Menu Close
Kidfluencer

‘Kidfluencer’ memperkaya keluarga, tapi bagaimana etikanya dan apa dampaknya bagi anak?

Berkembang pesatnya era digital memunculkan berbagai fenomena baru, termasuk di antaranya adalah kidfluencer. Terminologi ini merujuk pada anak-anak–biasanya di bawah usia 16 tahun–yang menjadi influencer di media sosial. Mereka tampil di konten menarik seperti foto, video, atau cerita seputar kehidupan sehari-hari mereka–mulai dari bermain, makan, berpakaian, hingga aktivitas yang sesuai dengan usia mereka.

Selayaknya influencer dewasa, anak-anak ini pun terlibat mempromosikan berbagai merek dan produk perusahaan lewat unggahan mereka atau unggahan akun atas nama mereka yang dikelola oleh orang tua/walinya. Sebagai imbalannya, kidfluencer bisa mendapatkan bayaran, endorsement atau barang-barang gratis, terlibat dalam kampanye iklan, dan bahkan mendapatkan penghasilan dari penjualan produk yang mereka promosikan.

Media sosial membuka peluang untuk membuat video rumahan menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Menyaksikan tingkah laku lucu dan wajah imut anak-anak bersliweran di media sosial pun menyenangkan hati pengguna.

Namun, hadirnya kidfluencer sepatutnya memunculkan pertanyaan serius tentang peran orang tua dalam melindungi hak anak-anak dari dampak aktifnya mereka di dalam ruang komersial baru ini.


Read more: Makin banyak anak muda di seluruh dunia memilih berkarir jadi '_influencer_': jangan lupa ada sisi kelam dari ekonomi dunia konten


Kaburnya batas kidfluencer dengan eksploitasi anak

Di masa kini, influencer masuk sebagai kategori profesi dan banyak diidam-idamkan kawula muda. Pada 2021, pasar influencer global diperkirakan bernilai US$13,8 miliar (sekitar Rp206 triliun).

Namun, bagaimana etika menjadikan anak sebagai influencer?

Sebuah studi di Amerika Serikat (AS) menuliskan dengan adanya monetisasi media sosial dan penghasilan dari sponsor, kidfluencer terhitung sebagai anak yang bekerja di bidang hiburan.

Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia adalah 18 tahun. Mereka yang mempekerjakan anak di bawah usia ini dapat dikenai sanksi.

Seperti dilansir dari Kompas.com, ada beberapa pengecualian yang memungkinkan anak di bawah umur menghasilkan uang. Ini termasuk pekerjaan ringan bagi anak usia 13-15 tahun, pekerjaan untuk mendukung kurikulum, atau pekerjaan yang mendukung minat dan bakat anak.

Akan tetapi, pengecualian ini pun memiliki aturan mainnya sendiri. Pekerjaan-pekerjaan di atas, misalnya, tidak boleh mengganggu pendidikan dan tumbuh kembang fisik dan mental anak, hanya boleh dilakukan maksimal tiga jam sehari, dan betul-betul sesuai dengan kemampuan anak. Yang terpenting, undang-undang mengharuskan semua aktivitas tersebut betul-betul di bawah pengawasan ketat orang tua.

Masalah muncul ketika terbuka ruang yang lebar atas tindakan eksploitasi anak dan banyak dari kita malah asyik menikmatinya sehingga tanpa sadar kita menjadi bagian dari masalah di balik fenomena kidfluencer ini.

Sementara, Hukumonline berpendapat bahwa karena dasar pekerjaan yang diterima anak berasal dari kontrak perjanjian atau kontrak kerja sama, mereka tidak tunduk terhadap aturan ketenagakerjaan. Ini karena menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mereka yang berusia di bawah 21 tahun atau belum menikah dianggap belum dewasa dan cakap untuk menyepakati perjanjian, hak ini sepenuhnya berada di tangan orang tua.

Namun, Hukumonline membuat catatan yang merujuk pada UU Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak yang menggarisbawahi pentingnya anak memiliki waktu luang untuk bermain dengan teman sebaya dan mengembangkan diri serta dilindungi dari eksploitasi ekonomi.

Pada akhirnya, orang tua menjadi tokoh kunci apakah beban dan lingkungan ‘kerja’ kidfluencer ini benar-benar aman dan bebas dari eksploitasi. Orang tua memiliki hak untuk membuat keputusan otonom dalam mendidik anak, sehingga produksi konten media sosial yang melibatkan anak-anak dianggap hal yang biasa.

Namun, apa yang terjadi dalam rumah tangga seseorang bisa saja luput dari mata hukum. Beragam kasus eksploitasi kidfluencer banyak ditemui belakangan, termasuk kasus penyiksaan anak yang dilakukan parenting vlogger asal AS, Ruby Franke, yang ramai baru-baru ini.


