Menu Close

Kerap berubah-ubah, mengapa kebijakan minyak sawit Indonesia tidak efektif

Sejumlah warga mengantre untuk membeli minyak goreng kemasan saat peluncuran minyak goreng kemasan rakyat (MinyaKita) di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kementerian Perdagangan meluncurkan minyak goreng curah kemasan sederhana dengan harga Rp14.000 per liter. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

Dalam upayanya menstabilkan harga minyak goreng dan kesenjangan pasokan dan permintaan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), pemerintah Indonesia mengambil berbagai kebijakan intervensi.

Namun, langkah intervensi yang ditempuh pemerintah cenderung tidak bertahan lama dan lebih sering menciptakan masalah daripada mengatasinya.

Indonesia memang tengah menghadapi krisis harga minyak goreng yang tak terkontrol sejak akhir tahun lalu – akibat kelangkaan pasokan, permasalahan distribusi, dan faktor internasional seperti Perang Rusia-Ukraina.

Sementara, harga CPO terus menanjak sejak Mei 2020. Harga CPO pada Mei 2022 menunjukkan peningkataan hingga 52,23% dari rata-rata harga komoditas tersebut pada 2021 – meroket dari Rp 10.795 per kg menjadi Rp 16.433 per kg.

Lonjakan harga dan kurangnya pasokan merupakan imbas dari situasi di dalam dan di luar negeri. Perang antara Rusia dan Ukraina, misalnya, membuat pasokan minyak nabati anjlok di pasar internasional. Faktor lainnya mengikutsertakan peningkatan alokasi CPO sebagai campuran biofuel dan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia akibat gangguan cuaca.

Sayangnya, intervensi pemerintah dalam mengatasi persoalan perdagangan dan distribusi CPO tidak membawa hasil yang memuaskan. Perubahan kebijakan berulang kali dilakukan sejak awal tahun, menunjukkan rentetan kegagalan pemerintah untuk memastikan akses konsumen ke minyak goreng murah dan pemasukan yang produktif bagi petani.


Read more: Harga minyak goreng melonjak di negara produsen kelapa sawit terbesar. Ada apa?


Kebijakan jangka pendek

Pertama, pemerintah menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET), kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO), dan kewajiban harga domestik (domestic price obligation/DPO). Namun, kebijakan-kebijakan ini terbukti tidak efektif dalam memastikan ketersediaan pasokan minyak goreng dengan harga yang terjangkau bagi konsumen di dalam negeri.

Pemerintah menetapkan kebijakan DMO dan DPO pada awal tahun ini, mencabutnya pada Mei, sebelum mengimplementasikannya kembali pada Juni.

Kebijakan DMO mewajibkan perusahaan untuk mendistribusikan 1 liter minyak goreng untuk konsumsi domestik setiap melakukan ekspor 3 ton CPO. Sementara, DPO mendorong perusahaan membeli kelapa sawit dalam rentang harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Mulai Juli, pemerintah menjanjikan bahwa konsumen dapat membeli minyak goreng curah dengah harga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg melalui aplikasi PeduliLindungi atau dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP). Hal ini bertujuan untuk melacak pembelian dan membatasi transaksi minyak curah maksimal 10 kg per orang tiap harinya.


Read more: Akses gawai dan literasi digital rendah, MyPertamina dan PeduliLindungi malah bisa halangi pemberian subsidi


Melalui instrumen-instrumen ini, pemerintah berupaya memastikan ketersediaan pasokan CPO di pasar domestik. Akan tetapi, kompleksitas faktor di dalam negeri –- seperti serapan minyak sawit untuk biodiesel, struktur pasar, produktivitas, dan logistik – membuat kebijakan ini gagal mengamankan pasokan bahan mentah untuk industri minyak goreng.

Kedua, pemerintah memberlakukan larangan ekspor, dengan harapan bahwa tersedianya CPO di dalam negeri dapat mengerem laju kenaikan harga minyak goreng. Sayangnya, alih-alih menjaga harga minyak goreng tetap rendah, langkah ini justru menimbulkan aksi protes dari petani karena harga tandan buah segar tersungkur.

Ketiga, pemerintah mencabut larangan ekspor karena melihat adanya potensi kenaikan pasokan, dan menggantinya dengan kebijakan berumur pendek lainnya: mendorong percepatan ekspor CPO secara besar-besaran.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, kebijakan percepatan ekspor yang diluncurkan pada Juni ini bertujuan untuk mengekspor minimal 1 juta ton CPO hingga 31 Juli 2022. Dengan meningkatkan penyerapan CPO lewat pasar ekspor, pemerintah berharap bahwa harga yang dibayarkan ke petani pun akan naik.

