Menu Close
Petugas gabungan Balai Pengawas Obat dan Makanan dan Kepolisian memeriksa obat sirup di sebuah apotek di Cipocok, Kota Serang, Banten, 25 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/h

Kasus obat sirup beracun: apa kewajiban industri farmasi dalam produksi obat aman dan bagaimana praktiknya?

Kontaminasi etilen glikol yang diduga sebagai salah satu penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal akut pada ratusan anak merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di Indonesia baru-baru ini.

Data terakhir menyatakan 195 anak meninggal diduga kuat akibat keracunan obat sirup.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut puluhan izin edar obat sirup milik tiga perusahaan farmasi: PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma. BPOM dan polisi masih menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas skandal obat beracun ini.

Sebenarnya kasus keracunan obat ini bukan pertama. Sebelumnya, pada 2015, insiden terkait obat pernah terjadi dalam kasus tertukarnya bupivacaine - obat untuk anestesi lokal - dengan asam tranexamat yang memiliki efek mencegah penggumpalan darah yang diduga akibat kesalahan prosedur saat proses produksi. Selain itu, ada juga kasus cemaran NDMA dari injeksi ranitidine yang digunakan untuk pengobatan lambung pada 2019.

Kasus-kasus itu menimbulkan pertanyaan: bagaimana mekanisme menjamin keamanan mutu suatu produk obat agar tidak meracuni pasien? Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengawasan keamanan dan kualitas obat?

Regulasi obat di Indonesia

Pengawasan keamanan dan mutu produk obat sudah menjadi perhatian sejak dulu.

Akan tetapi, konsep dan regulasi pengawasan keamanan dan mutu obat lahir dan berevolusi tidak lepas dari insiden terkait obat. Fungsi regulasi diperlukan agar industri farmasi dapat menjamin kualitas obat yang diproduksi.

Di Indonesia pengawasan keamanan dan mutu industri farmasi diatur dalam pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dibuat oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). CPOB merupakan suatu sistem untuk memastikan setiap produksi obat oleh industri dilakukan dengan konsisten dan diawasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga risiko – terutama yang tidak dapat dideteksi saat produk akhir diperiksa - dapat diminimalkan.

CPOB pertama kali disahkan oleh BPOM pada 2006 atau lima tahun setelah BPOM didirikan pada 2000. CPOB merupakan aturan yang mengikat seluruh industri farmasi di Indonesia. Setiap industri farmasi harus taat pada ketentuan CPOB dan BPOM harus memastikan setiap industri farmasi menaati ketentuan CPOB.

Selain standar dari CPOB, pedoman lain yang mengatur produk obat di Indonesia adalah Farmakope Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.

Farmakope Indonesia memuat identifikasi, persyaratan cemaran, hingga persyaratan kadar senyawa yang memiliki efek farmakologi. Saat ini, di Indonesia berlaku Farmakope Indonesia edisi 6 yang dikeluarkan pada 2020.


Read more: Kontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat sirup akibatkan gagal ginjal akut? Empat hal yang perlu Anda ketahui


Konsep pengawasan mutu

Pengawasan mutu merupakan fungsi penting yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan farmasi di Indonesia.

Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan bahwa setiap bahan yang dipasok dan digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi persyaratan kualitas dan standar mutu, memenuhi klaim pada label, dan memenuhi seluruh aspek hukum.

Kegiatan pengawasan mutu berkaitan dengan pengambilan sampel, pengujian dan pemenuhan spesifikasi yang ditetapkan, kegiatan dokumentasi, dan pelaksanaan prosedur pelulusan. Bagian pengawasan mutu akan memeriksa untuk setiap bahan yang diterima dan digunakan untuk produksi dan untuk setiap batch produksi, baik produk baru ataupun produk yang pernah ada sebelumnya.

Bagian pengawasan mutu juga bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengambil keputusan pelulusan produk akhir sebelum didistribusikan.

Diagram yang menggambarkan alur mekanisme pengawasan produksi obat. Author provided

Akan tetapi, pengawasan mutu saja tidak dapat memenuhi seluruh fungsi jaminan keamanan dan mutu produk. Oleh sebab itu, dikenal konsep Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang menetapkan keamanan dan kualitas setiap produk tidak hanya ‘teruji’ namun harus ‘dibangun’ dengan konsisten.

Untuk itu, selain pengawasan mutu, CPOB juga mengharuskan perusahaan farmasi memiliki sistem manajemen mutu, memastikan personil yang terlibat harus terkualifikasi, terlatih, dan terawasi.