Read more: Memaklumi kejahatan: bagaimana budaya pembiaran di media sosial menormalisasi tindakan buruk individu


Dampak monetisasi anak di media sosial

Kaburnya perlindungan dan penegakan hukum serta tereksposnya anak-anak ini ke hadapan publik tentunya membawa dampak tersendiri.

Pertama, ada isu privasi. Anak-anak yang menjadi kidfluencer seringkali membagikan sebagian besar aspek kehidupan pribadi mereka di media sosial, mulai dari rutinitas hingga kisah tentang keluarga mereka. Ini sangat berisiko bagi privasi anak-anak dan membuka peluang potensi penyalahgunaan informasi pribadi.

Kedua, masalah konsumerisme. Kidfluencer seringkali aktif dalam mempromosikan produk dan merek kepada audiens muda mereka. Dampaknya adalah anak-anak dapat terpengaruh oleh promosi ini, yang mungkin mendorong mereka ke arah konsumsi yang tidak sehat sejak usia dini. Selain itu, pemahaman mereka yang terbatas tentang perbedaan antara konten promosi dan konten yang jujur dapat menciptakan ketidakjelasan dalam hal moral dan etika.

Ketiga, terkait dengan pendidikan anak. Anak-anak yang menjadi kidfluencer mungkin melewatkan pengalaman belajar penting di sekolah atau dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka mungkin merasa tertekan oleh tuntutan untuk terus menciptakan konten yang menarik, sehingga mengorbankan waktu untuk pendidikan formal dan interaksi sosial yang sehat.

Keempat, tumbuh kembang anak. Terpapar media sosial secara intens dapat memengaruhi kesehatan mental anak-anak. Mereka mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan citra yang sempurna di media sosial, dan ini dapat mengganggu perkembangan identitas mereka.

Peran orang tua

Bagi orang tua yang ingin anaknya menjadi influencer, penting untuk mempertimbangkan dengan saksama saran berikut ini.

Pertama, sangat penting untuk memastikan bahwa pendidikan formal anak tetap menjadi prioritas utama. Orangtua dapat membantu dengan mengatur jadwal belajar yang teratur, memberikan bantuan saat dibutuhkan, dan berkomunikasi secara terbuka dengan guru atau staf sekolah untuk memantau kemajuan akademis anak. Dengan menjaga pendidikan formal sebagai fondasi, anak akan memiliki dasar yang kuat untuk masa depan mereka, baik sebagai influencer maupun dalam berbagai karier lain yang mungkin mereka pilih.

Kedua, orang tua harus terlibat aktif dalam aktivitas daring anak mereka. Orangtua juga perlu memastikan bahwa interaksi anak di jagat maya terjadi dalam lingkungan yang aman. Selain itu, menjaga aktivitas daring anak merupakan tugas penting, seperti membantu mereka memahami pentingnya mengatur pengaturan privasi pada akun media sosial mereka dan berbicara tentang informasi pribadi yang tidak boleh dibagikan. Dengan keterlibatan yang tepat, anak dapat menjalani aktivitas sosial media dengan lebih aman dan bertanggung jawab.

Ketiga, orangtua seharusnya tidak hanya mendukung anak dalam bermedia sosial tetapi juga mengajarkan nilai-nilai positif, etika, dan tanggung jawab dalam penggunaan media sosial. Mereka harus membimbing anak untuk memahami dampak positif dan negatif dari platform tersebut.

Keempat, orangtua juga harus menjadi contoh yang baik dalam penggunaan media sosial. Ingatlah bahwa anak-anak cenderung meniru perilaku orangtua mereka, jadi penting untuk menunjukkan penggunaan media sosial yang sehat dan etis.

Kelima, jika anak mendapat tawaran untuk bermitra dengan merek atau perusahaan, sangat penting bagi orangtua untuk memeriksa kesepakatan tersebut secara menyeluruh. Pastikan bahwa kesepakatan tersebut sejalan dengan nilai-nilai keluarga dan tidak mengorbankan keamanan serta kesejahteraan anak.

Menjadi kidfluencer pada akhirnya bukanlah perkara mendatangkan keuntungan semata. Orang tua perlu untuk melihat nilai yang ada di balik menekuni aktivitas ini bagi anak. Dengan dukungan yang tepat, anak-anak dapat menjalani perjalanan sebagai kidfluencer dengan tanggung jawab dan keseimbangan yang sehat tanpa harus mengorbankan hidupnya sebagai pribadi yang masih haus akan kehidupan sosial.

Orang tua memiliki kekuatan untuk menghasilkan uang dari partisipasi anak-anak mereka dalam aktivitas komersial ini. Namun, bersama dengan kekuatan tersebut, juga ada tanggung jawab untuk memastikan perlindungan hak asasi mereka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now