Menu Close
Hutan gambut di Desa Parupuk, Katingan, Kalimantan Tengah. (Nanang Sudjana/CIFOR)

Kehilangan gambut berarti kehilangan aset Indonesia berusia 13 ribu tahun

Gambut adalah tanah basah yang tersusun dari daun-daun dan material organik selama berabad-abad.

Di Indonesia, luas hutan dan rawa gambut sekitar 21 juta hektare atau lebih dari sepertiga (36%) dari total lahan gambut tropis di dunia.

Pakar kehutanan IPB University, Daniel Murdiyarso, mengatakan gambut adalah aset penting bagi indonesia. Selain menyerap karbon yang sangat besar, gambut juga berperan menjaga pasokan air bersih, habitat makhluk hidup, serta sumber penghidupan penting bagi masyarakat di sekitarnya.

Sayangnya, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menyatakan hanya 4,02 juta hektare atau 16% dari total luas kawasan gambut Indonesia yang masih dalam kondisi baik. Sisanya rusak ringan hingga sangat berat. Kerusakan terjadi karena alih fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian, pertambangan, ataupun kebakaran.

Menurut Daniel, seluruh masyarakat Indonesia harus menjaga ekosistem ini. Kehilangan gambut, kata dia, sama saja dengan kehilangan ‘barang antik’ berusia 13.500 tahun.

“Barang antik ini harus dijaga agar utuh, menarik, dan berguna. bukan cuma jadi tontonan tapi berguna bukan hanya indonesia tapi juga dunia,” ujar Daniel dalam peluncuran Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah di Indonesia: Ekosistem Gambut dan Mangrove oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pekan lalu.

Memanfaatkan gambut

Daniel mengatakan, upaya pelestarian gambut Indonesia harus terkait dengan kehidupan sehari-hari yang dekat warga sekitar. Dia mengaku terinspirasi dari warga di Jambi yang Daniel temui saat tengah meneliti potensi pembangunan ramah lingkungan beberapa tahun silam. Warga tersebut hidup bersama ekosistem gambut dengan mencangkul serta memanfaatkannya untuk menjadi sumber nafkah.

“Intinya bahwa mereka sudah di situ lama sekali dan bergantung pada gambut. Dia bilang, kenapa kita harus mencari yang belum kita punya dan sulit didapat karbon itu. Di sini banyak yang saya cangkul setiap hari, kenapa enggak dimanfaatkan? ” kata dia.

Warga menerapkan paludikultur di kawasan gambut Siak, Riau. (Pemerintah Siak)

Penelitian juga menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan gambut bisa dilakukan melalui paludikultur (pertanian di rawa dengan tanaman yang tahan hidup di air seperti sagu, pare, maupun kangkung).

Pemilihan komoditas yang sesuai dapat membuat teknik ini dapat berkontribusi terhadap kelestarian gambut sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencegah kerusakan gambut meluas, Indonesia melarang penerbitan izin di atas lahan gambut secara permanen sejak 2019. Presiden Joko Widodo juga menetapkan target pemulihan lahan gambut seluas 1,6 juta hektare.

Nah, dokumen Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah yang diterbitkan Bappenas diharapkan mempercepat pemulihan lahan gambut. Dokumen ini juga menjadi dasar untuk pengembangan perekonomian berbasis gambut maupun mangrove bagi masyarakat sekitar.

Strategi ini akan dimasukkan dalam dokumen perencanaan jangka panjang maupun jangka menengah pemerintah. Tujuannya untuk penyelarasan program terkait gambut dan mangrove dapat harmonis dengan strategi tersebut.

Pemulihan gambut berbasiskan sains

Warga melakukan pemeliharaan selat kanal di areal lahan gambut untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan. (Antara)

Peatland Restoration Technical Expert dari World Resources Institute, Eli Nur Nirmala Sari, sempat mengulas pentingnya pelaksanaan restorasi gambut yang berbasiskan sains. Jika pemulihannya dilaksanakan setengah-setengah, lahan gambut justru bisa melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer, bahkan tetap rawan terbakar.

Salah satu yang patut diperhatikan, kata dia, adalah penerapan standar pemulihan lahan gambut yang sesuai dengan karakteristik asli di daerah masing-masing.

Saat ini, untuk program pembasahan kembali (rewetting), misalnya, pemerintah masih memukul rata standar kebasahan berupa tingkat muka air (TMA) paling rendah 40 cm di bawah permukaan gambut. Tujuannya untuk menjaga gambut tetap basah guna meredam pelepasan emisi sekaligus mencegah kebakaran.

“Kami menghitung pembatasan tingkat muka air 40 cm atau pembatasan drainase 40 cm, akan tetap menghasilkan emisi sebesar 9,8 ton karbon (tC) per hektare per tahun. Perhitungan ini berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan, setiap penurunan 10 cm tinggi muka air pada lahan gambut akan melepaskan emisi sebesar 2,45 tC/ha/tahun,” tulis Eli dalam artikelnya di The Conversation Indonesia.

Eli menyarankan pemerintah mengganti standar 40 cm tersebut menjadi standar gambut ‘basah’ untuk menghindari kerancuan pengukuran tinggi muka air gambut di lapangan. Standar ini dianggap dia lebih mudah dipantau menggunakan penginderaan jauh dibandingkan dengan parameter tinggi muka air tertentu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now