Menu Close
Koloni kecil kalelawar bertelinga besar di Lava Beds National Monument, Calif. Shawn Thomas, NPS/Flickr

Jangan salahkan kelelawar atas merebaknya coronavirus

Penelitian genom yang menunjukkan kecenderungan asal muasal COVID-19 dari kelelawar menyedot perhatian media serta kekhawatiran publik.

Ketakutan masyarakat dan misinformasi ini berbahaya karena mereka mencoba mencegah penyebaran virus dengan membasmi satwa yang menakjubkan ini, meskipun usaha sebelumnya juga gagal.

Pemusnahan kelelawar juga terjadi pada beberapa daerah di Indonesia.

Sebagai sejarawan lingkungan dengan fokus kepada spesies langka dan keanekaragaman hayati, saya memahami jasa penting kelelawar bagi manusia dan bahkan satwa ini perlu kita lindungi.

Kita perlu mengenal lebih jauh tentang satwa ini sebelum menyalahkan mereka atas pandemi yang sedang terjadi.

Tulisan ini memberikan penjelasan mengapa kelelawar membawa banyak virus, dan mengapa bisa pindah ke manusia, terutama bagi mereka yang suka berburu atau merusak tempat hidup mereka.

Kesulitan hidup kelelawar

Tidak mudah menjadi satu-satunya mamalia terbang di dunia.

Terbang menghabiskan banyak energi, sehingga kelelawar perlu makanan bergizi, seperti buah-buahan dan serangga.

Sambil mencari makanan, kelelawar juga membantu proses penyerbukan sekitar 500 spesies tumbuhan, termasuk mangga, pisang, jambu, dan agave (bahan dasar tequila).

Konsumsi kelelawar pemakan serangga bisa setara dengan berat tubuh mereka tiap malam – termasuk memangsa nyamuk-nyamuk pembawa penyakit seperti Zika, dengue, dan malaria.

Kelelawar berkepala abu-abu (Pteropus poliocephalus) sedang menyedot sari bunga di Queensland, Australia. Mukanya dipenuhi dengan sari bunga berwarna kuning yang akan menyebar ke bunga lainnya. Andrew Mercer/Wikipedia, CC BY

Kotoran Kelelawar, atau dikenal sebagai guano, menjadi nutrisi bagi keseluruhan ekosistem. Manusia juga memanfaatkan kotoran ini sebagai pupuk alami, dan bahkan menjadi bahan pembuatan sabun dan antibiotik.

Sebagian besar jenis kelelawar menyesuaikan waktu hibernasi mereka dengan pangan mereka, yaitu buah-buahan dan tumbuhan. Di masa tidur yang cukup lama ini, suhu tubuh kelelawar akan turun hingga 6 derajat Celsius.

Untuk menyimpan panas, mereka akan berkumpul di tempat tertutup, seperti gua, dan menggunakan sayap mereka sebagai selimut dan tidur bersama dalam koloni.

Kelelawar akan bangun dan terbang dari gua tersebut ketika musim buah dan serangga sudah datang.

Masalahnya, terbang membutuhkan banyak energi sehingga laju metabolisme mereka akan meningkat 34 kali lipat daripada saat mereka tidur. Dan, suhu tubuh kelelawar melonjak hingga 40 derajat Celsius.

Demi menjaga temperatur tubuh, sayap kelelawar memiliki aliran darah yang mampu mengeluarkan panas.

Kelelawar juga menjilat tubuh mereka dan terengah-engah mirip yang dilakukan anjing untuk mengeluarkan panas tubuh.

Mereka beristirahat di siang hari dan berburu makanan di tengah suhu dingin malam, ketika kemampuan ekolokasi (pemantulan suara) mereka akan sangat berguna.

Congress Avenue Bridge di Austin, Texas, menjadi rumah bagi koloni kelelawar terbesar di dunia.

Beragam dan unik

Manusia lebih berkerabat dekat dengan kelelawar, dibandingkan dengan anjing, sapi, atau paus. Meski begitu, kelelawar terlihat lebih aneh, membuat manusia sulit mau memahami mereka.

Kelelawar merupakan jenis yang paling unik dari 26 ordo mamalia, yang mencakup kelompok besar hewan seperti pengerat dan karnivora.

Mereka merupakan satu-satunya jenis mamalia darat yang memiliki kemampuan ekolokasi, serta benar-benar mampu terbang.

Banyak jenis kelelawar bertubuh kecil dan bermetabolisme dengan cepat, namun mereka lambat bereproduksi dan hidup lebih lama. Ciri-ciri ini lebih banyak kita temukan pada jenis hewan besar seperti hiu dan gajah.

Selain itu, suhu tubuh kelelawar mampu berubah dalam rentang lebih dari 15 derajat Celsius, sebagai reaksi terhadap keadaan sekitar.

Kemampuan ini dimiliki oleh satwa berdarah dingin lainnya, seperti penyu dan kadal. Kelelawar menjadi pembawa berbagai virus yang bisa membuat mamalia lainnya menjadi sakit ketika berpindah antar spesies.

