Menu Close
Pemasangan rel untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Pemasangan rel untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Raisan Al Farisi/Antara Foto

Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Melihat peran Luhut, Rini Soemarno, dan Ridwan Kamil dalam memuluskan hubungan Cina-Indonesia

Hubungan antara Cina dan Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi, tidak selalu berjalan mulus. Salah satu alasannya adalah karena negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini memiliki sejarah kelam dengan paham komunisme – paham yang hingga kini dianut oleh Cina.

Di Indonesia, eksistensi paham komunisme sudah dilarang sejak insiden dugaan upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada akhir 1960-an.

Kendati demikian, jalinan persahabatan antara Cina dan Indonesia justru semakin intens dalam beberapa tahun terakhir. Mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau High-Speed Railway (HSR) yang disokong oleh Cina menjadi salah satu poros kerja sama yang kuat antar kedua negara.

Hubungan Cina-Indonesia yang kian erat ini tak lepas dari peran dan keterlibatan individu-individu tertentu dalam pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Luhut sebagai tokoh sentral

Proyek KCJB yang sedang berlangsung ditengarai menjadi faktor yang memperkuat jalinan kerja sama Beijing-Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga merupakan salah satu penasihat terdekat Jokowi, dianggap sebagai tokoh sentral dan aktor penting dalam memuluskan hubungan kedua negara.

Dalam berbagai pernyataan publik, Luhut kerap kali menjabarkan alasan Indonesia membutuhkan Cina, serta mengatakan bahwa proyek-proyek yang didanai oleh Cina berkontribusi positif dalam membantu pertumbuhan ekonomi di tanah air.

Ketika Cina mengklaim secara sepihak teritori Laut Cina Selatan (LCS), yang merupakan teritori negara-negara Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, Luhut beropini bahwa Cina tidak berniat berkonflik dengan Indonesia dan mengajak publik untuk tidak membesar-besarkan isu ini.

Sikap Luhut yang amat lunak terhadap Cina dan sangat terbuka akan investasi dari negara tersebut menuai kekecewaan dari masyarakat.

Luhut juga sering kali menjadi garda terdepan yang membela kebijakan untuk mendatangkan pekerja Cina ke Indonesia, walau isu sensitif ini telah menuai penolakan dari penduduk setempat.

Luhut juga sering kali menjadi garda terdepan yang membela kebijakan untuk mendatangkan pekerja Cina ke Indonesia, walau isu sensitif ini telah menuai penolakan dari penduduk setempat.

Alih-alih merevisi kebijakan tersebut, Luhut justru berulang kali berpendapat bahwa penolakan tersebut tidak perlu menjadi isu besar karena menurutnya jumlah pekerja Cina di Indonesia sangatlah kecil, sehingga mereka tidak akan mengambil jatah pekerjaan penduduk lokal.

Luhut juga mengklaim bahwa Indonesia tidak cukup memiliki insinyur berkualitas yang memadai untuk bekerja pada proyek-proyek yang dipimpin Cina, sehingga Indonesia perlu mendatangkan pekerja Cina dengan kompetensi tertentu.

Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, mengatakan saat dihubungi oleh The Conversation Indonesia bahwa hubungan diplomatik kedua negara memang sudah terjalin sejak 13 April 1950 dan mencapai level tinggi sejak disepakatinya “Kemitraan Strategis Komprehensif” melalui pernyataan bersama antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013.

Jadi, menurut Jodi, tidak ada relevansinya antara proyek KCJB dengan peran Luhut. Walaupun memang secara umum Luhut menjadi figur penting yang membantu mempererat hubungan Jakarta dengan Beijing, namun tidak hanya terkait KCJB secara khusus.

Jodi juga mengatakan bahwa “hubungan Indonesia-Cina nyatanya saling menguntungkan”.

