Menu Close
Rumah sakit darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran Jakarta, 10 September 2020, siap menjadi tempat isolasi di tengah makin tingginya kasus positif di Ibu Kota. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

Jakarta PSBB lagi, dokter keluarga punya peran menurunkan angka kasus COVID-19

Pemerintah DKI Jakarta memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai Senin 14 September untuk memperlambat lonjakan kasus baru COVID-19 supaya mengurangi beban rumah sakit yang terbatas ruang isolasinya.

Setiap hari jumlah kasus makin bertambah bahkan sejak diberlakukannya PSBB yang pertama periode 10 April hingga 4 Juni. Kasus harian makin meningkat saat diberlakukannya kebijakan PSBB transisi mulai dari 6 Juni sampai 10 September 2020.

Selama lima pekan terakhir, DKI Jakarta tetap sebagai zona merah seiring dengan tingginya pelacakan kasus dan jumlah orang yang dites.

Sekitar 40% pemeriksaan dari total nasional dilakukan di Jakarta. Per 14 September total kasus COVID yang terkonfirmasi positif di Ibu Kota mencapai lebih dari 54 ribu, seperempat (terbanyak) dari total kasus nasional. Dari jumlah itu, 74,8% sembuh, 14,2% isolasi mandiri dan 2,6% (sekitar 1.400) meninggal. Sementara untuk kasus suspek, terdapat 96 ribu kasus, sekitar 2.250 di antaranya diisolasi di rumah sakit, hampir sebanding dengan jumlah yang meninggal (2.300 orang).

Intervensi makro di level provinsi dan kota seperti PSBB memang membatasi gerak orang dan mengurangi frekuensi pertemuan orang di perkantoran, pusat bisnis, tempat wisata, atau pertemuan besar. Namun, kalau kita melihat laporan DKI Jakarta, angka kasus harian secara umum naik terus. Atau dengan kata lain, PSBB itu tidak berhasil mencapai targetnya.

Sejak Maret, tren kasus baru harian COVID-19 memang sempat fluktuatif tapi secara umum terus menanjak. Sumber: Corona.Jakarta.go.id

Pertanyaan besarnya: apakah PSBB kali ini akan mampu memperlambat kasus-kasus COVID 19 saat virus ini telah menyebar di dalam perkantoran sampai di dalam keluarga-keluarga di seluruh wilayah Ibu Kota negara?

Melihat masalah tersebut, sesungguhnya ada kebutuhan lain untuk melakukan intervensi skala mikro di level keluarga, dengan memberdayakan dokter keluarga di layanan primer.

Kebijakan dan dampaknya

Keputusan PSBB sekarang ini diperkirakan akan mengalami nasib serupa dengan PSBB pertama, meski pilihan ini tetap harus dilakukan untuk mencegah lonjakan kasus yang bisa melumpuhkan rumah sakit. Pembatasan skala makro mudah dilakukan, tapi pembatasan skala mikro, yaitu pembatasan di unit komunitas seperti rukun tetangga dan keluarga, lebih sulit karena bergantung pada komunitas-komunitas itu.

Di level mikro, pembatasan melibatkan jutaan penduduk Jakarta yang mestinya menerapkan pembatasan sosial dan protokol kesehatan secara mandiri. Saat kasus-kasus di komunitas terkecil, yaitu keluarga, mencapai 40% dari total kasus, risiko penularan masyarakat makin besar karena aktivitas harian seperti ke pasar, toko, pesta, arisan, pertemuan keluarga, pengajian atau pertemuan sosial lainnya sulit dipantau dan dicegah.

Kegiatan-kegiatan tersebut meningkatkan transmisi kontak erat dan dari permukaan benda yang tercemar. Transmisi di Jakarta bahkan diperberat oleh ketidakpercayaan warga terhadap pandemi COVID-19. Sebanyak 77% warga Jakarta merasa tidak akan tertular COVID-19. Persepsi ini tentu mempengaruhi ketaatan menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan menjaga jarak fisik di luar rumah. Simpang siurnya berita lewat media sosial, termasuk berita-berita hoax, berdampak menurunnya kepercayaan masyarakat.

Padahal selain risiko di atas masih ada risiko penularan melalui udara sebagaimana yang telah dikonfirmasi oleh WHO.


