Menu Close

Kewajiban vaksin untuk pemudik berisiko perluas ketimpangan akses vaksin, mengapa bisa begitu?

Calon penumpang kapal feri ikut vaksin COVID-19 dosis ketiga di Pelabuhan Jangkar, Situbondo, Jawa Timur, 19 April 2022. Mereka mudik ke Pulau Sapudi dan Raas, Sumenep. ANTARA FOTO/Seno/wsj

Setelah menunggu dua tahun karena dihadang pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia di berbagai kota dan daerah akhirnya dibolehkan mudik untuk merayakan Idul Fitri tahun ini.

Sekitar 85,5 juta pemudik, 14 juta di antaranya dari Jakarta dan sekitarnya, akan bergerak ke berbagai daerah mulai pekan depan. Namun, pemerintah ternyata masih mewajibkan calon pemudik telah divaksin. Semakin banyak dosis vaksin yang diterima, maka semakin mudah perjalanan pemudik.

Dari sisi kesehatan, kebijakan ini adalah upaya kreatif untuk menggunakan tradisi besar keagamaan yang sudah lama tertunda untuk meningkatkan cakupan vaksinasi. Namun, langkah ini meningkatkan kompleksitas pelaksanaannya karena masuknya dimensi sosial yang baru kepada kebijakan kesehatan ini.

Momen mudik mungkin dijadikan kesempatan emas untuk menggenjot vaksinasi, namun perluasan kebijakan ini sebaiknya didukung oleh analisis yang menyeluruh daripada sekadar pendekatan oportunis. Setidaknya, persiapan yang lebih detail dapat menghindarkan penyesuaian kebijakan yang berulang-ulang.

Stuart Nagel, penulis Handbook of Public Policy Evaluation, menyatakan suatu kebijakan bisa dinilai dari 3E: efektivitas, efisiensi, dan ekuitas (pemerataan). Mengacu kepada ketiga kriteria ini, kebijakan vaksin-untuk-mudik kelihatannya masih belum terlalu tepat guna untuk percepatan dan pemerataan vaksinasi.

Apakah menjadikan vaksin sebagai syarat mudik efektif?

Kebijakan yang efektif adalah yang memberikan manfaat maksimal atau mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam konteks kesehatan, kebijakan vaksinasi bermuara dari manfaat vaksin yang dapat mengurangi keparahan dan risiko kematian akibat COVID-19. Namun, kebijakan vaksin untuk mudik punya tujuan sosial juga, yaitu menyegarkan kembali upaya vaksinasi yang mulai lesu.

Dari tolok ukur ini, kebijakan ini kelihatannya belum efektif.

Sejak syarat vaksin untuk mudik ini diumumkan pada akhir Maret, belum terlihat peningkatan angka vaksinasi harian yang signifikan. Alih-alih melonjak, perlambatan vaksinasi sejak akhir tahun lalu masih terus berlanjut.

Setelah 15 bulan, hanya tiga provinsi - DKI Jakarta, Bali, dan DI Yogyakarta - yang mampu menyelesaikan program primernya (dosis pertama dan kedua).

Jadi, hambatan vaksinasi kemungkinan besar lebih sistemik daripada sekadar kurangnya insentif. Berbagai hambatan ini perlu diidentifikasi terlebih dulu supaya kebijakan percepatan vaksinasi tepat sasaran.

Kebijakan vaksin untuk mudik pada akhirnya hanya membuat yang sudah cepat semakin cepat. Sebab, vaksinasi booster (dosis ketiga) hanya diizinkan di daerah yang cakupan vaksin primernya sudah tinggi.

Dengan kata lain, hanya daerah dengan akses vaksin yang lebih mudah yang berhak memulai lebih awal vaksin booster dan diuntungkan dari kemudahan mudik.

Sementara, bagi daerah yang kesulitan menggenjot cakupan vaksinasi primer, persyaratan vaksin booster untuk mudik sepertinya tidak akan banyak membantu percepatan program vaksinasi COVID-19. Kapasitas untuk vaksin pertama dan kedua saja sudah tidak cukup, apalagi jika harus mengejar vaksin ketiga.

Bagaimana dengan efisiensi?

Kebijakan yang efisien seharusnya terlaksana dengan biaya atau sumber daya yang minimum. Dari kacamata kesehatan, ongkos vaksin memang lebih efisien dibandingkan biaya perawatan pasien di rumah sakit. Namun, memperluas fungsinya ke ranah sosial dapat meningkatkan risiko efek samping kebijakan yang perlu diantisipasi.