Selain Luhut, terdapat dua tokoh lain yang memiliki dampak signifikan bagi perkembangan hubungan Cina-Indonesia, khususnya dalam keterlibatan proyek HSR, yakni Rini Soemarno, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat.

Rini sebagai penyelamat proyek KCJB

Banyak pengamat dan analis politik berpendapat bahwa KCJB berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia, karena khawatir keterlibatan Cina dapat meningkatkan pengaruhnya atas dinamika politik dan kebijakan domestik.

Awalnya, kandidat utama dan pertama untuk proyek pembangunan kereta cepat tersebut adalah Jepang, tetapi Jokowi akhirnya memilih Cina. Salah satu alasannya adalah karena Cina berjanji untuk dapat menyelesaikan pembangunan selama kampanye presiden pada tahun 2019 berlangsung, sehingga realisasi proyek ini diharapkan dapat memberikan dorongan peluang bagi Jokowi untuk terpilih kembali.

Namun, memilih Cina sebagai negara mitra untuk proyek vital ini tidaklah mudah. Oposisi datang dari bawahan dan rival Jokowi saat itu, yakni Ignasius Jonan, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Menhub). Selain itu, kelompok oposisi yang memiliki kaitan erat dengan militer juga berkali-kali menolak rencana pembangunan KCJB, di antaranya karena alasan teknis, termasuk ketidaksepakatan mengenai rute atau jalur yang direncanakan.

Jonan juga telah berupaya melobi perusahaan Jepang untuk membantu memodernisasi sistem transportasi publik Indonesia yang masih jauh tertinggal. Upaya tersebut mendapat tanggapan positif dari Jepang.

Di tingkat daerah, Bupati Bandung Barat kala itu, Aa Umbara Sutisna, yang kini telah dinonaktifkan dan divonis bersalah atas kasus korupsi, juga menolak proyek tersebut dan mempertanyakan implementasi KCJB di wilayahnya.

Daripada memberikan izin pembangunan, ia lebih memilih meminta PT. Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), kontraktor yang didapuk oleh pemerintah dalam pembangunan KCJB, untuk membangun fasilitas pendukung saja di wilayahnya, seperti jembatan.

Militer Indonesia juga muncul sebagai pihak oposisi yang tegas menolak keterlibatan Cina dalam proyek tersebut dengan menyuarakan narasi yang mengaitkan Cina dengan radikalisasi komunis di Indonesia sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an.

Prabowo Subianto, yang maju lagi sebagai calon presiden pada 2019 lalu, turut mengangkat polemik ini. Prabowo, yang kini menjabat Menteri Pertahanan di bawah pemerintahan Jokowi, beberapa tahun silam pernah mengkritik tajam keterlibatan Jokowi dalam proyek-proyek Cina, khususnya KCJB.

Dalam kampanyenya dulu, Prabowo berjanji untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek-proyek tersebut jika ia terpilih sebagai presiden. Ia juga menekankan bahwa “Indonesia harus mendapatkan kesepakatan yang lebih baik” dan bahwa kemitraan dengan Cina “harus menguntungkan rakyat Indonesia”.

Kendati demikian, hingga kini, proyek KCJB masih menghadapi berbagai masalah serius, termasuk isu penundaan proyek, pembengkakan biaya, serta perusakan lingkungan.

Sebagai gantinya, kini Rini muncul sebagai sekutu setia Jokowi yang terus mendorong realisasi proyek tersebut di barisan depan, meskipun mendapatkan mendapatkan tentangan dari berbagai pihak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Guanie Lim, dosen National Graduate Institute for Policy Studies, Jepang, Rini disebut ikut merayu Cina untuk memimpin pembangunan proyek raksasa tersebut, mengabaikan fakta bahwa konsorsium kereta api Jepang telah melaksanakan studi kelayakan pertama pada tahun 2011 di bawah pemerintahan SBY.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengkritisi upaya Rini tersebut dan menganggapnya terlalu campur tangan dalam otoritas Kementerian Perhubungan.