Selain itu, peralatan dan gedung yang digunakan memenuhi persyaratan dari segi lokasi, desain, konstruksi, dan terpelihara secara berkala. Dokumentasi lengkap, tersedia dan runut untuk setiap batch pembuatan, setiap kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur standar, pemenuhan persyaratan jika produk dibuat atas dasar kontrak, penanganan komplain dan penarikan produk, serta audit internal.

Pada prinsipnya aturan pengawasan mutu dapat dan harus terus diperbaharui dan publikasi dokumen pedoman dalam proses pengawasan mutu akan terus direvisi.


Read more: Obat sirup diduga menjadi penyebab gagal ginjal pada anak: apa itu etilen glikol dan dietilen glikol?


Penarikan Obat

Penarikan obat merupakan proses meniadakan produk obat yang rusak akibat produksi atau berpotensi membahayakan.

Proses ini hampir terjadi dan cenderung naik setiap tahun. Langkah ini tentu saja mempengaruhi industri farmasi, ketersediaan obat di masyarakat, dan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat dalam menggunakan produk farmasi.

Penarikan obat merupakan salah satu cara industri farmasi untuk menjaga kualitas produk dan pengendalian risiko dengan menarik produk yang bermasalah dari pasaran.
Penarikan dapat terjadi akibat temuan produsen sendiri, keluhan dari pasien, atau perintah BPOM dan dilakukan oleh industri yang mengeluarkan produk.

Istilah penarikan (recall) dalam industri farmasi tidak termasuk untuk produk yang ditarik dari pasaran akibat masalah minor yang tidak berhubungan dengan regulasi. Misalnya, penarikan karena kelebihan stok, atau karena kemasan karton terluar harus diperbaiki.

BPOM mengkategorikan penarikan obat ke dalam tiga kelas:

Penarikan kelas I. Penarikan obat akibat potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkannya yakni dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius terhadap kesehatan

Penarikan kelas II. Penarikan obat yang jika obatnya digunakan dapat mengakibatkan penyakit atau kekeliruan pengobatan yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan dan dapat pulih kembali

Penarikan kelas III. Penarikan obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap kesehatan.

Penarikan obat terkontaminasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi atas aman kali ini merupakan contoh penarikan kelas I.

Penarikan obat obat harus dilakukan dengan langkah terencana dengan memperhatikan identitas produk (misalnya nomor batch) dan jumlah produk terdistribusi.

Farmakovigilans: pengawasan post market

Pada Juli 2022 BPOM mengeluarkan peraturan tentang kewajiban industri farmasi dalam menerapkan farmakovigilans untuk menjamin keamanan obat yang beredar.

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan yang terkait dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat.

Farmakovigilans tidak hanya mencakup penggunaan obat konvensional, namun juga herbal, obat tradisional, dan produk biologis seperti komponen darah dan vaksin.

Di dunia internasional, farmakovigilans merupakan suatu istilah yang berevolusi baru-baru ini yang juga sudah dipraktikkan sebagai respons akibat laporan terkait obat sejak 170 tahun lalu.

Farmakovigilans merupakan aktivitas terstruktur melibatkan seluruh profesi kesehatan dalam memantau manfaat dan risiko obat, menjaga keselamatan pasien serta memperbaiki kualitas hidup pasien.

Industri farmasi rutin melapor farmakovigilans ke BPOM

Farmakovigilans/MESO Nasional dapat berupa pelaporan spontan, berkala pasca pemasaran, studi keamanan, dan pelaporan publikasi atau literatur.

Pelaporan berkala dari industri farmasi pasca pemasaran farmakovigilans kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional BPOM dilakukan setiap enam bulan sekali selama dua tahun pertama setelah perolehan izin edar. Lalu pelaporan satu tahun sekali untuk tahun ketiga hingga tahun kelima setelah perolehan izin edar.

Pelaporan ini termasuk untuk obat yang mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi keamanan.

Pada prinsipnya regulasi mengenai pengawasan keamanan dan mutu harus terus diperbaharui dan dokumen pedoman dalam pengawasan keamanan dan mutu akan terus direvisi.

Tidak dimungkiri insiden terkait obat di masyarakat selalu menjadi pemicu untuk evaluasi regulasi yang selama ini ada dan dijalankan.

Bagaimana standar dan regulasi obat ditetapkan oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan dan bagaimana regulasi dijalankan oleh industri farmasi sangat menentukan derajat dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now