Menu Close

Kekayaan sejarah tentang kecintaan kita pada kemewahan

Louis Vuitton
Jules Beau, CC BY-NC-ND

Di masa kini, dengan satu atau lain cara, orang yang dianggap relatif tak mampu secara ekonomi pun bersentuhan dengan kemewahan.

Jika Anda menikmati pendingin ruangan, akses pencahayaan, daging ayam atau coklat, Anda tengah berkelindan dengan apa yang dulunya dianggap mewah.

Hal-hal yang dianggap – dan tak dianggap – sebagai kemewahan berubah seiring waktu.

Kemerosotan dan kemewahan

Ketika kita mendeskripsikan makanan penutup sebagai sesuatu yang “menggugah selera” (decadent), kita harus mengingat bahwa kata ini berhubungan dengan “kemunduran” (decaying), konsep yang erat terkait dengan “Romans of the decadence” (masyarakat Romawi pada era kemunduran) yang gaya hidup mewahnya menjadi bukti mengapa kekaisaran ini harus ambruk.

Masyarakat Romawi melihat kemewahan sebagai sesuatu yang pada dasarnya asing dan karenanya berbeda dengan semangat asli dan kuno dari polis Romawi. Ini mengapa kemewahan kerap direpresentasikan sebagai sesuatu yang oriental atau datang dari “Timur”, asal muasal wewangian, rempah-rempah, permata, gading, dan budak yang langka.

Sebagai hasilnya, Kekaisaran Romawi memperkenalkan hukum terkait pengeluaran, demi mengatur konsumsi untuk pakaian dan perhiasan mahal, serta untuk pengeluaran seperti perjamuan dan bahkan pemakaman.

Langkah ini penting, sebab masyarakat Romawi pada zaman itu begitu menikmati kemewahan yang semarak. Mereka doyan menikmati kelezatan seperti unggas yang digemukkan, burung merak, tiram, ham, babi hutan dan burung sikatan yang dimakan utuh – terkadang semuanya dikombinasikan di dalam kulit paté walaupun ini dilarang oleh regulasi soal pengeluaran yang baru dikeluarkan saat itu.

Kemewahan bahkan ditemukan dalam perbudakan. Juvenal, penyair Romawi, berkomentar satir tentang bagaimana dibanding pembantu rumah tangga yang tak tampak elok, lebih baik menghadirkan sekumpulan budak pria cantik berseragam (exoleti) – yang ditata berdasarkan kebangsaan, ukuran tubuh, dan warna rambut – untuk menyajikan minuman.

Gaya konsumsi ini berlangsung selama periode yang panjang. Pada abad ke-19, misalnya, ada kesan mewah dari memiliki sejumlah pelayan laki-laki yang ukuran badannya serupa, dan masyarakat era Victoria menikmati perjamuan yang dirancang dengan detail dan dengan hidangan beraneka rupa.

Marissa Grootes/ Unsplash

Ikuti uangnya

Memasuki pertengahan abad ke-19, di kala ongkos pajak dan buruh masih rendah, kekayaan yang berasal dari industri baru menciptakan kemakmuran melimpah.

Penduduk Amerika Utara menjadi yang terkaya di dunia. Clare Booth Luce, yang sempat menikah dengan pemilik majalah kesohor Time dan Life, berkata:

Di Amerika, uang merupakan benda yang tak terlalu berharga untuk dihabiskan ketimbang dihasilkan. Nilainya tak terlalu menjadi simbol kemewahan dibanding kesuksesan, korupsi dibandingkan kebaikan.

Namun, walau orang-orang Amerika pintar menghasilkan uang, mereka tampaknya membutuhkan orang-orang Eropa untuk menghabiskannya. Sejumlah besar perempuan Amerika menikahi aristokrat Eropa pada akhir abad ke-19 dan dikenal dengan julukan “putri dolar”, istilah yang muncul dari sebuah lagu populer. Aristokrat Inggris, sebagai gantinya, menikah dan menikmati kekayaan orang-orang Amerika ini.

Antara 1890-1914, separuh dari peredaran uang dunia mengalir melawati London. Para Putri Dolar mengelurkan kocek untuk merenovasi dan memodernisasi rumah-rumah megah, diabadikan dalam foto saat mereka menyeberangi Samudera Atlantis dengan lusinan koper, dan mengayomi sejumlah bisnis mewah seperti perhiasan, fesyen, perangkai bunga, dan katering.

Kedatangan para putri mahkota Amerika ini berbarengan dengan sejumlah tantangan yang tengah dihadapi oleh aristokrat Inggris – termasuk pajak kematian, kenaikan pajak pemasukan, dan The Great Unrest, demo buruh besar-besaran pada 1912.

