Menu Close
Di Asia Tenggara, beberapa sekolah telah ditutup di tengah pandemi COVID-19 di wilayah ini. Banyak universitas juga mengalihkan kelas tatap muka ke pembelajaran daring sebagai upaya untuk membatasi penularan penyakit lebih lanjut. www.shutterstock.com

Kesenjangan akses internet di Asia Tenggara jadi tantangan bagi pengajaran online akibat pandemi COVID-19

Pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia telah menanggapi pandemi COVID-19 dengan membatalkan berbagai acara publik dan menutup kantor, restoran, museum, sekolah, dan universitas untuk pencegahan penyebaran penyakit yang sangat menular ini.

Data terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 182.000 orang terinfeksi coronavirus dan lebih dari 7.000 orang mati di seluruh dunia .

Institusi pendidikan di seluruh dunia telah menanggapi kebijakan penutupan sekolah tersebut dengan mengadakan kelas secara daring untuk memastikan bahwa siswa akan tetap dapat belajar meski berada di rumah.

Di Amerika Serikat, lebih dari 200 universitas membatalkan kelas tatap muka dan beralih menjadi daring.

Negara-negara Asia juga mengalami tren serupa.

Di Asia Tenggara, beberapa sekolah telah ditutup di tengah pandemi COVID-19 di wilayah ini. Banyak universitas juga mengalihkan kelas tatap muka ke pembelajaran daring sebagai upaya untuk membatasi penularan penyakit lebih lanjut.

Perubahan mendadak ini telah menimbulkan kekhawatiran di antara guru dan dosen di Asia Tenggara.

Meskipun dunia telah menjadi sangat terhubung dan penetrasi internet terus meningkat setiap tahun, sebagian besar populasi di Asia Tenggara seperti di banyak negara berkembang lainnya tidak memiliki akses ke internet dan perangkat elektronik.

Kesenjangan digital di Asia Tenggara

Istilah “kesenjangan digital” telah didefinisikan sebagai kesenjangan dalam mengakses atau menggunakan perangkat internet.

Jika kita melihat penetrasi internet di Asia Tenggara, hanya tiga negara yang memiliki penetrasi internet lebih dari 80%: Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Indonesia sebagai negara terpadat di kawasan ini, hanya memiliki penetrasi 56%, artinya hanya 150 juta dari 268 juta penduduknya memiliki akses ke internet..

Sedangkan Thailand memiliki 57% penetrasi internet, disusul oleh Myanmar 39%, dan Vietnam 38% pada 2019.

Meskipun data menunjukkan peningkatan penetrasi setiap tahunnya, banyak orang di Asia Tenggara masih tidak mampu membeli koneksi internet yang stabil. Bahkan orang-orang yang memiliki akses ke internet mengalami kesenjangan infrastruktur.

Kita dapat melihat kesenjangan ini dengan melihat perbedaan kecepatan internet di berbagai daerah.

Orang-orang di pusat kota sering menikmati internet yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah yang kurang berkembang.

Misalnya, di Kuala Lumpur, orang-orang menikmati internet berkecepatan tinggi hingga 800 megabytes per detik.

Pada saat yang sama, di Sarawak (Malaysia Timur), kecepatan jauh lebih lambat. Bahkan beberapa daerah di negara bagian Malaysia tidak memiliki akses ke layanan internet.

Ketika kita berbicara tentang sistem pengajaran daring, tidak meratanya akses terhadap internet tentu akan mempengaruhi kesempatan siswa untuk mendapatkan pendidikan.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) baru-baru ini mencatat bahwa penutupan sekolah di Asia karena coronavirus telah mengakibatkan jutaan anak tertinggal dalam pendidikan ketika mereka harus mengikuti kelas daring.

Tantangan dalam pengajaran daring

Saya mencoba mengamati semua kebijakan terkait dengan penutupan sekolah dan pandemi di Asia Tenggara. Namun, saya gagal menemukan kebijakan tentang pengajaran daring, kecuali kebijakan e-learning yang ada untuk universitas.

Sebagian besar universitas di Pulau Jawa, telah menerapkan pengajaran daring setelah wabah COVID-19 terjadi.

Walaupun universitas dapat menggunakan pembelajaran daring, sebagian besar sekolah di tingkat dasar dan menengah di Indonesia tidak memiliki sumber daya dan infrastruktur untuk menerapkan ini, memaksa para siswa untuk belajar sendiri di rumah sendiri.

Di Malaysia, pemerintah telah menginstruksikan penutupan semua sekolah, universitas dan perguruan tinggi dari 18-31 Maret sebagai upaya untuk menahan penyebaran coronavirus di negara tersebut.

Sekolah dan universtias di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Thailand, Vietnam, serta Filipina mengadopsi dan mempertimbangkan pendekatan yang sama.

Bahkan ketika terdapat akses daring, beberapa tantangan tetap ada.

Banyak siswa di kawasan Asia Tenggara berasal dari keluarga yang tidak mampu. Akses mereka ke komputer terbatas pada laboratorium komputer yang disediakan sekolah, dan banyak yang tidak memiliki akses ke internet pada perangkat seluler mereka.

Saya bertanya kepada murid-murid saya di Universiti Teknologi MARA di Malaysia tentang kemungkinan menerapkan kelas daring karena coronavirus.

Beberapa murid dari Malaysia Timur khawatir bahwa koneksi internet mereka tidak akan cukup untuk mendukung pembelajaran daring mereka.

Banyak yang mengkhawatirkan kualitas pengalaman belajar. Mereka juga khawatir akan aksesibilitas perangkat lunak berbayar saat bekerja di luar kampus.

Rekan-rekan saya yang mengajar sekolah dasar dan menengah mengatakan beberapa siswa tidak memiliki akses ke internet, membuat mereka tidak dapat bergabung dengan pembelajaran daring.

Sekolah dan universitas di negara lain di Asia Tenggara mungkin menghadapi tantangan serupa, atau mungkin lebih buruk karena mereka menderita kesenjangan digital yang lebih signifikan.

Rekomendasi

Pemerintah di Asia Tenggara harus mengatasi beberapa masalah ketika merancang kebijakan pendidikan online demi memastikan semua siswa ditangani dengan baik jika pandemi lain terjadi pada masa depan.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk pengajaran daring oleh penulis.

Masalah-masalah ini termasuk memastikan akses siswa ke perangkat teknologi dan koneksi internet yang stabil. Hal lain adalah memastikan mereka dapat mengalokasikan waktu untuk mengerjakan pelajaran mereka, mengingat mereka tidak bersekolah, dan menghadapi banyak gangguan di rumah.

Jika mereka tidak memenuhi semua ini, kita harus memastikan bahwa kita dapat memberikan bantuan yang cukup untuk memastikan siswa akan dapat mengikuti pelajaran.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now