Menu Close

Kasus penyakit gigi meningkat selama pandemi, penyesuaian layanan dan pemanfaatan teknologi menjadi solusi

Dokter gigi menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat memeriksa pasien di salah satu klinik gigi di Jakarta. Rivan Awal Lingga/Antara Foto

Meningkatnya kasus kerusakan gigi dan penyakit gusi di seluruh dunia, merupakan konsekuensi yang muncul akibat pandemi COVID-19.

Di Australia, pandemi menyebabkan meningkatnya persentase penduduk dewasa dengan kerusakan gigi yang tidak diobati dari 25,5 % menjadi 32,1%. Penelitian terbaru di Jepang menunjukkan bahwa pengurangan pendapatan rumah tangga, kehilangan pekerjaan, tekanan psikologis, dan penundaan kunjungan pasien ke dokter gigi berkaitan dengan peningkatan keluhan gigi.

Di Indonesia, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memburuk sebagai dampak pandemi turut memengaruhi status kesehatan gigi dan mulut.

Walau pandemi belum mereda, sudah ada beberapa kemajuan yang mempermudah masyarakat menjaga kesehatan. Kemajuan ini kita harapkan terus bermanfaat saat pandemi usai nanti.

Keraguan ke dokter

Penundaan kunjungan pasien mulai terjadi pada awal masa pandemi karena para dokter gigi diminta menghentikan layanan untuk sementara kecuali layanan kasus darurat. Ini mengingat dokter gigi termasuk ke dalam salah satu kelompok berisiko tinggi terpapar virus SARS-CoV-2 yang dapat berasal dari droplet atau air liur pasien.

Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa jumlah virus SARS-CoV-2 sangat banyak ditemukan di naso-orofaring dan saliva.

Beberapa tindakan kedokteran gigi, misalnya yang menggunakan bor berkecepatan tinggi dapat memproduksi aerosol dalam jumlah yang besar, dapat meningkatkan risiko penularan.

Masyarakat kemudian cenderung merasa ragu untuk melakukan perawatan gigi karena risiko ini dan menghindari berobat ke dokter gigi serta menunda kunjungan perawatan rutin sampai situasi membaik.

Akibatnya, masalah gigi dan mulut yang tidak ditangani menjadi parah, misalnya terjadinya abses karena lubang gigi yang tidak diobati, atau makin meluasnya kerusakan pada jaringan penyangga gigi.

Menurut pengamatan saya, di beberapa fasilitas kesehatan tingkat pertama selama masa pandemi menunjukkan adanya peningkatan kasus penyakit infeksi pada jaringan pulpa (pulpitis). Ini terjadi karena lubang gigi yang tidak tertangani serta tingkat keparahan radang pada gusi dan jaringan penyangga gigi yang lebih tinggi.

Meningkatnya kasus penyakit gigi dan gusi di masyarakat selama pandemi menunjukkan adanya kebutuhan akan layanan kesehatan gigi dan mulut, namun masyarakat kesulitan untuk mendapatkan akses perawatan gigi - terutama pada masa penghentian sementara praktik dokter gigi selama empat bulan pertama pandemi.


Read more: Benarkah gigi bungsu tidak berguna? Ini asal-usulnya


Kemajuan dalam layanan

Para dokter gigi terus berupaya memahami karakteristik dari virus SARS-CoV-2 dan standar pencegahan penularan guna mempersiapkan diri dalam melakukan praktik kedokteran gigi yang aman.

Saat ini, telah ada berbagai penyesuaian dalam tata kelola ruang praktik, alur dan tata cara pengerjaan pasien termasuk penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menurunkan risiko dokter gigi, perawat gigi, pasien, dan lingkungan sekitarnya.

Saat ini, fasilitas kesehatan tingkat pertama sudah kembali melakukan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di dalam gedung dengan mengikuti Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 yang berlaku.

Namun, layanan di luar gedung seperti Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM) serta Upaya Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) masih belum dapat dilakukan sepenuhnya.

Penyesuaian praktik dan layanan semakin diperkuat dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya teledentistry (konsultasi dokter gigi jarak jauh).

Selain teledentistry, berbagai inovasi program UKGM dan UKGS melalui aplikasi berbasis digital terus dikembangkan sehingga materi edukasi tetap tersampaikan.

Salah satu contohnya adalah adalah aplikasi edukasi pencegahan penyakit gigi dan gusi berbasis website yang dapat diunduh masyarakat melalui ponsel.

Edukasi disampaikan melalui website yang terdiri atas fitur-fitur kesehatan gigi dan mulut. Masyarakat dapat mengakses website tersebut secara gratis lalu memilih fitur edukasi sesuai dengan keinginannya.

Pada umumnya, fitur yang tersedia dalam aplikasi di antaranya adalah pengingat (reminder) waktu sikat gigi; pengingat waktu kunjungan ke dokter gigi; kumpulan video edukasi dan infografis tentang penyakit gigi dan gusi; materi kesehatan gigi dan mulut; fitur konsultasi dengan tenaga kesehatan; dan visualisasi perbandingan rongga mulut yang sehat dan yang tidak.

Aplikasi juga dilengkapi dengan kuis untuk mengevaluasi pemahaman masyarakat terhadap materi edukasi kesehatan gigi dan mulut.

Selama pandemi, upaya pencegahan penyakit gigi dan gusi sejak dini dilakukan melalui program UKGS dengan memberdayakan guru untuk membantu kegiatan pengawasan kesehatan gigi dan mulut anak melalui data foto gigi anak serta membagikan tautan kuesioner daring kesehatan gigi anak.

Guru-guru dibekali dengan materi video dan tutorial bagaimana melakukan foto gigi anak yang tepat dalam lima posisi berbeda dan bagaimana menggunakan aplikasi penyimpan foto.

Pada gilirannya, para guru dapat memandu orang tua murid untuk mengunggah data foto gigi. Penanggung jawab UKGS selanjutnya melakukan diagnosis dari foto yang dikumpulkan, menginput data klinis untuk dianalisis, mengolah dan menyajikannya sebagai sebagai data status kesehatan gigi anak.


Read more: Tiga cara tingkatkan layanan kesehatan via online di Indonesia yang makin populer saat pandemi


Terus menjaga kesehatan

Karena situasi dan perkembangan pandemi belum mereda, kita berharap berbagai upaya dan inovasi layanan kesehatan gigi yang telah dikembangkan dapat terus digunakan pasca pandemi.

Ke depan, masyarakat dapat secara lebih mandiri memelihara kebersihan gigi dan mulut guna mencegah terjadinya penyakit gigi dan mulut.

Masyarakat juga dapat terus memanfaatkan fasilitas teledentistry dan merawat gigi dan mulut ke fasilitas pelayanan kesehatan bila memerlukan.

Kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut serta ketersediaan layanan protokol kesehatan di fasilitas kesehatan dapat mengurangi kenaikan kasus penyakit gigi dan gusi di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now