Menu Close
Para panelis di ulang tahun TCID ke-6. Shinta Saragih/The Conversation Indonesia.

Jelang pemilu 2024: perlunya menjaga independensi, memperkuat kolaborasi, dan memperdalam substansi

Perdebatan publik di Indonesia yang terjadi belakangan ini bisa menjadi pratinjau atas situasi di masa pemilihan umum (pemilu) tahun 2024. Sayangnya, perdebatan ini masih terpaku pada isu-isu sekunder dan dipenuhi oleh hoaks dan disinformasi yang minim pembahasan substansial mengenai masalah kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan ketimpangan gender.

Dalam kasus polusi udara misalnya, para kandidat masih menyajikan solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan iklim tetapi justru memunculkan risiko beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang membebani lingkungan hidup dan warga. Sementara tekanan terhadap kebebasan akademik di kampus juga semakin memperlemah suara-suara kritis yang ada.

Begitulah kira-kira benang merah dari diskusi panel yang diadakan oleh The Conversation Indonesia (TCID) dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke-6 pada 8 September 2023 di Institut Francais Indonesia (IFI) Jakarta.

Diskusi dihadiri oleh para peneliti, akademisi, awak media dan jejaring TCID lainnya. Amanda Andina/The Conversation Indonesia.

Diskusi yang dimoderasi oleh editor lingkungan TCID, Robby Irfany Maqoma ini menghadirkan sejumlah pakar seperti Herlambang Wiratraman (Dosen Hukum, Universitas Gadjah Mada), Saras Dewi (Dosen Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia), Chairil Abdini (Tim Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP 2025-2045), dan Ika Krismantari (Content Editor, The Conversation Indonesia).

Publik perlu ruang diskusi yang demokratis

Suasana diskusi. Haikal/The Conversation Indonesia.

Para panelis mengemukakan bahwa salah satu penyebab minimnya perdebatan yang substansial menjelang pemilu di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan ruang yang mendukung.

Saras menggarisbawahi adanya polarisasi dan pertikaian di media sosial yang tidak memberikan ruang bagi pertukaran pemikiran yang lebih mendalam. Ruang di media sosial kini dikuasai oleh isu-isu yang terpolarisasi sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi warga untuk mendiskusikan hal-hal yang lebih berdampak terhadap mereka.

“Di media sosial, kita mulai melihat perdebatan yang sangat membuka polarisasi yang tidak sehat di masyarakat. Sedikit sekali di dalam perlagaan politik, saya melihat hal substansial yang disampaikan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mengajukan dirinya sebagai kandidat,” ungkap Saras.

Sementara itu, Herlambang menyebutkan bahwa kebebasan akademik yang semestinya memungkinkan pembentukan wacana yang lebih kritis juga mulai terbatasi dengan adanya tekanan politik yang hegemonis. Padahal, kebebasan di lingkungan kampus dapat mencerminkan kebebasan yang ada di masyarakat.

Salah satu penanya dalam diskusi panel. Amanda Andina/The Conversation Indonesia.

“Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau bentuk-bentuk kebebasan lain, ini paralel dengan situasi demokrasi yang merosot kualitasnya, sementara politik otoriter semakin menguat,” jelas Herlambang.

Hal ini senada dengan pendapat Ika yang menyebutkan bahwa pemilik media dengan kepentingan bisnis atau politik tertentu dapat membatasi perdebatan publik.

“Saya melihat, dengan lanskap media yang ada pada saat ini, diskursus pembicaraan publik didominasi oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politis,”

Terkait hal ini, Chairil menegaskan bahwa semua permasalahan ini terjadi karena kita melupakan visi misi kita sebagai bangsa, atau sibuk dengan visi misi sendiri-sendiri bukan visi misi bersama. Absennya perlindungan terhadap akademia, contohnya, tidak sesuai dengan misi Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia. Chairil menambahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun RPJP yang sudah melalui proses konsultasi publik kepada akademisi, rektor, gubernur dan media, tetapi gaungnya tidak muncul karena kita tidak menganggapnya penting.

Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga independensi, memperkuat kolaborasi dan memperdalam substansi, terutama di masa menjelang pemilu ini.

Simbolisasi peluncuran buku. Haikal/The Conversation Indonesia.

Para panelis sepakat bahwa kebijakan-kebijakan yang ada perlu menyasar pada solusi yang sampai ke akar, bukan hanya di permukaan. Lalu kebebasan akademik perlu mendapatkan perlindungan, terutama dengan adanya intensitas serangan yang semakin menguat tatkala berurusan dengan ritual politik seperti pemilu. Dari sisi media, tugas media sebagai pilar demokrasi perlu dikuatkan kembali agar bisa memastikan tersedianya ruang untuk mengingatkan bahwa ada isu-isu yang harus diangkat untuk kemudian dipecahkan oleh para kandidat.

Upaya menghadirkan diskusi publik

Pemberian buku kepada para panelis. Shinta Saragih/The Conversation Indonesia.

Selaras dengan pemikiran tersebut, TCID meluncurkan buku berjudul “Membangun Perdebatan yang Inklusif dan Progresif: 32 Artikel Pilihan Jelang Pemilu 2024” sebagai hasil akumulasi 6 tahun kolaborasi TCID dengan peneliti dan akademisi. Buku ini mengelompokkan artikel-artikel ke dalam tujuh tema besar, termasuk politik, lingkungan, kesetaraan gender, dan pendidikan, dengan harapan bahwa pemahaman mendalam atas isu-isu ini akan menjadi dasar perdebatan yang lebih bermakna menjelang pemilu 2024.

Menurut Saras, buku ini bisa menjadi asupan dan juga pegangan yang sangat penting sehingga publik bisa berdiskusi dan melihat isu-isu yang ada secara tidak terisolasi tapi sebagai irisan di mana isu yang satu erat kaitannya dengan isu yang lain.

Ananda Badudu membawakan beberapa lagu untuk ulang tahun TCID. Shinta Saragih/The Conversation Indonesia.

Diskusi dan peluncuran buku ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan yang terdiri dari akademisi, peneliti, awak media, dan juga perwakilan dari jejaring TCID seperti Jules Irrmann (Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia, Direktur IFI), Jatna Supriatna (Ketua Dewan Pembina The Conversation Indonesia) dan Fathul Wahid (rektor Universitas Islam Indonesia). Acara kemudian ditutup dengan penampilan dari Ananda Badudu, musisi sekaligus mantan jurnalis.

Sampai jumpa di ulang tahun TCID selanjutnya. Sefarrel Ahmad/The Conversation Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now