Menu Close

Jumlah pelajar Australia yang belajar bahasa Indonesia terus menurun. Bagaimana mengatasinya?

A young woman sits on a couch with a laptop and book, with headphones plugged in.
Karolina Grabowska/Pexels , CC BY-SA

Siswa Kelas 12 di Australia sedang mengambil keputusan penting mengenai masa depan mereka. Bagi banyak orang, hal ini melibatkan pemilihan program studi di universitas dan mata pelajaran di dalamnya.

Namun jika melihat tren yang ada, Indonesia tidak akan dipertimbangkan sama sekali dalam pengambilan keputusan ini, meskipun dampaknya sangat besar bagi Australia, baik dari segi kepentingan ekonomi, strategis maupun politik.

Banyak politisi yang menyerukan pentingnya belajar bahasa Indonesia. Namun meminjam kata-kata dari mantan Perdana Menteri Paul Keating, itu semua hanyalah “puncak yang tampak dari gunung es yang tidak ada”.

Faktanya, kita harus kembali ke ke era Keating (1991-1996) untuk menemukan upaya bersama pemerintah dalam memahami Asia.

Sebagai peneliti Indonesia, banyak dari kami yang memulai kariernya pada era tersebut. Namun sejak saat itu, kita telah menyaksikan literasi Australia atas Indonesia – pengetahuan kami tentang bahasa dan budaya negara tetangga – perlahan-lahan mati karena diabaikan.

Apa yang terjadi? Apa yang salah dari Australia? Adakah yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?

Menurunnya pemahaman Australia atas Indonesia

Semester ini, Sharyn Graham Davies, direktur Herb Feith Indonesia Engagement Center, Monash University, Australia, memiliki kurang dari sepuluh siswa dalam kursus pengantar bahasa Indonesia. Kursus ini diperuntukkan bagi siswa yang belum memiliki pengetahuan bahasa Indonesia sebelumnya. Kelas bahasa Indonesia tingkat menengah – yang mencakup mantan siswa Kelas 12 yang masuk universitas – memiliki 13 siswa.

Rendahnya jumlah pendaftaran ini bukanlah hal yang sepele, namun merupakan bagian dari tren nasional.

Pada tahun 1992, terdapat 22 universitas di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Pada tahun 2022, jumlah ini turun menjadi 12.

Terdapat juga penurunan besar dalam jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia hingga akhir sekolah menengah atas. Jumlah siswa sekolah menengah di Victoria, Australia, yang mengambil bahasa Indonesia di Kelas 12 telah turun dari 1.061 pada tahun 2002 menjadi 387 pada tahun 2022. Di New South Wales, Australia, angka tersebut merosot dari 306 menjadi 90 pada periode yang sama.

Memang ada beberapa titik terang. Sejak tahun 2014, generasi muda Australia telah melakukan perjalanan ke Indonesia di bawah New Colombo Plan. Misalnya, tahun ini sekitar 400 mahasiswa tahun pertama Monash University, Australia, akan berangkat ke Indonesia selama dua minggu. Namun, sebagian besar perjalanan akan berlangsung dalam bahasa Inggris.


Read more: Only 0.34% of year 12s study Indonesian. Here are 3 steps we can take towards knowing our neighbour better


Apa yang salah di Australia mengenai bahasa?

Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kampanye pemerintah Australia dan Indonesia sebelumnya yang gagal mendorong masyarakat Australia belajar bahasa Indonesia.

Penelitian kami menemukan bahwa kampanye yang berfokus pada ekonomi dan kepentingan strategis Indonesia, jarang beresonansi di kalangan pelajar.

Hal ini karena narasi-narasi tersebut terlalu esoterik (terbatas) dan berbasis masa depan bagi remaja, yang seringkali lebih terpengaruh oleh masa muda dan budaya populer. Misalnya, sejak tahun 1998, lebih dari 1.000 siswa per tahun telah belajar bahasa Jepang di sekolah menengah di Victoria, Australia, sebagian didorong oleh minat yang lebih luas terhadap budaya pop Jepang.

Pola pikir monolingual

Kita juga tahu bahwa Australia memiliki “monolingual mindest” atau gagasan bahwa komunikasi terjadi melalui dan hanya dengan satu bahasa pada satu waktu. Ada sikap warga Australia yang merasa tidak perlu mempelajari bahasa lain. Mantan Perdana Menteri John Howard (1996-2007) menggambarkan sikap ini, dengan beragumen bahwa bahasa Inggris adalah lingua franca – atau bahasa umum – di Asia.

Menurut hasil PISA tahun 2018, yang membandingkan kemajuan akademis anak usia 15 tahun di berbagai negara, Australia menempati peringkat negara kedua terakhir untuk pembelajaran bahasa asing, di antara negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar.

