Menu Close

Kekerasan seksual berbasis elektronik : bagaimana UU TPKS melindungi korban?

Kekerasan seksual berbasis elektronik : bagaimana UU TPKS melindungi korban?

Kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga terjadi ke ranah elektronik atau online. Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan melakukan perekaman dan atau mengambil gambar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek perekaman.

Salah satu kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang belakangan ramai diperbincangkan adalah kasus yang sedang dialami oleh seorang aktris lokal bernama Rebecca Klopper. Rebecca menjadi korban setelah sebuah video intim yang berdurasi kurang dari satu menit menampilkan seorang perempuan yang diduga adalah Rebecca.

Laporan Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual berbasis elektronik mengalami peningkatan yang sangat tajam dalam kurun waktu 2017 - 2021. Dari hanya 16 laporan pada tahun 2017, jumlahnya meningkat drastis menjadi 1.721 pada tahun 2021.

Pemerintah sebenarnya sudah membuat peraturan untuk menangani kasus kekerasan seksual ini dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-undang ini sudah disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan April tahun 2022.


Read more: Pakar Menjawab: UU TPKS sudah sah! Apa yang patut dirayakan dan apa yang kurang?


Lalu, bagaimana UU tersebut mengatur permasalahan kekerasan seksual berbasis elektronik? Seperti apa bentuk perlindungan terhadap korban?

Dalam episode terbaru SuarAkademia kali ini, kita berbincang dengan M. Fatahillah Akbar, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


Read more: UU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?


Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now