Read more: Ratusan ilmuwan desak WHO: fakta baru, penyebaran virus Covid-19 bisa melalui udara


Penularan lewat udara meningkatkan jumlah kasus cluster perkantoran dan keluarga, yang pada akhirnya memperluas transmisi lokal di suatu wilayah, dalam hal ini Jakarta

Dalam konteks ini, dokter keluarga berperan penting meningkatkan literasi COVID-19 dan meyakinkan masyarakat agar lebih percaya kepada otoritas kesehatan dan dokter ketimbang penyebar hoaks yang tidak jelas latar belakang keilmuannya.

Setiap peserta BPJS Kesehatan akan dilayani oleh satu dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP), yang mampu memberikan informasi akurat dan mengedukasi bagaimana menghadapi COVID-19 ini. Kemampuan ini merupakan tugas dokter keluarga, yang juga disebut sebagai spesialis kedokteran keluarga layanan primer (KKLP) atau dokter layanan primer (DLP).

Deteksi yang akurat dan tatalaksana yang tepat

Mengingat cepatnya penularan COVID-19, dokter keluarga punya peran penting untuk melakukan skrining dan diagnosis yang tepat. Apa sebenarnya beda ISPA dan COVID-19?

Pada umumnya, dokter keluarga di FKTP akan menerima pasien common cold, yang datang dengan keluhan tidak enak badan, demam, badan terasa pegal-pegal dan keluhan batuk dan pilek, kadang-kadang disertai suhu tubuh naik, dan mengeluarkan ingus yang bening. Dengan kondisi ini dokter akan menyimpulkan diagnosisnya sebagai ISPA.

Dokter dengan teliti berusaha mencari riwayat penularan di tempat kerja atau di rumah. Namun karena common cold ini mudah menular melalui permukaan benda-benda yang terpapar virus dari orang yang sakit, maka riwayat penularan ini juga tidak mudah diidentifikasi.

Common cold atau ISPA dalam perjalanannya akan sembuh sendiri dalam [waktu 7-14 hari ketika tubuh dalam kondisi cukup kuat melawan virus tersebut]. Kadang-kadang dokter memberikan antibiotik dan obat untuk melawan gejala-gejala yang dialami serta menyarankan pasien beristirahat di rumah agar tidak menulari orang lain.

Pada era pandemi ini, pasien dengan gejala-gejala di atas akan membawa dokter berpikir bahwa pasien terkena COVID-19. Dokter keluarga atau dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer akan menapis dan sekaligus juga menenangkan pasien, serta menjelaskan gejala-gejala COVID-19 serta langkah-langkah penanggulangannya.

Pasien yang dicurigai COVID-19 (suspek) akan menjalani pemeriksaan tes swab PCR untuk konfirmasi sambil dikarantina, sampai terbukti COVID-19 atau bukan. Di daerah dengan sumber daya kurang, orang yang suspek COVID-19 wajib menjalani karantina 14 hari, dan bila tidak bergejala dinyatakan bebas COVID-19. Mereka yang tidak bergejala atau dengan gejala ringan dapat mengisolasi mandiri di rumah diawasi dokter keluarga secara daring (online).

Baru pasien dengan gejala sedang dan berat yang diisolasi di rumah sakit, agar mendapat perawatan yang optimal. Kasus konfirmasi tetapi tidak bergejala bisa dinyatakan bebas setelah 10 hari karantina. Kasus ringan sampai berat harus ditindaklanjuti sampai hasil swab negatif.

Layanan daring

Bila khawatir dengan kemungkinan terinfeksi ketika pergi ke layanan kesehatan, maka pasien seharusnya bisa berkonsultasi secara daring dengan menggunakan smart phone.

Dokter keluarga bisa melakukan skrining dengan aplikasi mobile JKN untuk pasien-pasien BPJS diikuti fitur-fitur konsultasi jarak jauh dengan chatting. Bahkan dengan fitur pendaftaran online juga sehingga meminimalkan kontak dengan orang lain di ruang tunggu.

Penapisan, diagnosis, dan tata laksana isolasi mandiri serta pengawasan secara jarak jauh ini sudah banyak diteliti efektivitasnya. Cara ini mengurangi risiko penularan dan menjauhkan dari stigma masyarakat, meningkatkan kepatuhan serta menurunkan transmisi lokal di komunitas. Juga menurunkan risiko penularan kepada petugas kesehatan.

Seharusnya PSBB kedua di Jakarta dijalankan dengan kerja sama yang kuat di layanan primer menggunakan teknologi secara daring.

Teknologi ini mestinya dimanfatkan di seluruh Indonesia sehingga dokter bisa berkomunikasi secara manusiawi dengan suspek COVID-19 tanpa kuatir tertular, serta menjamin pelayanan yang tuntas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now