Studi ini juga menemukan bahwa 64% anak usia 15 tahun di Australia mengatakan belajar bahasa asing bukanlah bagian dari kehidupan mereka, dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan OECD yang hanya sebesar 12%.

Australian Prime Minister Anthony Albanese listens to Indonesian President Joko Widodo during a photo session.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Presiden Indonesia Joko Widodo telah mendorong hubungan yang lebih erat antara kedua negara. Willy Kurniawan/AAP/EPA

Sementara itu, Cina sedang belajar bahasa Indonesia

Meski tingkat literasi atas Indonesia di Australia menurun, literasi atas Indonesia di Cina sedang meningkat. Di Cina, kini terdapat 19 universitas yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Literasi bahasa Mandarin di Indonesia juga meningkat. Terdapat bukti signifikan yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai belajar bahasa Mandarin (yang pernah dilarang) seiring upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hubungan dengan Cina.

Pada saat yang sama, Indonesia juga mulai mendorong menduniakan bahasa Indonesia atau “mengangkat bahasa Indonesia ke status global ”. Ini berarti sebagian orang Indonesia ingin bahasa mereka digunakan dan dipahami secara luas, khususnya di Asia.

Australia akan tertinggal

Warga Australia dapat terus berkomunikasi dengan sebagian masyarakat Indonesia melalui bahasa Inggris. Namun jika mereka melakukan hal tersebut, akan semakin banyak pembicaraan yang terjadi tanpa melibatkan mereka.

Sulit untuk menemukan angka pasti mengenai penutur bahasa Inggris di Indonesia dan seberapa baik bahasa Inggris digunakan. Ada beberapa perkiraan hingga 30% sebagaimana dipromosikan oleh industri bimbingan belajar dan pengajaran bahasa Inggris. Namun, beberapa sumber akademis menunjukkan, hanya 5% orang Indonesia yang memiliki “kemampuan berbahasa Inggris fasih”.

Penelitian juga menunjukkan, penutur bahasa Inggris saja berada dalam posisi yang dirugikan saat berdiskusi dengan bukan penutur asli bahasa Inggris.

Dalam pertemuan bisnis, penutur asli bahasa Inggris lebih kecil kemungkinannya untuk mengakomodasi atau memahami apa yang terjadi dalam interaksi para bukan penutur asli dan lebih cenderung menyela.

People sit on Kuta Beach in Bali, with coloured beanbags and umbrellas.
Orang Australia berpergian ke Indonesia tetapi tidak belajar bahasanya. Made Nagi/AAP/EPA

Perlunya pemikiran pelangi

Untuk mengatasi masalah ini diperlukan berbagai pendekatan, atau yang kita sebut dengan pemikiran pelangi.

Pertama, kita perlu meninjau kembali investasi pemerintah. Puncak studi bahasa Indonesia di Australia terjadi pada pertengahan tahun 1990-an ketika Keating menginvestasikan dana yang signifikan untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Jumlah pembelajar bahasa Indonesia di Victoria, Australia naik dua kali lipat dari 493 pada tahun 1995 menjadi 1.044 pada tahun 2001.

Kedua, sebagian dari pendanaan ini harus didedikasikan untuk pendekatan bahasa yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) mendanai program STARTALK, yang memberikan hibah bagi siswa untuk mempelajari bahasa-bahasa yang “sangat diperlukan”, termasuk Arab, Mandarin, Korea, Persia, dan Rusia.

Program ini berupaya untuk lebih memahami motivasi dan hambatan dalam mempelajari bahasa yang jarang diajarkan dan kemudian merancang kurikulum untuk memenuhi kebutuhan guru dan siswa.

Kami sebelumnya berpendapat bahwa program serupa dapat berhasil dan berkelanjutan di Australia . Namun, hal ini memerlukan pendanaan yang cukup.

Ketiga, Indonesia membutuhkan strategi yang andal. Academy for Korean Studies milik pemerintah Korea memberikan investasi luar negeri yang signifikan dalam penelitian dan pendidikan bahasa dan budaya Korea. Alliance Française memiliki 31 cabang di seluruh Australia.

Indonesia belum melakukan investasi kuat yang serupa.

Dalam beberapa dekade terakhir, sulit untuk menghindari pejabat pemerintah dan dunia usaha membicarakan pentingnya Indonesia. Namun, jauh lebih sulit untuk menemukan orang atau organisasi dengan sumber daya yang baik yang benar-benar melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini.


Read more: Beyond boats, beef and Bali: Albanese's unfinished business with Indonesia


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now