Kontribusi Rini tidak sia-sia. Pada tahun 2015, Cina akhirnya memimpin proyek dan mendirikan KCIC sebagai perusahaan utama yang akan merealisasikan proyek raksasa ini.

Hanya lima hari setelah peletakan batu pertama proyek KCJB, Jonan dalam kapasitasnya sebagai Menhub mengumumkan bahwa ia belum mengeluarkan izin mendirikan bangunan untuk proyek itu karena belum memenuhi dokumen yang dipersyaratkan. Ia juga tidak merilis perjanjian konsesi karena negosiasi dengan konsorsium sebenarnya masih berlangsung.

Langkah berani Jonan tersebut diduga menjadi alasan mengapa ia dicopot dari jabatannya sebagai Menhub oleh Jokowi dalam perombakan kabinet tahun 2016.

Peran Ridwan Kamil

Dalam proyek KCJB, Ridwan punya otoritas sebagai representasi tertinggi pemerintah pusat Provinsi Jawa Barat untuk mampu mengatasi kebuntuan kesepakatan antara Jokowi dan elite daerah, khususnya Bupati Bandung Barat.

Dalam proyek KCJB, Ridwan punya otoritas sebagai representasi tertinggi pemerintah pusat Provinsi Jawa Barat untuk mampu mengatasi kebuntuan kesepakatan antara Jokowi dan elit daerah, khususnya Bupati Bandung Barat.

Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Lim, keterlibatannya terlihat jelas pada 2019 ketika proses pembangunan jalur KCJB akan mencapai Bandung Barat dan ia menerima laporan bahwa Aa menolak mengeluarkan izin untuk proyek tersebut karena dianggap tidak membawa manfaat bagi masyarakat lokal setempat.

Ridwan kemudian mengkritik Aa karena menganggapnya telah menunda realisasi proyek. Ia menegaskan bahwa KCJB adalah prioritas nasional dan bahwa Presiden berhak menjadi pengambil keputusan akhir atas KCJB.

Ridwan berpegang teguh pada dukungannya terhadap pemerintah pusat walau ia menyadari bahwa terdapat pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab politik kepada kabupaten sejak akhir 1990-an, serta adanya pergolakan birokrasi yang terjadi antara elit daerah dan otoritas di tingkat nasional.

Aa kemudian menuntut sejumlah konsesi tambahan seperti pembangunan fasilitas jembatan kepada KCIC, sebagai syarat di luar negosiasi awal antara Indonesia dan Cina.

Strategi Ridwan membujuk Aa untuk kembali ke kesepakatan awal sebenarnya ditujukan sebagai kritik atas penolakan Aa tersebut, bahwa tindakannya merugikan kepentingan nasional dan sebagai peringatan bahwa menurutnya pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengontrol proyek-proyek besar nasional.

Terlepas dari kritik dan implikasi negatif tentang proyek KCJB yang disuarakan oleh para ahli dan diberitakan di media massa nasional, Ridwan tetap berada di garis depan menyuguhkan narasi positif mengenai proyek HSR dan KCIC, serta menjanjikan bahwa proyek tersebut akan selesai di tahun 2022.

Keberpihakan politikus-politikus Indonesia terhadap Cina dapat menjelaskan mengapa Indonesia kini memiliki ketergantungan yang semakin besar dengan Negeri Tirai Bambu tersebut. Meskipun mungkin tidak ada yang salah dengan upaya mereka untuk memperkuat hubungan bilateral antara dua negara, namun seluruh pihak, khususnya masyarakat, harus terus mengawal agar kemitraan dengan negara tertentu tidak mendahului prioritas kesejahteraan warga dan integritas kedaulatan negara.

The Conversation Indonesia telah mencoba menghubungi Ridwan Kamil, dan Rini Soemarno, atau pihak yang dapat mewakili mereka, tetapi mereka menolak untuk berkomentar

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now