Aturan ini mengizinkan pelaku usaha yang tidak terdaftar dalam sistem informasi minyak curah (SIMIRAH) untuk dapat mengekspor CPO, dengan membayarkan tambahan biaya sebesar US$ 200 (Rp 3 juta) per ton ekspor.

Hingga kini, belum terlihat apakah peraturan ini dapat membantu menstabilkan harga tandan buah segar.

Sejak keran ekspor kembali dibuka, pemerintah telah menerbitkan 251 izin ekspor yang mencakup total 302.000 ton CPO.

Akan tetapi, permintaan CPO melemah pada Mei dan Juni. Dua pasar ekspor CPO terbesar Indonesia, yakni Cina dan India, mengurangi impor komoditas ini.

Pada Mei, impor CPO India berkurang 10% dari bulan sebelumnya menjadi 514.022 ton. Sementara, impor CPO Cina pada kuartal pertama tahun ini anjlok hingga 65,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Jika lockdown yang tengah berlangsung di Cina menjadi biang keladi berkurangnya impor CPO di negara tersebut, penurunan permintaan dari India dipengaruhi oleh meningkatnya impor minyak nabati lain seperti kedelai dan bunga matahari.

Pengaruh kebijakan CPO pemerintah terhadap perdagangan global

Menyusul diluncurkannya program percepatan ekspor, harga CPO global pada minggu kedua Juni jatuh hingga 8,02% dari minggu sebelumnya dan 11,23% dibandingkan sebulan sebelumnya.

Pada penutupan perdagangan tanggal 10 Juni 2022, kontrak berjangka CPO untuk Juni, Juli, dan Agustus menurun hingga 6,31%, 7,97%, dan 8,26% secara berurutan.

Ini menunjukkan adanya kelebihan pasokan CPO di pasar global akibat melonjaknya ekspor dari Indonesia. Namun, selama permintaan CPO di pasar global masih rendah, kita hanya bisa mendongkrak harga tandan buah segar dengan mendorong ekspor.

Menurut studi Bank Dunia, negara-negara pengekspor komoditas kerap berupaya memitigasi ketidakstabilan pasar dengan meregulasi pasokan. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa upaya tersebut bisa merugikan dan kerap kontraproduktif.

Larangan ekspor Indonesia bisa menjadi contoh.

Perubahan drastis dari sisi pasokan akibat larangan ekspor nyatanya membawa dampak buruk seperti ambruknya harga tandan buah segar. Belum lagi, penelitian tersebut menunjukkan bahwa beberapa negara menggantungkan ekspornya hanya pada sedikit komoditas. Krisis harga yang tengah berlangsung seharusnya menjadi pengingat bagi negara-negara ini, termasuk Indonesia, untuk melakukan diversifikasi ekonomi dan menemukan alternatif yang berkelanjutan terhadap perdagangan komoditas.

Bagaimana pemerintah harus menyikapi hal ini?

Berkaca pada kebijakan intervensi kelapa sawit, sudah selayaknya pemerintah meningkatkan kepastian tata kelola perdagangannya dengan menghindari perubahan kebijakan yang dilakukan secara dadakan dan memangkas birokrasi yang berbelit, seperti upaya verifikasi pemenuhan DMO.

Alih-alih menawarkan program percepatan ekspor sebagai jalan pintas, mengurangi kebijakan yang plin-plan dan simpang siur birokrasi di sektor perdagangan dapat mendorong distribusi, mengurangi timbunan produksi, dan meningkatkan penyerapan kelapa sawit.

Di sisi lain, pemerintah juga harus melindungi konsumen rentan di tengah kondisi sulit ini dengan menyediakan subsidi pangan yang lebih tepat sasaran, seperti melalui bantuan non-tunai.

Tentu saja, hal ini menjadi tumpukan pertanyaan yang harus dijawab mengenai langkah perdagangan Indonesia ke depan. Dengan adanya pergantian menteri perdagangan, kita masih belum bisa menebak arah kebijakan harga kelapa sawit dan pangan Indonesia.

Selain itu, kita perlu mengingat rumitnya rantai nilai kelapa sawit, yang membutuhkan tidak hanya instrumen perdagangan namun juga ketepatan kebijakan pertanian dan tenurial, alat fiskal, bantuan sosial, logistik, dan infrastruktur.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now