Menu Close
Jumlah perempuan yang berkarir di bidang STEM masih sedikit dan peningkatannya pun lambat. Image by Freepik.

Kenaikan partisipasi perempuan di bidang STEM lambat: terhambat sejak hulu hingga hilir

Menurut Sima Bahous, Direktur Eksekutif UN Women, salah satu bentuk perjuangan keseteraan gender adalah membentuk program untuk mendorong perempuan masuk dan berkarier di bidang STEM (science, technology, engineering, dan mathematics).

Representasi gender yang setara dapat berkontribusi menurunkan kesenjangan upah berdasarkan gender (gender pay gap), karena menurut World Economic Forum, bidang STEM merupakan bidang yang memiliki remunerasi atau pemberian imbalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bidang lain, seperti kerja keperawatan (care work).

Dengan meningkatnya representasi perempuan di bidang STEM, akan semakin banyak pula individu yang berfokus pada isu-isu perempuan dalam STEM. Misalnya, proses desain sabuk pengaman mobil yang selama ini membahayakan perempuan, karena boneka peraga yang digunakan untuk uji keselamatan didesain dengan ukuran badan laki-laki, dapat diperbaiki.

Contoh lainnya, pengembangan obat dan alat kesehatan bisa mulai mempertimbangkan kebutuhan perempuan, seperti alat kontrasepsi yang lebih aman dan nyaman untuk perempuan, atau menggeser fokus ke pengembangan alat kontrasepsi untuk laki-laki, karena pil kontrasepsi yang ada sekarang memberikan dampak hormonal yang dapat mengganggu keseharian perempuan.

Sayangnya, tingkat kenaikan partisipasi perempuan yang masuk di bidang STEM masih sangat lambat. Secara global, sejak tahun 2015 sampai 2023, persentase perempuan di bidang STEM hanya meningkat sebanyak 1,6%, dari 27,6% menjadi 29,2%. Sementara di Indonesia, jumlah perempuan yang bekerja di sektor teknologi hanya sebesar 27%, jumlah akademisi perempuan di institut teknologi hanya sebesar 35,7%, dan dokter perempuan yang menempuh studi spesialis hanya sebanyak 41,6%..

Lambatnya kenaikan ini disebabkan oleh banyak faktor yang tersebar dari hulu hingga hilir. Berikut beberapa di antaranya:

1. Kuatnya stereotip gender

Di bagian ‘hulu’, masyarakat memiliki stereotip gender yang sangat kuat dalam mengarahkan preferensi setiap individu untuk memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan gender yang dilekatkan pada dirinya. Perempuan seringkali diasosiasikan, distereotipkan, dan diarahkan untuk fokus pada kerja-kerja keperawatan. Hal ini mempersulit perempuan untuk masuk ke dalam STEM.

Tekanan lingkungan membuat perempuan tidak bebas memilih karir di bidang STEM. Image by Freepik.

Bahkan, tekanan lingkungan membuat perempuan yang sudah memiliki pendidikan berlatar belakang STEM, memiliki orientasi karier (career oriented), tidak ingin menikah di usia muda atau segera memiliki anak, tetap mengalami kesulitan untuk masuk dan berkarier di STEM dibanding laki-laki. Inilah mengapa bidang STEM masih didominasi laki-laki.

2. Bias algoritma

Dalam proses pengiklanan lowongan kerja, terdapat bias algoritma yang menyebabkan perempuan tidak terpapar iklan lowongan kerja sebanyak laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari London Business School, Inggris dan Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa iklan pekerjaan di bidang STEM yang awalnya ditujukan untuk semua gender, secara algoritmik, justru bersifat diskriminatif gender.

Algoritma iklan bekerja untuk mengoptimalkan dan mementingkan efektivitas biaya. Namun, perempuan muda merupakan kelompok demografis dengan biaya iklan yang lebih mahal dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya, secara empiris, iklan lebih banyak ditampilkan kepada kelompok demografis laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini tentu merugikan perempuan sebagai calon pekerja di bidang STEM.

3. ‘Employer’ tidak adil sejak awal

Dalam proses rekrutmen, perempuan juga menghadapi bias gender dari employer. Penelitian eksperimental terhadap 213 manajer di bidang STEM di Inggris menunjukkan bahwa manajer laki-laki cenderung memiliki in-group gender favoritism dalam merekrut calon pegawai. Secara lebih spesifik, manajer laki-laki cenderung mementingkan kemampuan calon pegawai perempuan untuk bekerja lembur, namun tidak mementingkan kemampuan ini pada calon pegawai laki-laki.

Padahal, secara umum jumlah pegawai dan manajer laki-laki di bidang STEM relatif lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mengakibatkan semakin kecilnya kemungkinan perempuan dapat memiliki kesempatan untuk masuk dan diterima sebagai pekerja.

4. Diskriminasi di tempat kerja

Pada bagian ‘hilir’, ketika sudah berhasil masuk, perempuan juga masih mengalami diskriminasi karena tidak seimbangnya persentase gender di sana. Perempuan tidak dianggap sebagai figur otoritas, meskipun ia telah menjadi atasan. Perempuan harus menunjukkan legitimasinya sebagai seorang profesional dengan cara melakukan usaha ekstra untuk membangun relasi yang positif dengan kolega di kantor. Usaha semacam ini tidak perlu dilakukan oleh laki-laki dengan posisi yang sama.

Bahkan, terdapat efek ‘glass-cliff bagi perempuan, yaitu mudahnya perempuan untuk diturunkan dari posisi pemimpin ketika ia melakukan kesalahan dibandingkan dengan laki-laki dengan posisi dan kesalahan yang sama.

Misalnya, ketika perempuan melakukan kesalahan dalam menentukan kebijakan atau mengambil keputusan, ia akan mendapatkan penilaian yang lebih buruk dibandingkan laki-laki. Perempuan juga akan dinilai lebih tidak kompeten, sehingga meningkatkan risiko untuk diturunkan dari posisinya.

Perlunya dukungan di setiap level

Ketika sudah berhasil memasuki industri STEM, perempuan masih membutuhkan dukungan untuk dapat maju dan berhasil di kariernya. Kajian literatur yang bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan akademisi perempuan di STEM, menunjukkan perlunya upaya katalisasi agar perempuan dapat bertahan dan menembus ‘glass-ceiling’ di STEM.

Penelitian ini menggunakan model sosio-ekologis dan menunjukkan bahwa agar perempuan dapat mengembangkan talenta dan karier di STEM, perlu ada dukungan di berbagai level: (1) Level individu, untuk mengembangkan karakteristik dan nilai diri; (2) Level relasi, berupa dukungan sosial yang positif; (3) Level institusi, berupa dukungan dari atasan dan kebijakan di institusi; Hingga (4) level kultural, berupa perubahan budaya kerja di STEM yang umumnya tidak ramah bagi perempuan.

Tantangan untuk mendorong perempuan masuk ke STEM harus diatasi di semua jenjang, dari hulu hingga ke hilir. Harapannya, upaya ini tidak hanya berdampak pada level individu saja (seperti aktualisasi diri perempuan), namun juga untuk masyarakat luas (kesetaraan hak dan penghargaan terhadap perempuan secara umum). Untuk mencapai cita-cita ini, perlu ada investasi di semua jenjang, karena berinvestasi pada perempuan adalah berinvestasi pada peradaban.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now