Dalam waktu dekat Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan mengumumkan kabinet baru. Dalam pidato pertama Jokowi sebagai presiden terpilih, salah satu rencana yang ditekankan adalah reformasi struktural pada lembaga-lembaga pemerintahan agar semakin sederhana dan lincah menuntaskan kerja.
Jokowi harus membenahi aturan kementerian yang saling tumpang tindih dan buruknya sistem pengawasan untuk memastikan kabinet yang baru berjalan optimal.
Tulisan ini berusaha menawarkan dua solusi untuk menjawab masalah aturan regulasi yang tumpang tindih pada kabinet Jokowi yang lama. Harapannya, Jokowi dapat membentuk kabinet baru yang lebih baik dan efektif.
Langkah segera
Kemampuan pemerintah Indonesia dalam membentuk dan mengimplementasikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong pembangunan sektor usaha dinilai rendah dibanding negara lain.
Indeks dari Bank Dunia yang mengukur kemampuan tersebut memperlihatkan skor mutu regulasi Indonesia dari tahun 1996 hingga 2017 selalu berada di bawah 0 (dari skala -2,5 hingga 2,5).
Bahkan di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2017, Indonesia hanya menempati posisi kelima dengan skor -0,11. Teringgal jauh dari Singapura yang memiliki skor 2,12 di peringkat pertama.
Untuk meningkatkan mutu regulasi yang ada sekarang, langkah pembenahan paling realistis yang dapat Jokowi lakukan dalam waktu dekat adalah menata persoalan regulasi di tingkat kementerian.
Rencana pembentukan kabinet baru adalah momen yang tetap bagi Jokowi untuk membenahi persoalan regulasi di tingkat kementerian.
Setidaknya ada dua upaya mendasar yang dapat dilakukan.
Pertama, benahi jumlah peraturan menteri yang terlalu banyak.
Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan menuntaskan perubahan Undang-undang (UU) No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-undang ini akan mengontrol kementerian dalam mengeluarkan aturan baru.
Selama ini, menteri memanfaatkan kewenangan yang dijamin dalam Pasal 8 undang-undang tersebut untuk mengeluarkan aturan baru, karena langkah tersebut dibolehkan “berdasarkan kewenangan.”
Pasal ini menjadi sarana kementerian menyalurkan ego untuk menerbitkan banyak peraturan. Mayoritas peraturan menteri (permen) saat ini dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki menteri atau kementerian, bukan berdasarkan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan menghilangkan frasa “berdasarkan kewenangan” dalam UU yang baru, maka nantinya permen hanya dapat dibentuk jika ada perintah atau amanat langsung dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, permen bisa dibuat jika ada perintah langsung dari UU, peraturan pemerintah (PP), dan peraturan presiden (perpres).
Dengan demikian, ketiga produk peraturan perundang-undangan tersebut dapat menjadi mekanisme kontrol dan pembatas bagi kementerian untuk mengeluarkan aturan baru.
Kedua, menata fungsi regulasi yang tersebar di kementerian lewat Badan Regulasi Nasional
Fungsi regulasi yang tersebar di banyak kementerian sudah seharusnya disatukan ke dalam satu Badan Regulasi Nasional langsung di bawah kendali presiden. Fungsi regulasi yang tersebar saat ini membuat menteri leluasa mengeluarkan peraturan tanpa memperhatikan kebutuhan negara.
Nantinya, badan ini akan mengontrol jumlah regulasi yang keluar dengan menyesuaikan kebutuhan perencanaan pembangunan nasional.
Badan ini juga menjadi koordinator menteri dalam mengeluarkan regulasi. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Read more: Jokowi ingin bentuk Badan Regulasi Nasional untuk cegah peraturan tumpang-tindih, perlukah?
Cara ini di beberapa negara seperti Belanda, Jepang, Jerman, dan Korea Selatan terbukti berhasil mengurangi ego kementerian dalam mengeluarkan begitu banyak peraturan dan membuat kabinet bekerja lebih efektif.
Jepang, misalnya, membentuk Dewan Reformasi Regulasi (Council for Regulatory Reform, CRR) pada tahun 2001 di dalam Kantor Kabinet–tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri–agar badan itu independen dan kuat dalam memberi masukan langsung ke Perdana Menteri. Peningkatan kelembagaan terus dilakukan dan saat ini Jepang memiliki Unit Revitalisasi Pemerintah dan subkomite regulasi dan reformasi sistem yang merupakan kelanjutan dari CRR.
Agar tidak terulang
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mencatat dalam masa pemerintahan Jokowi hingga Oktober 2018, kementerian sudah mengeluarkan 7.621 permen.
Jumlah ini tentu tidak wajar untuk satu periode pemerintahan. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, dari tahun 2000 hingga 2015, hanya terbit 8.311 permen.
Sekian banyak peraturan ini memiliki potensi tumpang tindih, menghambat akses layanan publik, memberi ketidakpastian hukum, dan menghambat kemudahan berusaha. Muaranya tentu menghambat program-program pemerintah.
Banyak peraturan ini juga tidak sesuai dengan perencanaan pembangunan negara atau sesuai perencanaan tapi tidak efektif dalam pelaksanaan. Bahkan tidak sedikit yang ketika diimplementasikan, bertabrakan dengan peraturan lain baik secara vertikal maupun horizontal.
Regulasi untuk memulai usaha di Indonesia, misalnya. Untuk proses pra pendaftaran saja diatur oleh 9 UU, 2 PP, 4 perpres, dan 20 permen. Sementara peraturan untuk proses pasca pendaftaran ada 1 UU, 5 PP, 1 perpres, dan 8 permen. Alhasil, untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan banyak biaya, waktu, dan prosedur yang harus dilalui.
Dengan mengubah UU dan membentuk Badan Regulasi Nasional, pemerintahan Jokowi bisa memaksa kementerian untuk mengikuti proses harmonisasi dan sinkronisasi layaknya UU, PP, dan perpres.
Dengan kewajiban itu, Jokowi bisa meminimalkan adanya peraturan menteri tidak harmonis dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Tidak hanya itu, Jokowi bisa membatasi materi muatan peraturan menteri untuk hal-hal teknis yang bersifat teknis administratif saja. Jika ini dilakukan, jumlah peraturan menteri yang berlebihan bisa ditekan.
Sebagai kepala pemerintahan dalam sistem presidensial yang memegang kendali penuh atas kementerian, tentu tidak sulit bagi Jokowi untuk melaksanakan langkah-langkah segera ini.
Read more: Pidato kemenangan Jokowi: Bagaimana diksi mengungkap pesan politik tersembunyi