bakti dengan segudang masalah. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sejumlah rancangan undang-undang (UU) dengan pasal-pasal problematis memancing demonstrasi mahasiswa terbesar sejak 1998.

Aksi serentak di berbagai daerah memperlihatkan ketidakpercayaan publik akibat tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kinerja lembaga legislatif yang hingga kini masih dinilai tidak terbuka, transparan, dan akuntabel.

Padahal, DPR mendeklarasikan diri sebagai open parliament pertama di kawasan Asia Pasifik pada Agustus 2018.

Open parliament merupakan sebuah inisiatif untuk mendukung proses kerja lembaga legislatif menjadi terbuka, transparan, inklusif, dan akuntabel sehingga perumusan kebijakan dan kinerja anggota dewan dapat diakses dan menjawab kebutuhan khalayak umum.

Open parliament juga mendorong ruang dialog publik dengan meningkatkan aksesibilitas yang memungkinkan masyarakat lebih terlibat dalam berbagai fungsi DPR.

Namun alih-alih terbuka, sejauh ini publik masih sulit mengetahui bagaimana perubahan pada pasal-pasal sejumlah rancangan UU kontroversial bisa muncul.

Sebagai warga negara, kita juga sulit untuk mengetahui bagaimana posisi politik perwakilan daerah kita dalam menanggapi isu-isu yang ada.

Parlemen yang terbuka

Inisiatif keterbukaan bukan hanya soal ketersediaan (availability) data dan informasi, tetapi juga kualitas keterbukaan (quality openness) yang menguatkan mekanisme demokrasi antara warga negara dengan pemerintah dan perwakilannya. Kualitas keterbukaan mencakup hal-hal yang sifatnya substansial serta dinamis terkait proses kebijakan.

Di Parlemen Skotlandia misalnya, anggota parlemen secara aktif membuka akses informasi terkait narahubung, alamat kantor, jam konsultasi, serta informasi seputar kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan.

Selain itu, sistem laman mereka memungkinkan masyarakat untuk mengakses aktivitas politik anggota parlemen yang ada, seperti kutipan pidato terakhir (recent speeches), pilihan pungutan suara (recent voting), pertanyaan yang pernah diajukan (recent questions), dan usulan yang pernah diajukan (recent motions) di sidang-sidang parlemen.

Catatan aktivitas para anggota parlemen yang dibuka dan didukung sistem terintegrasi seperti inilah yang memungkinkan masyarakat untuk bisa melakukan pengawasan berkualitas kepada para wakilnya dalam setiap isu kebijakan yang dinamis.

Open parliament di Indonesia

Di Indonesia, DPR memulai inisiatif open parliament dengan peluncuran Rencana Aksi Open Parliament Indonesia tahun 2018-2020.

Di dalam rencana aksi ini, terdapat setidaknya lima komitmen yang tiga di antaranya berhubungan dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yaitu perbaikan manajemen data parlemen, optimalisasi kinerja parlemen melalui TIK, dan penguatan informasi publik.

Sejauh ini, satu-satunya produk open parliament DPR adalah aplikasi DPR Now. Secara umum, aplikasi ini memiliki berbagai fungsi seperti kanal berita, TVR Parlemen, dan sistem pengaduan layanan yang hampir sama seperti LAPOR! (Layanan Aspirasi Pengaduan Online Rakyat).

Namun, meski DPR sudah menyediakan akses seperti rekaman sidang TVR Parlemen, hal ini belumlah cukup karena tidak ada pencatatan yang sistematis dan berkala.

Alhasil, sulit bagi publik untuk mendeteksi bagaimana sikap wakil mereka mengenai isu tertentu. Inilah yang menyebabkan publik selama ini hanya bisa menerima hasil tanpa benar-benar mengerti bagaimana proses terciptanya sebuah kebijakan.

Sejak diluncurkan Agustus 2018, aplikasi DPR Now belum banyak mendapatkan respons publik. Hingga tulisan ini dimuat, aplikasi ini baru diunduh sekitar 10 ribu kali dan hanya menerima 217 ulasan pengguna di Google Play.

Mempertimbangkan penetrasi pengguna internet di Indonesia yang masif, jumlah ini terbilang minim. Selain itu, tidak sedikit ulasan publik menyuarakan ketidakjelasan tindak lanjut layanan pengaduan yang ada.

Saya melihat walau sudah ada layanan berbasis aplikasi digital, inisiatif open parliament di Indonesia belumlah maksimal. Hal ini karena aplikasi DPR Now atau pun laman resmi DPR RI belum menyediakan data dan informasi yang substansial.

Apa yang harus dilakukan?

Terpilihnya anggota DPR baru periode 2019-2024 harusnya menjadi momentum bagi kita untuk menggugat kembali akses keterbukaan legislatif.

Protes masif yang terjadi di berbagai belahan Indonesia akibat munculnya RUU-RUU yang secara tiba-tiba hendak disahkan dan tidak diketahui proses di balik pembuatannya adalah bukti DPR masih jauh dari konsep open parliament.

Untuk dapat mengembalikan marwahnya sebagai lembaga representatif rakyat sekaligus meningkatkan kepercayaan publik, DPR harus menyadari bahwa keterbukaan bukan hanya soal ketersediaan, tetapi bagaimana mereka harus meningkatkan kualitas keterbukaan yang ada, terutama untuk data dan informasi yang sifatnya substansial serta dinamis terkait kebijakan.

Di sisi lain, harus ada upaya untuk meningkatkan literasi politik masyarakat, terutama soal memanfaatkan keterbukaan yang ada.

Dengan teknologi yang ada hari ini, publik seharusnya mudah untuk memperoleh akses tentang bagaimana dan siapa aktor di balik munculnya RUU-RUU yang hendak disahkan.

Dengan begitu, segala bentuk protes atau penolakan publik lebih dapat terarah kepada anggota dewan yang bertanggung jawab di balik kebijakan tertentu.

Open parliament memang hanya sebuah insiatif dan sejauh ini belum memiliki kekuatan hukum atau pun kelembagaan yang jelas di Indonesia.

Akan tetapi, keterbukaan bisa dimulai dari gerakan-gerakan kecil lewat individu-individu yang jujur, berintegritas, dan memiliki keberpihakan sebagai kampiun keterbukaan.

Dengan sedikit demi sedikit anggota dewan yang membuka akses kepada publik, kepercayaan masyarakat terhadap DPR juga akan membaik.

Toh, apabila anggota dewan terpilih memang individu yang bersih dan jujur, harusnya mereka tidak akan risi dan takut untuk membuka diri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now