Penyakit ini termasuk setidaknya 200 jenis virus corona, beberapa di antaranya menyebabkan gangguan pernafasan seperti SARS dan MERS.

Kelelawar juga bisa menjadi inang beberapa filovirus, termasuk yang menyebabkan demam hemoragik para manusia, seperti Marburg dan bahkan Ebola.

Umumnya, virus-virus ini tersembunyi di tubuh kelelawar dan ekosistem tanpa menularkan kepada manusia.

Manusia sendiri yang meningkatkan risiko tertular transmisi spesies, dengan mengganggu habitat kelelawar atau berburu kelelawar untuk obat-obatan atau makanan.

Manusia seringkali mengurung kalelawar ke dalam kondisi yang tidak sehat dengan satwa liar lain yang menjadi inang sementara.

Hal ini yang terjadi di pasar tradisional Wuhan, tempat COVID-19 muncul untuk pertama kali.

Dengan beberapa pengecualian, seperti rabies, kelelawar menjadi inang pathogen penyakit tanpa menjadi sakit.

Beberapa liputan media terbaru berusaha menjelaskan fenomena ini berdasarkan pada sebuah penelitian tahun 2019 yang memperkirakan bahwa kelelawar membawa gen mutasi dan membuat mereka tetap sehat walau membawa banyak virus.

Namun, walau argumen mutasi tersebut bisa menarik dari perspektif kesehatan masyarakat, untuk memahami asal COVID-19 ini juga perlu memerlukan pemahaman tentang kelelawar itu sendiri.

Pembuluh darah pada sayap kelelawar (gambar: kelelawar pemakan buah di daerah utara Australia) yang akan mengeluarkan semacam panas saat terbang. shellac/Flickr, CC BY

Mengapa kelelawar membawa begitu banyak penyakit tanpa menunjukkan tanda-tanda sakit?

Mutasi genetik mungkin telah meningkatkan sistem imun mereka. Namun, jawaban yang lebih sesuai adalah kelelawar merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang.

Gua kelelawar merupakan tempat ideal pengembangan dan perpindahan bibit penyakit dengan ribuan kelelawar berkerumun bersama, menjilati badan, bernafas, dan mengeluarkan sisa makanan di antara satu sama lain.

Tapi, menurut banyak ilmuwan, saat terbang, mereka menghasilkan begitu banyak panas sehingga membuat tubuh mereka melawan bibit penyakit yang mereka bawa. Teori ini banyak dikenal sebagai “flight as fever hypothesis” (hipotesis terbang dengan demam).

Risiko yang dihadapi kelelawar

Kelelawar mungkin tidak akan selalu ada untuk memakan hama serangga, membantu penyerbukan tanaman, dan menyediakan pupuk.

Menurut International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan Bat Conservation International, setidaknya ada 24 spesies kelelawar berada di status terancam kritis punah (critically endangered) dan 104 spesies yang rentan punah (vulnerable).

Peneliti masih kekurangan data untuk menentukan status kerentanan sekitar 224 spesies kelelawar lain.

Perburuan berlebihan, penyiksaan, dan kerusakan habitat merupakan ancaman berat bagi kelelawar. Namun, mereka juga memiliki penyakit sendiri.

Sebuah kasus tahun 2007 di utara Kota New York, mencatat adanya patogen jamur Pseudogymnoascus destructans (Pd), yang menyebabkan sindrom hidung putih (white-nose syndrome) pada kelelawar.

Penyakit ini telah menginfeksi 13 spesies kelelawar di Amerika Utara, termasuk dua jenis yang berstatus terancam punah (endangered).

Belum ada yang bisa menjelaskan asal penyakit Pd ini.

Meski begitu, fakta yang menunjukkan bahwa beberapa spesies kelelawar belum pernah menderita penyakit ini menandakan kemungkinan bahwa manusia sebagai penyebab atau penyebar penyakit ini ke kelelawar.

Jamur akan cepat berkembang di keadaan dingin dan lembap seperti gua saat kelelawar hibernasi dan menyebabkan iritasi.

Ketika ini terjadi, mereka akan menjadi gelisah, membuang energi berharga yang seharusnya bisa dipakai untuk mencari makan.

Sindrom hidung putih sudah membunuh jutaan kelelawar, termasuk lebih dari 90% kelelawar dalam beberapa populasi.

Kelelawar merupakan makhluk luar biasa yang memiliki berbagai manfaat bagi manusia. Bumi kita mungkin menjadi lebih miskin, menjemukan, dan berbahaya tanpa kehadiran kelelawar.

Mereka sangat membutuhkan perlindungan dari perlakuan keji serta eksploitasi, yang dalam waktu sama juga mengancam kesehatan manusia.


Catatan Editor : Konteks Indonesia telah ditambahkan ke dalam artikel ini dengan persetujuan penulis.


Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now