Menu Close

Israel: mengapa boikot terhadap perusahaan tak akan banyak membawa perbedaan

Protesters outside a McDonald's in London
Not lovin’ it. Laura Gaggero/Alamy

McDonald’s dan Starbucks termasuk dalam daftar perusahaan Barat yang menghadapi aksi boikot akibat konflik di Gaza. McDonald’s, misalnya, dibanjiri kecaman setelah waralabanya di Israel kedapatan membagikan ribuan porsi makanan gratis untuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Serupa, Starbucks menghadapi seruan boikot setelah menunjukkan ketidaksepakatannya terhadap unggahan serikat buruhnya sendiri di platform X (sebelumnya Twitter) yang menyatakan solidaritas pada Palestina.

Dalam kedua kasus, para pelanggan menunjukkan kecaman dengan turun ke jalan. Ini terjadi terutama di negara-negara seperti Libanon, Arab Saudi, Maroko, Turki, Yordania dan Malaysia–meskipun waralaba terkait menunjukkan loyalitasnya pada komunitas lokal. Tak hanya itu, ada juga serangan terhadap outlet keduanya di Inggris.

Banyak perusahaan asal Amerika yang jadi sasaran boikot, dalam beberapa kasus murni hanya karena dukungan pemerintahnya terhadap Israel. Ini termasuk KFC, Pizza Hut dan Burger King, serta merek-merek seperti Coca-Cola, Pepsi, Wix dan Puma. Google dan Amazon pun menghadapi seruan boikot karena menawarkan jasanya kepada pemerintahan pemerintah dan militer Israel untuk mempertahankan apa yang banyak dianggap sebagai tindakan apartheid (kebijakan yang rasis) terhadap warga Palestina.

Sementara, perusahaan retail asal Inggris, Marks & Spencer, juga menemui seruan serupa setelah menayangkan iklan Natal yang menampilkan topi kertas warna-warni yang mirip dengan bendera Palestina dilempar ke api–iklan yang diunggah di Instagram tersebut kini telah ditarik. Situasi makin memburuk setelah para pengkritik Israel menelusuri bahwa perusahaan tersebut sebagian memiliki akar Yahudi.

Merek-merek lain yang memiliki akar Yahudi pun menjadi sasaran, termasuk Danone, Starbucks, Dunkin Donuts dan Netflix. Daftar produk yang didirikan oleh para pebisnis Yahudi pun turut dibagikan di TikTok dan Facebook.

Boikot yang terkait dengan Timur Tengah memiliki sejarah panjang. Dua puluh tahun lalu, merek-merek Amerika diturunkan dari rak-rak penjualan Arab pascaserangan ke Irak. Coca-Cola diboikot oleh Liga Arab selama tahun 1968-1991 karena berdagang dengan Israel. Kadang, aktivismenya muncul dari sisi bisnis, seperti keputusan Ben and Jerry’s, Orange, dan SodaStream untuk menarik produknya dari pemukiman ilegal Israel.

Secara luas, boikot terjadi karena berbagai hal, mulai dari Perang Ukraina hingga gerakan “woke”. Logikanya cukup sederhana: pemerintah negara-negara tentunya akan mau mendengarkan ketika kamu melukai profit perusahaan. Pertanyaannya, dalam situasi apa aksi boikot ini efektif?

Studi kasus 1: Kartun Denmark

Pada 2005, koran asal Denmark, Jyllands-Posten, membuat berang banyak Muslim karena menerbitkan kartun satir Nabi Muhammad. Sebagian besar amarah ditujukan pada Pemerintah Denmark karena menolak mengambil tindakan, dan Arla, perusahaan makanan asal Denmark dan Swedia, menjadi sasaran boikot. Setelah 40 tahun membangun bisnisnya di Timur Tengah, perusahaan tersebut terpaksa menderita kerugian finansial dan kehilangan reputasi.

Arla terjebak situasi yang sangat sulit untuk bisa menjauhkan diri dari perdebatan yang tengah terjadi dan mesti menghadapi kritikan para politikus karena tak menyatakan dukungan terhadap kebebasan bicara di Denmark secara eksplisit. Meski begitupun, butuh waktu dua tahun bagi perusahaan untuk membangun kembali bisnisnya di Timur Tengah.

Perekonomian Denmark tak terpengaruh oleh berbagai aksi boikot yang terjadi, walaupun koran yang menerbitkan kartun tersebut akhirnya menerbitkan permohonan maaf bagi umat Muslim empat bulan setelah keributan tersebut terjadi.

Studi kasus 2: Perang Ukraina

Baik konsumen dan perusahaan Barat memboikot Rusia dan Belarusia pascaserangan ke Rusia pada 2022. Termasuk di antara perusahaan yang keluar atau menghentikan sementara operasinya adalah McDonald’s, Starbucks, Coca-Cola, Nike, Apple, BP, dan Shell. Aksi tersebut berhasil mengguncang perekonomian Rusia, namun jelas-jelas tak mengurungkan invasi yang terjadi.