Contohnya saja biaya ekonomi kebijakan. Data Kementerian Kesehatan per 18 April 2022 menunjukkan 31,3 juta orang sudah menerima dosis ketiga. sementara Kementerian Perhubungan memperkirakan ada 85,5 juta pemudik.

Jika diasumsikan semua pemudik sudah menyelesaikan vaksin primer, maka masih ada sekitar 50 juta orang yang harus melakukan, setidaknya, tes antigen jika ingin mudik.

Mengacu kepada harga tes antigen Rp 99.000 yang sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan, maka kebijakan ini berpotensi menimbulkan biaya ekonomi hampir Rp 5 triliun. Angka tersebut kemudian bisa dibandingkan dengan potensi penghematan biaya perawatan COVID-19 bagi pemudik yang belum divaksin. Sayangnya belum ada kajian soal itu. Namun, hitungan sederhana ini sudah bisa memberikan gambaran bahwa kebijakan yang kelihatannya sederhana sekalipun bisa mengakibatkan beban ekonomi yang tidak kecil dalam pelaksanaanya.

Selain beban ekonomi masyarakat, pemerintah pun perlu merogoh kocek untuk menyiapkan posko pengecekan status vaksinasi sepanjang jalur mudik. Selain itu, dampak posko-posko ini terhadap kelancaran arus mudik juga perlu diantisipasi.

Dengan perkiraan 40 juta pelaku perjalanan menggunakan kendaraan pribadi, gangguan lalu lintas karena pengecekan acak ini harus sangat diminimalkan untuk menghindari macet besar yang bisa memakan korban jiwa seperti saat mudik 2016.

Kebijakan ini pun sebenarnya terasa kurang elegan. Syarat paling ketat dikenakan kepada para pemudik yang belum divaksin sama sekali, termasuk yang menderita komorbid berat. Mereka harus melakukan tes PCR dan mendapatkan surat keterangan tidak bisa divaksin dari rumah sakit pemerintah jika ingin bepergian.

Rasanya hampir mustahil bahwa ada orang yang sengaja memilih menderita komorbid berat demi menolak vaksin. Jadi ketentuan ini terasa seperti menghukum daripada mengayomi para penderita komorbid.

Ekuitas yang sering terlupakan

Pemerataan adalah tantangan terbesar vaksinasi COVID-19 di berbagai negara, termasuk Indonesia. Secara global, ketimpangan vaksinasi adalah salah satu alasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menentang penggunaan bukti vaksinasi sebagai syarat perjalanan internasional.

Kebijakan vaksin-untuk-mudik juga tampaknya melupakan pertimbangan ekuitas alias pemerataan akses ini.

Tidak semua daerah memulai vaksinasi booster pada saat bersamaan. Ada daerah yang bahkan mungkin belum memulai vaksinasi dosis ketiga sampai saat ini. Artinya, bisa jadi ada calon pemudik yang sudah melengkapi vaksin primernya tapi tidak bisa mendapatkan booster, sekalipun mereka menginginkannya.

Selain itu, tidak semua vaksin setara dalam hal booster. Penerima vaksin primer Sinovac bisa menerima booster dari empat merek, tapi penerima Moderna, Janssen, dan Sinopharm hanya bisa menerima satu tipe booster.

Ini berarti tidak semua penerima vaksin mempunyai akses yang sama terhadap dosis ketiga. Kecocokan ini memang sangat penting dari segi kesehatan, tapi ternyata menjadi titik lemah saat vaksinasi dijadikan kebijakan sosial untuk mudik.

Lebih jauh lagi, akses vaksin Sinopharm masih terbatas melalui skema Vaksinasi Gotong Royong. Karena penerima vaksin primer Sinopharm hanya boleh melanjutkan dengan booster Sinopharm, maka karyawan peserta Vaksinasi Gotong Royong bergantung kepada perusahaan untuk mendapatkan dosis ketiga.

Dari 1,1 juta orang yang sudah divaksin primer Sinopharm per 18 April 2022, baru sekitar 300.000 orang yang menerima dosis ketiga. Ini berarti ada sekitar 800.000 karyawan yang kesulitan mudik karena kebijakan ini.

Pandemi COVID-19 telah bermutasi dari krisis kesehatan menjadi krisis multidimensi. Vaksinasi bukan lagi berfungsi sebagai alat kesehatan saja, tapi juga memiliki fungsi sosio-ekonomi yang penting.

Karena itu, pemerintah perlu mulai mengadopsi perspektif lintas sektoral saat mempersiapkan kebijakan percepatan vaksinasi, dengan memperhatikan prinsip efektif, efisien, dan merata di seluruh Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now