Hidup dengan gaya

Antara akhir abad ke-19 dan awal perang dunia pertama, kemewahan banyak dilaporkan dan dikomentari dalam buku harian dan memoar. Pesta rumah – kegiatan yang kala itu sering dicatat – dicirikan dengan jumlah makanan yang berlebihan dengan kemewahan yang luar biasa, dekorasi bunga yang rumit, dan sejumlah besar pelayan.

Banyak kemewahan ini yang berasal dari Prancis. Raja Inggris Edward VII pun terkenal sebagai pengagum negeri kiblat mode tersebut. The Entente Cordiale – deretan perjanjian antara Inggris dan Prancis pada 1904 – menguntungkan perdagangan dan pariwisata antara kedua negara.

Louis Vuitton membuka tokonya di Bond St, sebuah jalan di London, pada 1900. Kopernya yang didesain untuk berpergian dengan mobil, berbentuk rata dan bisa ditumpuk, menggantikan desain lama yang berbentuk cembung untuk menghadang air.

Merek perhiasan dan jam mewah Cartier pun membuka tokonya di London pada 1902. Begitu pula Faberge. Hotel Ritz Paris beroperasi pada 1898, sementara Hotel London Ritz Hotel dibuka pada 1905, didekorasi dengan warna putih dan emas ala Louis XVI yang tengah trendi.

Masa perang

Ini adalah periode ketika perempuan-perempuan kaya hadir bergelimang perhiasan: Kenneth Clark, sejarawan seni, menuliskan tentang bagaimana dalam sebuah pesta di New York, Amerika Serikat, pada 1930, para perempuan “bahkan membawa-bawa perhiasan di tangannya dan meletakkannya di meja makan. Ini bisa saja terjadi di Abad Pertengahan.”

Nyonya Greville, salah satu perempuan terkaya di Inggris (anak dari pembuat bir asal Skotlandia), begitu mencintai perhiasaannya – yang kepemilikannya bisa dilacak hingga Ratu Prancis Marie Antoinette dan istri Napoleon Bonaparte pada masa kekaisaran, Josephine.

Ratu Inggris Elizabeth II, yang merupakan pecinta kemewahan dan merupakan figur era Edwardian, mewarisi berbagai perhiasan penting dari Nyonya Greville pada 1942, temannya sejak ia masih menjadi Duchess of York.

Namun, seperti yang dicatat Elizabeth dalam buku hariannya, ia tak menggunakan perhiasan mewah Cartier dan Boucheron hingga 1947, agar tak terlihat tak selaras dengan semangat pascaperang untuk bersahaja. Memboroskan uang untuk tampil mewah berisiko bertabrakan dengan moral masyarakat pada masa itu.

Simon Launay/ Unsplash

Elizabeth menggunakan semua perhiasan milik Nyonya Greville pada pesta ulang tahunnya yang ke-80. Sekarang, perhiasan-perhiasan tersebut jadi milik Ratu Camilla. Mengingat Camilla merupakan cicit dari “selir” Edward VII, Nyonya Keppel, transisi kepemilikan perhiasan era Edwardian ini bak jadi cerita utuh.

Nyonya Greville meninggalkan properti senilai £39 juta (Rp 636,4 miliar) pada 1940-an. Ini jumlah yang tak seberapa jika dibandingkan kekayaan para konglomerat sekarang.

Pebisnis tambang asal Australia, Gina Rinehart – misalnya – memiliki kekayaan antara A$28,8-A$31,4 miliar (Rp 305,5-Rp 332,9 trilliun). Ia diam-diam menghabiskan hari-harinya di Dalkeith Perth, Australia, di rumah almarhum ayahya, serta di kompleks tertutup di Singapura dan di sebuah kapal pesiar.

Kemewahan di masa kini

Pada masa kini, kemewahan terlihat sebagai perwujudan dari meningkatnya kesenjangan pendapatan di dalam negara dan masyarakat, dan di antara bangsa-bangsa di dunia. Ini bukan hal baru, walaupun kemewahan dan kesenjangan di masa lalu lebih dipandang sebagai bagaimana masyarakat hirarkis harusnya tersusun: dimaklumi, alih-alih dilihat sebagai masalah.

Kemewahan bukanlah penyebab kesenjangan, walaupun bisa saja kemewahan adalah salah satu dampak dari kesenjangan itu sendiri. Ketika masyarakat bertujuan untuk mencapai keadilan pendapatan dan pemerataan sosial (seperti yang dilakukan oleh masyarakat pascaperang), kemewahan – atau minimal diskusi publik tentang kemewahan – tampak padam. Sebaliknya, masyarakat masa kini yang 1% dari populasinya menguasai 49% kekayaan dunia – membuat kemewahan mencolok di permukaan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now