Protester pressuring Unilever to quit Russia soon after the invasion.
Pengunjuk rasa menekan Unilever untuk keluar dari Rusia segera setelah invasi. Vuk Valcic/Alamy

Tentu saja, banyak dari perusahaan-perusahaan ini kini jadi sasaran boikot karena Israel. AS langsung dihujani kritik di minggu-minggu awal terjadinya serangan di Gaza karena mendorong boikot terhadap Rusia dan menolak mengambil langkah serupa terhadap Israel.

Faktanya, terdapat hukum yang mencegah kota-kota di AS untuk melakukan boikot terhadap Israel, yang diberlakukan oleh Mahkamah Agung AS awal tahun ini. Ada rencana untuk memperkenalkan aturan yang sama di Inggris, dan para penentangnya khawatir bahwa hal ini akan menyulitkan upaya boikot terhadap negara-negara seperti Rusia di masa depan.

Studi kasus 3: anti-wokeisme

Pada 2015, Starbucks memulai sebuah diskusi dan upaya nasional mengenai hubungan antar ras dan bagaimana menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini. Hal ini menarik banyak kritik di jagad maya karena dianggap sebagai aksi untuk menarik keuntungan bagi perusahaan, dan banyak orang yang berkomentar bahwa staf rantai tersebut bahkan tidak terlalu beragam secara etnis.

Hal ini menjadi bumerang pada 2018 setelah terjadinya insiden di sebuah gerai di Philadelphia. Ketika itu, seorang staf melaporkan dan membuat dua orang laki-laki kulit hitam ditangkap setelah keduanya menolak membuat pesanan dan meninggalkan gerai karena tengah menunggu seseorang. Rekaman video yang beredar di media sosial semakin memperburuk situasi tersebut.

Banyak orang menganggap tindakan staf tersebut berbau rasisme dan menyerukan boikot, sehingga menyebabkan Starbucks meminta maaf secara publik dan berjanji untuk melatih karyawannya tentang bias ras yang tidak disadari.

Lebih baru lagi, merek alkohol Bud Light harus berhadapan dengan aksi boikot yang dilancarkan kelompok konservatif selama dua minggu, setelah perusahaan menayangkan kampanye “woke” daring di akun Instagram mereka. Iklan yang mempromosikan salah satu ukuran minuman kaleng besar mereka tersebut memuat aktivis trans Dylan Mulvaney.

Akibatnya, penjualan tersungkur hingga 25% dan Bud Light kehilangan posisinya sebagai bir paling laris di AS. Hal ini mendorong InBrev, perusahaan pemilik Bud Light, untuk mencoba memperbaiki kerusakan reputasi mereka dengan membuat pernyataan bahwa mereka akan menghindari topik-topik kontroversial ke depannya.

Namun, kejadian semacam ini tak menciutkan perusahaan-perusahaan seperti Nike, Target dan Disney untuk mengadopsi strategi pro-trans/LGBTQ sejenis.

Apa artinya ini terhadap boikot anti-Israel

Melihat dari pengalaman Denmark dan Rusia, boikot terhadap perusahaan nampaknya memiliki pengaruh yang minim terhadap perekonomian negara yang disasar. Apa yang terjadi di Rusia menunjukkan bahwa aksi boikot lebih mungkin sukses jika menjadi bagian dari sanksi terkoordinasi, meskipun dalam kasus ini boikot belum sepenuhnya efektif mengurungkan bisnis-bisnis di Eropa dan negara-negara ketiga untuk mencari jalan mengakali pemblokiran.

Solusi terbaik adalah bagi komunitas internasional untuk menerapkan sistem yang “menghukum” tindakan-tindakan tersebut, yang belum ada di kasus Rusia. Dengan absennya sanksi terkoordinasi terhadap Israel, media sosial kemungkinan menjadi satu-satunya cara menekan perusahaan dan pemerintah untuk membuat perubahan.

Merek-merek Barat sangat diam terhadap krisis kemanusiaan di Gaza (dan juga Ukraina), kontras dengan kesediaan mereka untuk mengambil risiko mendukung antirasisme dan LGBTQ+.

Banyak orang kecewa dengan hal ini, walau tentu saja, Starbucks dan Bud Light menjadi contoh bagaimana perusahaan bisa tersandung masalah jika posisi mereka dinilai tak otentik atau woke-washing (berusaha menghasilkan profit dari aktivisme woke). Perusahaan yang berdagang di Israel atau yang pemerintah negara asalnya mendukung pihak penyerang bisa dengan mudah jatuh ke kategori ini.

Simpulannya, boikot terhadap perusahaan-perusahaan AS telah berhasil meningkatkan kesadaran publik terhadap perilaku Israel terhadap Palestina, tapi dampak ekonominya mungkin tak akan besar.

Dampak nyata mungkin muncul jika komunitas internasional mau mendorong aksi korporasi melawan Israel seperti yang terjadi di Rusia–namun sejauh ini belum terlihat tanda-tanda bahwa hal ini akan terjadi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now